Gubernur Jadi Capres Harus Izin Presiden, Dinilai Otoriter

Gubernur Jadi Capres Harus Izin Presiden, Dinilai Otoriter

Tanggal 18 Juli 2018 Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No. 32 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengunduran Diri Dalam Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden, Dan Wakil Presiden, Permintaan Izin Dalam Pencalonan Presiden Dan Wakil Presiden, Serta Cuti Dalam Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum.

Pasca lahirnya PP tersebut, muncul berbagai perdebatan mengkritisi beberapa pasal yang terkandung di dalamnya. Salah satunya adalah Pasal 29 tentang permintaan izin presiden bagi gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, atau wakil walikota yang akan maju menjadi capres atau cawapres. Isi Pasal 29 ayat (1) menegaskan:

Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, atau wakil walikota yang akan dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus meminta izin kepada Presiden.

PP tersebut memberikan tenggang waktu selama 15 hari kepada Presiden untuk memberikan izin atau tidak memberikan izin, terhitung sejak permintaan izin tersebut diterima oleh Presiden. sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (2):

Presiden memberikan izin atas permintaan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, atau wakil walikota dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari setelah menerima surat permintaan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Surat izin Presiden tersebut nantinya menjadi syarat capres atau cawapres ketika pendaftaran, surat izin tertulis disampaikan kepada KPU. Artinya, jika persyaratan tersebut tidak dipenuhi maka capres atau cawapres dapat dianulir oleh KPU. Inilah dianggap satu potensi bagi Presiden untuk menjegal lawan politiknya.

 

Penting:

 

Namun demikian, PP tersebut mengatur Jika dalam waktu 15 hari Presiden belum memberikan izin maka hukum menganggap izin telah diberikan, seperti dinyatakan dalam Pasal 29 (3):

Dalam hal Presiden belum memberikan izin dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), izin dianggap sudah diberikan.

Jadi, makna ayat di atas bahwa Presiden membiarkan atau tidak merespon permohonan izin maka berlakulah ketentuan ayat (3) tersebut. Lain halnya jika terjadi penolakan atau tidak memberikan izin bagi gubernur dicalonkan.

Pasal tersebut dinilai menjadi alat untuk menggulingkan lawan politik Jokowi. Satu gubernur yang digadang-gadang akan mengikuti kontestasi capres atau cawapres adalah Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan. Memang dari berbagai lembaga suvei, Anies Rasyid Baswedan dinyatakan memiliki elektabilitas cukup tinggi. Apalagi pengusungan Anies Rasyid Baswedan sebagai capres atau cawapres diprediksi dari partai oposisi pemerintahan.

Secara yuridis, arti izin dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 19 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Izin adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan Warga Masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, dalam Pasal 39 ayat (5) UU No. 30 Tahun 2014 tersebut bahwa izin berdimensi penolakan dan persetujuan. Bisa saja Presiden melakukan penolakan atas permohonan izin dari capres atau cawapres yang sedang menjabat sebagai gubernur, atau menyetujuinya.

Mengingat bahwa izin presiden adalah syarat capres atau cawapres maka sangat terbuka lebar peluang presiden untuk melakukan penolakan. Menolak dan menyetujui berkaitan dengan subjektifitas presiden. Disamping itu, penerapan Pasal tersebut bisa mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan mengukuhkan penguasa yang otoriter untuk itu tidak dapat dipertahankan.