Redistribusi Tanah

Redistribusi Tanah

Pemerintah telah mengidentifikasi tanah seluas 3 juta hektar yang akan diredistribusikan (dibagikan) kepada masyarakat. Tanah seluas itu berasal dari tanah yang menganggur, belum digarap oleh masyarakat dan tanah eks Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan yang tidak diperpanjang. Pemerintah sedang menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) mengatur mekanisme redistribusi tanah sebagai payung hukum. Hal itu dinyatakan oleh Yuana Temenggung selaku Dirjend Tata Ruang Kementrian Agraria dan Tata Ruang.

Redistribusi tanah negara dalam rangka reforma agraria sangat mendesak dalam rangka aktualisasi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana pemanfaatan tanah adalah sepenuhnya dipergunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Sebenarnya redistribusi tanah adalah persoalan klasik yang tidak ada ujung penyelesaiannya. Teramat luas tanah eks HGU perusahaan, terutama perusahaan perkebunan yang tidak diperpanjang masa HGU-nya menjadi titik awal konflik pertanahan di berbagai wilayah Indonesia, tidak sedikit pula mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Banyak faktor yang menjadi hambatan suksesnya redistribusi tanah dari masa ke masa, terutama persoalah regulasi yang panjang, tidak jelas finalnya. Bobroknya pemangku kewenangan di sektor pertanahan, dan kaum kapitalis (pemilik modal) yang secara sistematis dan masif memonopoli hak-hak tanah.

Cerita redistribusi tanah bukan kali ini, sejak Indonesia merdeka sudah dibahas tetapi hingga saat ini hasilnya relatif tidak dirasakan masyarakat luas. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi, memberikan rujukan tentang klasifikasi tanah yang seharusnya dilakukan redistribusi kepada masyarakat. Klasifikasi tersebut yakni:

  1. Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagai dimaksudkan dalam Undang-undang No. 56 Prp. Tahun 1960 dan tanah-tanah yang jatuh pada Negara, karena pemiliknya melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang tersebut (Kelebihan kepemilikan tanah pertanian);
  2. Tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal di luar daerah, sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 3 ayat 5 dan (Tanah absentee/guntai);
  3. Tanah-tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang telah beralih kepada Negara, sebagai yang dimaksudkan dalam Diktum Keempat huruf A Undang-undang Pokok Agraria;
  4. Tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh Negara, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

UU No. 5 Tahun 1960 tetang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) berasaskan bahwa kepemilikan tanah memiliki dimensi sosial. Namun realitasnya kepemilikan tanah bersifat individual, faktor dominan tidak berjalannya amant UUPA tersebut dikarenakan penegakan hukum pertanahan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pemangku kewenangan sektor pertanahan terjebak hanya menjalankan birokrasi pertanahan yang bersifat monoton. Tidak melakukan identifikasi dan pengawasan terhadap hak-hak atas tanah yang seyogyanya harus jatuh ke tangan negara dikarenakan faktor-faktor yuridis yang mengatur tentang itu.

Contohnya, sebagaimana telah dinyatakan dalam PP No. 224 Tahun 1961 sebagaimana telah dirubah dengan PP No. 41 tahun 1964 di atas, Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan penertiban terhadap pemegang hak atas tanah pertanian yang tidak berdomisili di wilayah kecamatan keberadaan tanah (Tanah absentee/guntai). Secara yuridis pemegang haknya harus melepaskan tanahnya kepada pemegang hak baru, jika dalam jangka waktu tertentu tidak dilakukan maka tanah tersebut jatuh kepada negara.

Selain itu, bagi pemegang hak yang tidak mengusahakan, tidak mempergunakan atau tidak memanfaatkan tanahnya sesuai keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaan tanah hak maka status haknya dapat hapus sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Jika hak atas tanah tersebut hapus maka status hak jatuh kepada negara, yang tentunya dapat dilakukan pendisitribusian tanah kepada masyarakat yang membutuhkan.

Selanjutnya, tanah-tanah bekas HGU perusahaan, terutama perusahaan perkebunan, yang seharusnya dikosongkan oleh perusahaan eks pemegang HGU sebagaimana diamanatkan oleh PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, tidak dipatuhi dan tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Akibatnya terjadi penggarapan oleh kelompok masyarakat. Dalam kondisi itu, eks perusahaan pemegang HGU secara masif menghalangi kelompok masyarakat penggarap yang membutuhkan lahan untuk bertani, pada akhirnya terjadi konflik yang meluas di tengah-tengah masyarakat.

Sapanjang ini, redistribusi tanah mengalami stagnan. Mekanisme hukum tentang itu tidak berjalan. Seperti halnya Peraturan Kepala BPN No. 3 tahun 1991 tentang Pengaturan Penguasaan Tanah Objek Landreform sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Kepala BPN RI No. 2 tahun 1995, berkaitan dengan itu, Keputusan Kepala BPN RI No. 25 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Permohonan Penegasan Tanah Negara Menjadi Objek Pengaturan Penguasaan Tanah/Landreform, tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Masyarakat penggarap yang bersusah payah mengajukan permohonan redistribusi atas tanah negara tidak mendapat kepastian hukum atas permohonannya, nasibnya terkatung-katung. Peran Pemerintah sebagai pemangku kewenangan sekaligus sebagai penguasa atas tanah negara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 2 UUPA harus bisa menjawab kebutuhan masyarakat akan kesediaan tanah lewat melakukan redistribusi tanah.

Kembali kepada pernyataan yang dilontarkan oleh Yuana Temenggung selaku Dirjend Tata Ruang Kementrian Agraria dan Tata Ruang menjadi babak baru redistribusi tanah dalam rangka reforma agraria. Pengharapan yang besar dari seluruh masyarakat yang membutuhkan ketersediaan tanah agar apa yang dinantikan dapat terwujud. Rencana penerbitan Perpres yang digadang-gadang menjadi solusi reforma agraria semoga tidak dijadikan penguluran atau perpanjangan waktu, hendaknya tanpa harus menunggu lahirnya Perpres, reforma agraria dapat dilaksanakan karena regulasi tentang itu telah ada. Tanah-tanah yang status haknya harus jatuh ke tangan negara, berstatus sebagai tanah negara, inilah yang seharusnya diredistribusikan kepada rakyat yang membutuhkan. Indentifikasi tanah tersebut harus dilakukan Pemerintah secara cermat dan mendetail serta tegas agar realisasi redistribusi tanah tepat sasaran, demi cita-cita luhur Pasal 33 ayat (3) UDD 1945 dapat terwujud.