Proses Rehabilitasi Tersangka Tindak Pidana Narkotika
@ilustrasi

Proses Rehabilitasi Tersangka Tindak Pidana Narkotika

Litigasi - Pelaksanaan rehabilitasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika. Hal ini dilakukan sebagai alternatif dari penjatuhan pidana. Pelaku penyalahgunaan narkotika dalam hal ini "pemakai/pengkonsumsi" dipandang merupakan korban kecanduan narkotika yang memerlukan pengobatan atau perawatan. Pengobatan atau perawatan ini dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi. Kewajiban rehabilitasi sejatinya telah dijelaskan dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), dalam Pasal 54 yang menyatakan bahwa:

“Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.

Kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 103 ayat (10) huruf a dan b  UU Narkotika, yang menyatakan bahwa:

Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
  1. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau
  2. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.

Pengertian dari rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial telah diuraikan dalam UU Narkotika. Pasal 1 Angka 16 menjelaskan bahwa rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan penyalahguna narkotika dari ketergantungan narkotika. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 17 menjelaskan pengertian rehabilitasi sosial yaitu suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas penyalahguna narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Rehabilitasi merupakan bagian dari implementasi lahirnya UU Narkotika yang baru. Sebelum adanya undang-undang ini, tidak ada perlakuan yang berbeda antara pengguna atau penyalahguna, pengedar, bandar maupun produsen narkotika. Penyalahguna narkotika atau pecandu narkotika di satu sisi merupakan pelaku tindak pidana, namun di sisi lain merupakan korban.

Lahirnya UU Narkotika (UU No. 35 Tahun 2009) dapat memberikan peluang bagi penyalahguna narkotika untuk di rehabilitasi. Dimana penyalahguna narkotika yang sudah cukup umur dan ingin di rehabiltasi dapat melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya ke pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit maupun lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan. Untuk penyalahguna atau pecandu narkotika yang belum cukup umur, maka yang melaporkan adalah orang tua atau wali, sebagaimana amanah Pasal 55 UU Narkotika.

Adapun aturan untuk Tersangka yang akan dilakukan rehabilitasi maka pelaksanaannya dapat merujuk pada Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Penanganan Tersangka Dan/Atau Terdakwa Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi (Perkap BNN No.11 Tahun 2014), dalam Pasal 3 ayat (1) menjelaskan bahwa :

 “Seseorang dapat dilakukakan rehabilitasi jika seseorang tersebut merupakan pecandu narkotika dan korban. penyalahguna narkotika”

Kemudian dalam Pasal 3 ayat (2) menjelaskan bahwa :

“Dalam hal seseorang sebagai tersangka dalam perkara narkotika dapat dilakukan rehabilitasi setelah mendapat rekomendasi dari Tim Asesmen Terpadu (TAT)”

Tersangka yang akan dilakukan rehabilitasi, maka Penyidik dapat mengajukan permohonan Asesmen kepada TAT untuk dapat dan tidaknya seorang tersangka dilakukan rehabilitasi, hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Perkap BNN No. 11 Tahun 2014. TAT terdiri dari tim dokter yang meliputi dokter dan psikolog yang telah memiliki sertifikasi asesor dari Kementerian Kesehatan serta Tim Hukum yang terdiri dari unsur Polri, BNN, Kejaksaan dan Kementerian Hukum dan HAM. Tim TAT dibentuk oleh Badan Narkotika Nasional (BNN).

TAT dalam melaksanakan tugasnya dan memberikan rekomendasi hasil asesmen dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) hari kepada Penyidik untuk dilaporkan secara tertulis kepada Pengadilan Negeri setempat. TAT yang memberikan rekomendasi untuk dapat dilaksanakannya rehabilitasi terhadap seseorang yang ditangkap dan/atau tertangkap tangan dalam kaitan peredaran gelap narkotika dan penyalahgunaan narkotika maka terlebih dahulu harus melakukan pencocokan identitas Tersangka, photo, sidik jari, ciri-ciri fisik, nama/alias, dengan data jaringan narkotika yang ada di database BNN dan Polri, melakukan analisis data intelijen terkait jika ada, riwayat keterlibatan pada tindak kriminalitas, menelaah Berita Acara Pemeriksaan Tersangka yang terkait dengan perkara lain, kemudian menelaah penerapan pasal-pasal UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 (SEMA No. 4 Tahun 2010) tentang Penempatan Penyalahguna Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Perkap BNN No. 11 Tahun 2014.

Pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) huruf a dan b UU Narkotika, hanya dapat dijatuhkan untuk Tersangka yang tertangkap tangan oleh penyidik Polri atau penyidik BNN dengan merujuk pada SEMA No. 4 Tahun 2010. Dalam pembahasannya SEMA No. 4 Tahun 2010 telah memberikan batasan  untuk temuan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari yang dapat dilakukan rehabilitasi diantaranya yaitu:

    • Kelompok metamphetamine (shabu) untuk berat 1 gram;
    • Kelompok MDMA (ekstasi) berat 2,4 gram atau 8 (delapan) butir;
    • Kelompok Heroin 1,8 gram, kelompok Kokain 1,8 gram;
    • Kelompok Ganja 5 gram, Daun Koka 5 gram;
    • Meskalin 5 gram;
    • Kelompok Psilosybin 3 gram;
    • Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) 2 gram;
    • Kelompok PCP (phencyclidine) 3 gram;
    • Kelompok Fentanil 1 gram;
    • Kelompok Metadon 0,5 gram;
    • Kelompok morfin 1,8 gram;
    • Kelompok petidin berat 0,9 gram;
    • Kelompok kodein berat 72 gram;
    • Kelompok bufrenorfin berat 32 mg.

Selanjutnya diperkuat dengan surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan permintaan penyidik maupun surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater yang ditunjuk oleh hakim.

Untuk menempatkan seorang Tersangka ke dalam lembaga rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial merupakan kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat pemeriksaan setelah mendapatkan rekomendasi dari Tim Dokter. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.

Terkait dengan pembiayaan rehabilitasi penyalahguna narkotika telah diatur dalam Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Nomor: 01/Pb/Ma/Iii/2014, Nomor: 03 Tahun 2014, Nomor: 11/Tahun 2014, Nomor: 03 Tahun 2014, Nomor: Per-005/A/Ja/03/2014, Nomor: 1 Tahun 2014, Nomor: Perber/01/Iii/2014/Bnn Tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, dalam Pasal 14 menyatakan bahwa:

  1. Biaya rehabilitasi medis bagi terdakwa yang sudah diputus oleh pengadilan dibebankan pada anggaran Kementrian Kesehatan;
  2. Biaya rehabilitasi sosial bagi terdakwa yang sudah diputus oleh pengadilan dibebankan pada anggaran Kementrian Sosial;
  3. Biaya Rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial bagi tersangka dan/atau terdakwa sebagai pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang masih dalam proses pradilan dibebankan pada anggaran Badan Narkotika Nasional;
  4. Biaya pelaksanaan asesmen yang dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu dibebankan pada anggaran Badan Narkotika Nasional;
  5. Segala biaya yang timbul terkait dengan pelaksanaaan Peraturan Bersama ini dibebankan kepada masing-masing Instansi kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Bersama ini.

Kemudian untuk korban penyalahguna narkotika yang menderita komplikasi medis dan/atau komplikasi psikiatris, dapat ditempatkan di rumah sakit Pemerintah yang biayanya ditanggung oleh keluarga atau bagi yang tidak mampu ditanggung Pemerintah. Namun dalam hal korban penyalahguna narkotika yang memilih ditempatkan di rumah sakit swasta yang ditunjuk Pemerintah, maka biaya menjadi tanggungan sendiri. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (irv).