Kasus Korupsi Berjamaah DPRD Sumut, Pengembalian Uang Tidak Menghapus Pidana
@ilustrasi

Kasus Korupsi Berjamaah DPRD Sumut, Pengembalian Uang Tidak Menghapus Pidana

Litigasi - Definisi tindak pidana korupsi menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yaitu: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”.

Korupsi dikatagorikan kejahatan kerah putih yang bersifat luar biasa (extra ordinary crime) mempunyai korelasi dengan bentuk-bentuk kejahatan yang lain khususnya kejahatan-kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi termasuk kejahatan money laundering. Oleh karenanya pemberantasannya harus ditempuh usaha-usaha yang extra ordinary pula, tanpa toleransi dan tanpa kompromi berlandaskan peraturan perundang-udangan yang berlaku.

Di Propinsi Sumatera Utara kasus yang mengejutkan yakni korupsi berjamaah yang melibatkan mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan hampir semua anggota DPRD Sumatera Utara Periode 2009-2014 dan Periode 2014-2019. Gatot sendiri dan beberapa anggota DPRD telah diponis. Masih dalam kasus yang sama, awakhir ini, di Tanggal 22 Juli 2020 KPK melakukan penahanan terhadap 11 orang tersangka mantan anggota DPRD Sumut periode tersebut. Kasus itu belum berhenti sampai di situ, beberapa mantan anggota legislatif periode itu belum dilakukan proses hukum dikarenakan telah mengembalikan uang yang diduga hasil korupsi kepada negara.

Menjadi pertanyaan di tengah masyarakat Sumut, apakah pengembalian uang hasil korupsi dapat menghapus pidana? Ada yang berpendapat meskipun uang telah dikembalikan tetap tindak pidana dinilai sudah terjadi dan pelakunya harus diproses secara hukum.

Berkaitan tentang hal itu, Dosen UMSU Dr. Ahmad Fauzi, SH., berpendapat bahwa pengembalian uang hasil korupsi tidak menghapus pidana, ukuran yuridisnya adalah UU Tipikor, sepanjang unsur-unsur tindak pidana Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah terpenuhi maka pelakunya harus ditindak secara hukum. Maka dari itu penegakan hukum terhadap Tipikor harus dilakuan sesuai UU tersebut.

“Sangat jelas apa yang dinyatakan di dalam Pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor, apabila perbuatan si pelaku telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud maka hukum harus diterapkan kepadanya, dalam artian harus dimintai pertanggungjawaban kepada pelaku. Seperti unsur melawan hukum, unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain, unsur merugikan keuangan negara, unsur menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangan atau kesempatan atau jabatan, unsur-unsur itu merupakan parameter penegekan hukum Tipikor. Apabila perbuatan si pelaku sudah memenuhi parameter dimaksud maka peristiwa pidana sudah sempurna atau perbuatan pidana itu sudah selesai (voltooid).”

Ahmad Fauzi melanjutkan “Bahwa penyidik KPK tidak perlu berfikir panjang menindak pelaku Tipikor sepanjang peristiwa pidana sudah sempurna. Pertanyaan publik tentang pengembalian uang hasil korupsi apakah dapat menghapus pidana, KPK harus arif dan bijaksana menyikapi hal itu dengan mempertimbangkan kejengahan masyarakat yang banyak melihat pejabat negeri ini diponis korupsi.”

“Pasal 4 UU Tipikor sendiri telah menegaskan bahwa pengembalian uang hasil Tipikor tidak menghapus pidana”, Tegasnya.

Pasal 4 UU No. 31 tahun 1999 menegaskan:
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Fauzi menuturkan “Bahwa telah nyata pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidana, tidak menghapuskan kewajiban untuk mempertanggunjawabkan perbuatan korupsi. Pengaruh pengembalian uang hasil korupsi tidak serta merta menghentikan penyidikan dan atau penuntutan, hanya saja dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim untuk memperingan hukuman terdakwa.”

“Memang di dalam UU Tipikor diatur tentang pelaporan uang gratifikasi, tetapi ada mekanisme yang harus diikuti sehingga tidak sembarangan. Dimana penerima gratifikasi selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari harus melaporkan kepada KPK. Menurut saya dalam kurun waktu itulah hukum memandang dan menilai itikad baik seseorang, jika mekanismenya dijalankan maka Saya sependapat untuk menghentikan kasusnya”, tambahnya.  

“Tetapi harus dicermati bahwa kwalifikasi gratifikasi yang dapat dilaporkan kepada KPK adalah yang dimaksud di dalam Pasal 12 B tentang gratifikasi. Itu tegas, oleh karenanya tafsirannya tidak dapat ditarik-tarik untuk membenarkan penghentian proses hukum atas palaku tindak pidana korupsi dengan kwalifikasi Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, karena ada perbedaan kwalifikasi tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam UU Tipikor.”

Pasal 12 C ayat (1) dan (2) UU No. 20 tahun 2001
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

Kaitannya dengan kasus anggota legislatif Sumatera utara, KPK menjerat dengan Pasal 12A dan 12B UU No. 20 tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

Ahmad Fauzi menjelaskan “Bahwa KPK hendaknya menilai apakah waktu 30 (tiga puluh) hari itu dipatuhi, karena dari situ dapat dinilai itikad baik si pelaku. Jangan-jangan pengembalian uang oleh beberapa anggota legislatif itu di tengah KPK sedang melakukan penyelidikan atau penyidikan, karena perbuatannya mulai terendus KPK maka uang itu dikembalikan. Jadi yang ada bukan itikad baik tetapi keterpaksaan, kalau tidak diundus KPK dapat diperkirakan uang tersebut tidak dikembalikan. Kalau kondisinya seperti itu maka KPK secara yuridis harus menjalankan proses hukum meskipun uang hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, biarkan hakim yang akan menilai nantinya.”

“Sepanjang ini kita percaya penuh kepada KPK dalam melakukan pemberantasan Tipikor, Kita ingin korupsi di negeri ini berkurang drastis sehingga uang-uang yang harusnya digunakan untuk kepentingan memakmurkan dan mensejahterakan rakyat digunakan secara maksimal. ” tutupnya. (red)