Tindak Pidana Pemalsuan Intelektual

Tindak Pidana Pemalsuan Intelektual

Litigasi - Peristiwa pidana atau biasa disebut dalam Bahasa Belanda dengan “strafbaar feit” atau “delik”, kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan “tindak pidana”, “peristiwa pidana”, “perbuatan yang dapat dihukum” dan lain-lain. Mr. Drs. Utrecht dalam buku berjudul “Hukum Pidana I” Halaman 251 - 252, lebih cenderung menggunakan istilah “peristiwa pidana” yang diartikan dengan suatu peristiwa hukum (rechsfeit), yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. Maka menurut gambaran teoritis, anasir-anasir peristiwa pidana adalah:

ads

  1. Suatu kelakukan bertentangan dengan (melawan) hukum (onrechtmatig atau wedderechtelijk);
  2. Suatu kelakukan yang diadakan karena pelanggar bersalah (aan schuld (van de overtreder) te wijten);
  3. Suatu kelakukan dapat dihukum (strafbaar);

Simon mengatakan, sebagai pengertian dari bersifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum pada umumnya. Tetapi dalam hubungan bersifat melawan hukum sebagai salah satu unsur dari delik, beliau mengatakan dalam undang-undang hukum pidana. Jika ada perselisihan mengenai ada tidaknya sifat melawan hukum dari suatu tindakan, hakim tetap terikat pada perumusan undang-undang. Dalam rangka usaha pembuktian. (E.Y. Kanter, SH., dan SR Sianturi, SH dalam bukunya berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya”, Halaman 143).

Untuk itu, dalam hal menyatakan suatu perbuatan adalah perbuatan pidana maka harus dibuktikan apakah tindakan tersebut melanggar hukum atau undang-undang hukum pidana yang telah ada terlebih dahulu sebelum tindakan itu terjadi.

Dalam kaitan itu, pemahaman tentang “pemalsuan intelektual” sebagai suatu tindak pidana harus diukur dan dilihat parameternya berupa pasal dalam undang-undang hukum pidana yang mengatur tentang “pemalsuan intelektual” itu. Tindak pidana pemalsuan secara umum diatur di dalam Pasal 263 KUH Pidana yang menyatakan “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.

ads

Yang perlu dijelaskan disini adalah dua hal yakni “membuat surat palsu” dan “memalsukan surat”, keduanya memiliki makna yang berbeda pula. SR. Sianturi dalam bukunya berjudul “Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya” Halaman 417 - 419, menerangkan; Unsur tindakannya (maksudnya tindakan pemalsuan) dirumuskan sebagai berikut:

  1. Tindakan alternatif pertama ialah membuat suatu surat secara palsu. Ini berarti, semula surat itu belum ada. Lalu ia membuat sendiri yang mirip dengan yang asli, misalnya mencetak sendiri formulir kosong mirip dengan yang asli, misalnya mencetak sendiri formulir kosong yang lazim digunakan, atau berusaha mendapatkan formulir asli secara tidak sah. Kemudian menulis formulir tersebut.
  2. Tidakan alternatif kedua ialah memalsukan sesuatu surat. Ini berarti, surat suda ada lalu ditambah/dikurangi atau dirubah isinya. Misalnya tulisan Rp. 10.000; (sepuluh ribu rupiah) kemudian ditambah menjadi Rp. 110.000; (seratus sepuluh ribu rupiah). 

Kemudian surat yang palsu tersebut dibatasi dalam dua macam saja yaitu:

  1. Surat yang dapat menimbulkan hak, perikatan atau pembebasan hutang;
  2. Surat yang diperuntukan sebagai bukti bagi suatu tindakan. 

Masih menurut SR Sianturi, dikenal pula apa yang disebut sebagai “pemalsuan intelektual” yaitu apabila perbuatan itu digunakan untuk pembuktian. Misalnya seorang pegawai negeri berkewajiban untuk mencatat suatu laporan yang disampaikan kepadanya. Ternyata ia menuliskan laporan itu berbeda dengan yang dilaporkan kepadanya. Dalam hal ini pegawai tersebut telah membuat surat secara palsu. Jadi pembuatan Berita Acara yang mempunyai akibat hukum yang tidak sesuai dengan apa yang diutarakan kepada pegawai tersebut termasuk juga sebagai membuat surat secara palsu.

ads

Disamping itu, Adami Chazawi dan Ardi Ferdian dalam bukunya berjudul “tindak Pidana Pemalsuan” Halaman 138. Membuat sebuah surat yang isinya seluruhnya atau isi pada bagian tertentu yang bertentangan dengan kebenaran atau palsu disebut dengan pemalsuan intelektual (intelectueele calschheids). Pemalsuan intelektual adalah pemalsuan terhadap isi suratnya. Perbuatan dalam pemalsuan intelektual bisa merupakan perbuatan membuat palsu surat dengan juga bisa perbuatan memalsu surat.

Pemalsuan intelektual sebagaimana dijelaskan di atas dikwalifikasikan melanggar Pasal 263 ayat (1) KUH Pidana. Pemalsuan intelektual dapat dilihat dari isi kandungan surat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Proses pembuatan dan penerbitan surat benar atau sesuai dengan prosedur dan tidak melanggar hukum, orang yang menerbitkan juga berwenang, namun isinya yang menjadi permasalahan yakni tidak sesuai dengan kebenaran. Hal ini berbeda dengan katagori “membuat surat palsu”, bedanya adalah bahwa katagori “membuat surat palsu” bisa saja isinya benar tetapi bukan orang yang berwenang membuatnya, kemudian ukuran surat palsu tersebut dilihat dari surat yang asli.