Eks Terpidana Korupsi Dilarang Nyaleg

Eks Terpidana Korupsi Dilarang Nyaleg

Menjelang pencalonan anggota legislatif di Pemilihan legislatif 2019, KPU mengeluarkan sebuah Peraturan KPU (PKPU) No20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.  Salah satu dasar PKPU itu Putusan MK No. 92//PUU-XIV/2016 terkait uji materil Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, dimana dalam pertimbanganya, MK menyatakan KPU merupakan lembaga independen yang tidak terikat rapat konsultasi dengan pihak manapun saat menyusun PKPU.

 

Penting:
Toko Online, Kewajibannya Menurut Hukum
Tindak Pidana Pemalsuan Intelektual
Dasar-dasar Pemidanaan Terhadap Korporasi

 

Namun aturan yang dikeluarkan KPU banyak menuai polemik dari beberapa kalangan karena PKPU tersebut mengatur tentang larangan eks terpidana korupsi menjadi calon legislatiftertuang dalam Pasal 7 ayat (1) huruf H terkait Persyaratan Bakal Calon, yakni "Bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan terhadap anak, atau korupsi".

Meskipun setelah diterbitkan PKPU oleh KPU ada revisi terbaru yakni tertuang dalam Pasal 4 ayat (3) Bab II Bagian Kesatu tentang Ketentuan Umum Mengatur Mengenai Larangan Mantan Narapidana menjadi Caleg. Dalam Pasal 4 ayat (3) disebutkan, dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) partai politik tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan korupsi. Kemudian, dalam Pasal 6 ayat (1) huruf (e) disebutkan bahwa setiap partai politik dapat mengajukan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota dengan ketentuan pimpinan parpol sesuai dengan tingkatannya menandatangani dan melaksanakan fakta integritas pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota yang dimaksudkan dalam Pasal 4 ayat (3) yang berisi rincian setiap dapil yang tercantum dalam formulir Model B.1 yang disediakan oleh KPU.

Terkait ketentuan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 6 ayat (1) huruf e PKPU No20 Tahun 2018 yang diatur instrumennya adalah dari Fakta Integritas. Jadi subjeknya bukan lagi calon, tapi partai yang dipaksakan untuk tidak mencalonkan orang yang mempunyai trackrecorde buruk.

PKPU tersebut berlatar belakang dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang tertuang dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g yang menyatakan bahwa: 

Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Artinya pengecualian terhadap pasal diatas memberikan alternatif tersendiri terhadap seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan kepada publik secara jujur dan terbuka  bahwa yang bersangkutan merupakan mantan terpidana. Kemudian dipertegas  kembali dalam putusan MK No. 42/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015  tentang Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

 

Penting:
Pemberhentian Sementara Kepala Daerah Yang Terjerat Kasus Korupsi
Kotak Kosong Menang, Kapan Pilkada Lagi?
Larang Pekerja Memilih Di Pemilu, Majikan Diancam 6 Tahun Penjara

 

Kemudian PKPU merupakan aturan yang secara hirarki perundang-undangan merupakan peraturan yang kedudukanya dibawah  UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Berdasarkan  asas “lex superior derogat legi inferior”  yang artinya peraturan yang lebih tinggi dapat mengesampingkan peraturan yang lebih rendah.

Larangan eks koruptor untuk menjadi Calon legislatif (Caleg) di tahun 2019, merupakan bentuk penghambatan terhadap hak politik bagi eks koruptor. Bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak untuk dipilih yang tertuang dalam Pasal 27 ayat (1) dan (2) dan Pasal 28, Pasal 28 D ayat (3) dan Pasal 28 E ayat (3). Pengaturan ini menegaskan bahwa negara harus memenuhi hak asasi setiap warga negaranya, khususnya dalam keterlibatan pemerintahan untuk dipilih dalam event pesta demokrasi yang meliputi Pemilu, Pilpres dan Pilkada.  Serta UU Nomor 39 Tahun 1999  tentang HAM yang tertuang dalam Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan:

Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Beberapa aturan diatas menunjukan secara jelas dan tegas adanya jaminan yuridis yang melekat bagi setiap warga Negara Indonesia untuk menjalankan hak politiknya tanpa melihat status warga negaranya.