Tanah Negara

Tanah Negara

Litigasi - Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan kehidupan manusia, kebutuhan manusia akan tanah tidak terputus sepanjang masih ada kehidupan. Untuk itu, konflik dan sengketa perebutan tanah tidak dapat dihindari. Negara sebagai organisasi terbesar memiliki peran sentral dalam melakukan pengaturan dan pengendalian pertanahan. Dalam konteks Negara Indonesia, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 sesuatu yang penting, kedudukannya sebagai norma induk dari peraturan hukum yang ada. Pengaturan tentang pertanahan saat ini tertuang di dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dikenal dengan UUPA yang tentunya bersendikan UUD 1945 khususnya Pasal 33 aya (3) tersebut.

Otoritas Pemerintah terhadap tanah untuk melakukan pengaturan dan pengendalian terhadap pemanfaatan dan penguasaan tanah sebesar-besarnya dipergunakan untuk kepentingan mensejahterakan dan memakmurkan rakyat. Seluruh hamparan tanah secara yuridis berstatus sebagai tanah negara sesuai pemaknaan yang diatur di dalam UUPA.

ads

Pengertian tanah negara sangat esensial, perkembangan pengertian tanah negara telah terjadi sejak jaman penjajahan Kolonial Belanda hingga jaman kemerdekaan. Pada masa kolonialisasi Belanda dikenal dengan tanah domein atau asas domein, dapat dilihat di dalam Agrarisch Besluit Stb. No. 1870 Pasal 1 AB 1870 menerangkan;

“Behoundens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet door anderen regt van eidendom wordt bewezen, domein van de Staat is” (Dengan tidak mengurangi berlakunya Pasal 2 dan 3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendom-nya adalah domein (milik) negara” 

Fase setelah kemerdekaan diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara pada Pasal 1 huruf a memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan tanah negara, dinyatakan dalam Pasal tersebut “tanah negara ialah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara”.

Rezim dibawah PP No. 8 Tahun 1953 tersebut, pengertian tentang “tanah negara” tersebut mengadopsi asas domein pada masa kolonialisasi Belanda. Artinya, penguasaan negara atas tanah bermakna negara selaku pemilik tanah dalam hubungan yang bersifat keperdataan. Hal ini sudah barang tentu sangat berbeda dengan prinsip penguasaan tanah oleh negara menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA (Julius Sembiring, 2016:24). Kesesuaian antara PP tersebut dengan Hukum Agraria Belanda (dikenal dengan nama Agrarisch Besluit) terlihat dalam Penjelasan Umum PP tersebut yang menyatakan:

Menurut "domeinverklaring" yang antara lain dinyatakan di dalam Pasal I "Agrarisch Besluit", semua tanah yang bebas sama sekali dari pada hak-hak seseorang (baik yang berdasar atas hukum adat asli Indonesia, maupun yang berdasar atas hukum barat) dianggap menjadi "vrij landsdomein" yaitu tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai penuh oleh Negara. Tanah-tanah demikian itulah yang di dalam Peraturan Pemerintah ini disebut "tanah Negara."

Oleh karenanya yang dapat dikwalifikasi sebagai tanah negara secara umum adalah tanah yang tidak melekat diatasnya sesuatu hak, baik hak asli rakyat Indonesia (hak ulayat) maupun hak-hak barat (hak erfpacht, eigendem dll). Disini sangat tergantung kepada pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) yakni orang yang mengklaim memiliki suatu hak atas sebidang tanah maka dibebankan untuk membuktikan adanya hak itu, jika tidak maka secara otomatis tanahnya dikwalifikasi sebagai tanah negara.

ads

Aboesono dalam bukunya berjudul “Sedjarah Hukum dan Politik Agraria di Indonesia” pada Halaman 36 membagi (2) dua jenis tanah domein(tanah negara), yakni:
1. Tanah domein yang bebas (tidak ada hak-hak Bumiputra di atasnya);
2. Tanah domein yang tidak bebas (ada hak-hak Bumiputra yang diakui Pemerintah Hindia Belanda);

PP No. 8 Tahun 1983 tersebut menggunakan terminologi tanah negara yang dikuasai penuh dan tanah negara yang tidak dikuasai penuh. PP tersebut menyatakan tanah negara adalah tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Di dalam penjelasan PP tersebut dinyatakan bahwa tanah dikuasai penuh (penulis; oleh negara) jika tanah-tanah tersebut memang bebas sama sekali dari hak-hak yang melekat atas tanah (baik hak-hak barat, seperti eigendom, erfpacht dan opstaal; maupun hak ada seperti hak ulayat, dan hak pribadi), (Julius Sembiring 2016:25).

Defenisi yuridis tentang “tanah negara” tidak diatur secara tegas di dalam UUPA, hanya saja UUPA menjabarkan konsepsi penguasaan negara terhadap tanah di wilayah NKRI. Penjelasan Umum UUPA Sub ke-II ayat (2) secara tegas menyatakan sejak berlakunya UUPA asas domein dicabut karena tidak sesuai dengan konsep penguasaan negara merdeka, era modern dan tidak sesuai dengan kesadaran hukum di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Bahwa makna negara sebagai pemilik tanah tidaklah relevan, lebih tepat jika negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku penguasa atas tanah, bukan pemilik. Kontek penguasaan negara dalam hal ini dimaknai negara diberikan kewenangan untuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.
2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

ads

Selanjutnya, pengertian yuridis tentang “tanah negara” ditegaskan di dalam PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pada Pasal 1 Angka 3, yakni: “Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah”. Perlu dicermati kalimat “dikuasai penuh oleh Negara” dalam PP No. 8 Tahun 1983 dan kalimat “dikuasai langsung oleh negara” menurut PP No. 24 tahun 1997, tentunya memiliki arti yuridis yang berbeda.

Kalimat “dikuasai langsung oleh negara” menurut PP No. 24 tahun 1997 tersebut, pemaknaan tanah negara merujuk kepada UUPA, dimana negara bukanlah sebagai pemilik tanah, tetapi sebagai penguasa tanah yang memiliki kewenangan menyelenggarakan pengaturan, penatagunaan sebagaimana telah dijelaskan pada paragraf di atas. Sedangkan kalimat “tanah yang dikuasai langsung” menurut PP No. 8 tahun 1953 tersebut sangat kental dengan asas domein yang mengadopsi sistem hukum kolonial Belanda, pemaknaan tersebut dinyatakan telah dinisbikan menurut UUPA.