Polemik KTP, Ini Ancaman Pidana KTP Palsu Atau Ganda

Polemik KTP, Ini Ancaman Pidana KTP Palsu Atau Ganda

Migrasi data kependudukan dari data manual ke data elektronik belum terlaksana sesempurna yang diharapkan. Masih banyak penduduk negeri yang belum terdaftar secara elektronik. Banyak polemik yang menyelimuti proses KTP-el, dari blangko yang sempat tidak tersedia sampai dengan kasus korupsi proyek KTP-el yang melibatkan pejabat strategis di negeri ini.

KTP-el sebagai dokumen autentik bagi setiap warga Negara Indonesia, keberadaannya sangat urgen, saat ini sudah banyak urusan keadministrasian menjadikan KTP-el sebagai syarat, seperti lembaga perbankan, perpajakan, dokumen dukungan paslon Independen di Pemilu dan lain-lain.

Khususnya di Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu), dimana salah satu Pasangan Calon (Paslon) pada awalnya tidak memiliki KTP-el dengan domisili di wilayah Propinsi Sumut, kemudian dikabarkan telah memiliki KTP-el dengan domisili di Kota Medan (salah satu kota di Propinsi Sumatera Utara). Terbitnya KTP-el tersebut sempat menjadi viral di media sosial, bahkan tidak sedikit masyarakat mempertanyakan tentang cepatnya waktu penerbitannya sementara banyak masyarakat yang menghabiskan waktu berbulan-bulan.  

Terlepas dari itu, bahwa urusan KTP diatur oleh UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 24 Tahun 2013 (UU Administrasi Kependudukan), mengatur proses penerbitan e-KTP, lembaga yang berwenang sampai dengan Tindak Pidana Administrasi Kependudukan. 

KTP adalah dokumen kependudukan yang harus dimiliki oleh setiap warga negara. Dokumen Kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Sedangkan yang dimaksud dengan Data Kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang terstruktur sebagai hasil dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Warga negara harus melaporkan setiap terjadi Peristiwa Kependudukan kepada Instansi yang berwenang. Menurut Pasal 1 angka 11 UU Administrasi Kependudukan menerangkan:

Peristiwa Kependudukan adalah kejadian yang dialami Penduduk yang harus dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap.

Dalam hal ini, sesuai Pasal 15 UU Administrasi Kependudukan, warga negara yang melakukan perpindahan kependudukan dalam lingkup wilayah NKRI diwajibkan melakukan hal-hal sebagai berikut:

  1. Penduduk Warga Negara Indonesia yang pindah dalam wilayah NKRI wajib melapor kepada Instansi Pelaksana di daerah asal untuk mendapatkan Surat Keterangan Pindah.
  2. Pindah sebagaimana dimaksud diatas adalah berdomisilinya Penduduk di alamat yang baru untuk waktu lebih dari 1 (satu) tahun atau berdasarkan kebutuhan yang bersangkutan untuk waktu yang kurang dari 1 (satu) tahun.
  3. Berdasarkan Surat Keterangan Pindah Penduduk yang bersangkutan wajib melapor kepada Instansi Pelaksana di daerah tujuan untuk penerbitan Surat Keterangan Pindah Datang.
  4. Surat Keterangan Pindah Datang digunakan sebagai dasar perubahan atau penerbitan KK dan KTP bagi Penduduk yang bersangkutan.

Norma tentang pemenuhan administrasi kependudukan bagi warga negara yang melakukan perpindahan di dalam wilayah NKRI bersifat regulatif. Namun dokumen-dokumen yang menjadi syarat administrasi perpindahan harus benar atau tidak palsu. UU Administrasi Kependudukan mengatur sanksi pidana jika terdapat ketidak-benaran atau pemalsuan di dalam dokumen tersebut. Hal itu sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 93 dan  Pasal 97 UU Adminsitrasi Kependudukan.

Pasal 93
Setiap Penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan/atau dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 97
Setiap Penduduk yang dengan sengaja mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga atau anggota keluarga lebih dari satu KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau untuk memiliki KTP lebih dari satu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.25.000.000.00 (dua puluh lima juta rupiah).

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pindah datang dan perubahan alamat  masuk kwalifikasi sebagai Peristiwa Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 11 UU Administrasi Kependudukan, jika terjadi pemalsuan atau keterangan tidak benar dalam surat-surat yang menjadi syarat mengurus pindah datang dan perubahan alamat maka dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 93 UU Administrasi Kependudukan dengan ancaman pidana paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Selanjutnya, Pasal 63 ayat (6) UU Administrasi Kependudukan menegaskan ”Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu) KTP”. Bermakna bahwa setiap Warga Negara Indonesia (WNI) hanya diperbolehkan memiliki 1 KTP. Oleh karenanya setiap orang yang pindah tempat tinggal maka KTP lama harus diserahkan dan ditarik oleh Instansi yang berwenang agar tidak disalahgunakan.

Bagi pihak yang melakukan pindah tempat tinggal secara sah dan benar, memenuhi langkah dan syarat yang diatur di dalam Undang-undang, terutama meminta Surat Keterangan Pindah dari tempat tinggal sebelumnya, sangat kecil kemungkinan memegang KTP ganda. Tetapi jika tidak memenuhi persyaratan di dalam Undang-undang, berpotensi memiliki KTP ganda. Hal itu dapat dipersangkakan melanggar Pasal 97 dengan ancaman maksimal pidana 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.25.000.000.00 (dua puluh lima juta rupiah).