Reformasi Agraria dalam Kerangka Otonomi Daerah
Dr. Ahmad Fauzi, SH., MH.

Reformasi Agraria dalam Kerangka Otonomi Daerah

Oleh; Dr. Ahmad Fauzi, SH., MH.*

Klarifikasi makna dari pengertian reformasi perlu dikemukakan sebagai pembahasan awal dalam tulisan ini mengingat dalam masyarakat berkembang beragam penamaan dan pemaknaan tentang reformasi terutama reformasi dalam kaitannya dengan masalah agraria. Diharapkan dengan pengklarifikasian yang jelas tidak lagi terjadi kerancuan makna agenda besar yang hendak digulirkan ini.

Membedakan makna reformasi dengan reformasi agraria, karena keduanya memiliki nuansa arti yang berbeda. Reformasi diartikan sebagai pembaharuan yang bertujuan mengoreksi bekerjanya berbagai institusi, dan berusaha menghilangkan berbagai bentrokan yang dianggap sebagai sumber tidak bekerjanya institusi-institusi dalam suatu tatanan sosial. Jadi tujuannya lebih dari memperbaharui fungsi daripada struktur. Sedangkan reformasi agraria tidak saja melakukan perubahan fungsi tetapi juga mencakup perubahan struktur dalam kerangka agrarian transformation yaitu transformasi sosial-ekonomi masyarakat pedesaan  sehingga    menarik dibahas baik "das sein" maupun "das sollennya".

Persoalan paradigma  menjadi hal yang penting berkenaan dengan pemaknaan yang terbagi menjadi dua kubu atas paradigma hak menguasai negara atas sumber daya agraria sebagai pengartian dari Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 mengandung pemaknaan paradigma yang dubius yaitu: "dikuasai oleh negara" yang dapat diartikan "state based agrarian resource management" yang berarti manajemen pengelolaan sumber daya agraria yang berbasis pada negara. Konsekuensi negara dalam hal ini pemerintah secara sentralistik, birokratik memiliki kewenangan untuk mengatur segala sesuatu yang bersangkut paut dengan pengelolaan agraria.

Gambaran nyata ditunjukkan pada periode berkuasanya Orde Baru yang mengedepankan ekonomi, mendorong investasi modal dengan konsekuensi kemudahan untuk aktivitas perolehan tanah. Praktik pembebasan tanah mendorong terjadinya akumulasi secara timpang penguasaan tanah secara besar-besaran. Tumbangnya Orde Baru, kuatnya desakan daerah-daerah (propinsi) untuk memperoleh otonomi, banyaknya "reclaiming" yang menurut Black's Law Dictionary dikatakan sebagai:

"to claim or demand back; to ask for the return or restoration of athing; to insist upon one's right torecover that which was one's own, but was parted with conditionally or mistakenly; as to reclaim goods which were obtained from one under false pretenses".

Arti secara umum definisi Black's Law Dictionary tersebut, si pemegang hak atas tanah mempertanyakan kembalinya/ pemulihan hak-haknya yang terampas karena tindakan (negara) yang salah atas sumber daya yang dimilikinya berupa tanah/ lahan garapan. Argumentasinya jelas, bahwa maraknya reclaiming lebih diakibatkan tidak bekerjanya hukum sebagaimana yang seharusnya, lemahnya sikap aparat penegak hukumnya. Menurut sudut pandang negara, maka reclaiming dikonotasikan dengan penjarahan oleh rakyat.

Pada gilirannya reclaiming bermuara pada desakan adanya reformasi di segala bidang yang sampai sekarang belum juga menemukan formatnya antara lain menginginkan perombakan total atas paradigma itu.

Para teoritisi, LSM menawarkan paradigma "Community based agrarian resource management" yang bermakna pengelolaan sumber daya agraria berbasis masyarakat.

Otonomisasi Bidang Keagrariaan ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: IV/ MPR/ 2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah untuk mencapai sasaran: peningkatan pelayanan publik, kesetaraan hubungan pemerintah pusat dan daerah, menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, kesejahteraan masyarakat, menciptakan ruang luas kemandirian daerah.  Daerah yang telah siap melaksanakan otoda penuh sejak, 1 Januari 2001.

Konteks pertanahan bahwa harus dilakukan desentralisasi pengurusan taanah dan pengakuan hak ulayat sebagai prasyarat menghindari atau mengurangi potensi konflik pertanahan di tingkat regional maupun lokal. Pemberian hak kepada daerah untuk menentukan kebijakan secara mandiri (tanpa intervensi) dengan merekonstruksi kembali kearifan-kearifan budaya lokal termasuk budaya hukum adat,  bahwa selama ini hukum rakyat (Adat) senantiasa berhadap-hadapan dalam wujud konflik laten dengan hukum negara (yang sangat dipengaruhi kehendak pemerintah sebagai pemegang kekuasaan. Persoalannya secara mendasar adalah kesiapan daerah untuk mampu menentukan rencana, membuat kebijakan berdasarkan kemampuan daya, dana kemauan untuk menggalang semua stake holders untuk memikirkan bagaimana mengelola dengan sistem manajemen yang transparan sumberdaya agraria yang ada di daerah.

Reformasi agraria harus dilakukan secara terencana, bersifat top-down, bersasaran khusus (tertentu) yaitu keagrariaan, merupakan gerakan sosial (social movement) untuk melakukan social engineering atau rekayasa sosial. Namun reformasi agraria harus senantiasa dalam koridor hukum agar tidak terjebak dalam "revolusi yang inkonstitusional". Dengan demikian reformasi agraria harus dibingkai dengan kaidah hukum (being ruled by law) yang dirumuskan bersama-sama semua stake holder. Dalam hal penanganan gerakan reformasi agraria oleh suatu lembaga oleh badan otorita khusus  Beberapa kasus/sengketa agraria di berbagai daerah merupakan bukti bahwa Pertama: Undang-undang Pokok Agraria memerlukan koreksi total dalam konteks pengaturan yang konsisten dengan bidang sumber daya alam lainnya. Kedua: intervensi melibatkan para pihak yang bersengketa dan stake holder lainnya justru tidak mempercepat penyelesaiannya. Ketiga: sebaliknya kesiapan, kedewasaan, kearifan daerah menyikapi persoalan yang ada hendaknya disikapi sebagai "tantangan" kesiapannya dalam meretas jalan kemandirian dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

 

Kesimpulan

Pertama, Reformasi agraria merupakan agenda mutlak yang harus segera direalisasikan khususnya dalam kerangka otonomi daerah agar tujuan dari otonomi daerah untuk memiliki kewenangan dalam mendayagunakan potensi kekayaan sumber daya alam secara optimal dapat tercapai sesuai dengan semangat Undang-Undang  Nomor: 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua, Prasyarat untuk melakukan reformasi agraria dimulai dari penyamaan ide, paradigma, sosialisasi ide kepada semua stake holder, gerakan secara   serempak dari semua stake holder untuk melaksanakan sesuai dengan tahapan, bekelanjutan dan dievaluasi secara periodik. Ketiga, Reformasi agraria harus dilaksanakan didalam kerangka  hukum yaitu harus diatur dalam sistem hukum nasional tentang sumber daya alam yang berkeadilan, konsisten (dalam arti sistem hukum), berkelanjutan dengan memperhatikan pada nilai-nilai adat untuk mengakui adanya eksistensi hak ulayat.

 

* Penulis Dosen PPs Magister Kenotariatan UMSU,  dan Calon Legislatif DPRD Sumut Dapil Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu Induk & Labuhan Batu Selatan.