Distorsi Perlindungan Hukum Profesi Guru

Distorsi Perlindungan Hukum Profesi Guru

Kasus Kekerasan

Guru di suatu sekolah di Kota Medan dianiaya oleh orang tua muridnya. Orang tua itu tidak terima perlakuan Sang Guru yang telah menghukum anaknya. Sang guru terpaksa memarahi dan menghukum si murid karena telah  beberapa kali melakukan kesalahan. Sebelumnya peringatan demi peringatan telah diberikan tetapi tidak diindahkan oleh si murid, akhirnya tindakan tegas terpaksa dilakukan Si Guru. Tidak ada motif lain kecuali untuk kepentingan mendidik si anak yang sudah terlanjur menjadi tanggung jawab sebagai pendidik dan pengajar.

Si anak melaporkan perlakuan guru itu kepada orang tuanya, entah apa isi laporannya, orang tuanya datang ke sekolah dan menjumpai pihak sekolah. Nah, disini peluang terjadi malapetaka dimana Kepala Sekolah (Kepsek) mempertemukan guru yang besangkutan dengan orang tua murid. Memang niat Kepsek baik agar terjadi dialog dan tabayun, tetapi yang terjadi jauh dari perkiraan, Ibu, Bapak dan Paman si murid mengejar guru perempuan dan guru laki-laki, si Ibu memukul wajah guru laki-laki, memukuli bahkan menendang guru perempuan pada bagian bawah perut berkali-kali, sementara Bapak dan Paman murid mempropokasi dan memukuli guru laki-laki. Akibat penganiayaan itu, Si Guru mengalami luka memar dan luka hingga mengeluarkan darah segar. Naifnya pihak sekolah malah mem-PHK, sementara guru laki-laki masih diskorsing tanpa disertai dengan sepucuk suratpun.

Permenkumham Coba Persamakan Profesi Advokat Dengan Paralegal

Kekerasan lain terjadi di SMKN 2 Makasar pada tahun lalu, orang tua murid telah menganiaya guru akibat tidak terima dengan hukuman atau sanksi yang diberikan oleh guru. Guru mengalami luka hingga keluar darah dari hidung. Demikian pula pada Februari 2018 masih terjadi kekerasan dilakukan oleh murid kepada gurunya di SMAN 1 Torjun, Sampang. Murid memukul bagian pelipis gurunya hingga tersungkur, sempat dilakukan perawatan tetapi nyawa sang guru tidak terselamatkan. Perbuatan murid itu dikarenakan tidak terima dengan perlakuan atau hukuman yang diberikan kepadanya.

Banyak lagi catatan sejarah kekerasan terhadap guru. Pertanyaannya adalah bagaimana perlindungan Pemerintah Daerah, Yayasan dan Kepsek kepada guru dari tindak kekerasan? Harus ada langkah nyata untuk mengatasinya, tidak sebatas retorika dan lifeservice. Guru harus sedemikian rupa mendapatkan penghormatan karena dari tangannyalah tercipta generasi terdidik, bermoral, berkualitas dan berintegritas tinggi.

Kerugian Negara Timbul Jika Pemda Tak Pecat PNS Korupsi

                                          

Tanggungjawab Pemerintah dan Lembaga Pendidikan

Masih banyak contoh lain mendeskripsikan perlakuan tidak adil bagi Sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa itu. Mereka Masih banyak disalahkan ketika mengambil tindakan tegas atau menjatuhkan sanksi kepada anak didiknya. Banyak orang tua murid tidak rasional dan bertindak emosional mempersalahkan, menyerang dan menganiaya guru dengan hanya mendengar laporan atau pengaduan anaknya, tanpa menfilter dan menguji validitas fakta yang sebenarnya.

Lembaga Pendidikan harus menciptakan rasa aman dan nyaman bagi guru ketika menjalankan tugas profesi, harus ada jaminan bahwa tidak akan terjadi kekerasan di lingkungan sekolah yang mengancam jiwa raganya. Dapat dianalisa bahwa profesi guru rentan berkonflik dengan orang tua siswa, sebagian orang tua siswa sulit menerima sanksi yang dijatuhkan kepada anaknya, tanpa melihat sebab dijatuhkannya sanksi lalu bertindak emosional yang berujung dengan kekerasan.

Bahdin Nur Tanjung; Yayasan Jangan Buat Kebijakan Menambah Pilu Hati Guru

Nah, dalam situasi seperti ini, sebagian Pengurus Lembaga Pendidikan merasa khawatir menindak orang tua siswa yang melakukan kekerasan terhadap guru, guru sering kali mengalami perlakuan tidak adil. Pengurus Lembaga Pendidikan lebih takut kehilangan murid dibandingkan harus menjaga harkat dan martabat profesi guru. Mengapa hal ini terjadi dikarenakan paradigma Pengurus Lembaga Pendidikan telah bergeser menjadi ajang bisnis sehingga menomorduakan penanaman nilai-nilai dasar pendidikan, sosial kemanusiaan. Guru dijadikan objek eksploitasi dengan memberikan beban tanggungjawab besar sementara tidak ada jaminan keselamatan dalam menjalankan profesi.

Ruang lingkup kekerasan di dalam lingkungan pendidikan dapat dilihat di dalam Permendikbud No. 82 Tahun 2015, dinyatakan bahwa tindak kekerasan adalah perilaku yang dilakukan secara fisik, psikis, seksual, dalam jaringan (daring), atau melalui buku ajar yang mencerminkan tindakan agresif dan penyerangan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan dan mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan barang, luka/cedera, cacat, dan atau kematian.

Kasus Penganiayaan Guru SMA YPSA, Dokter PNS Dinkes Langkat Dijemput Polisi

Pemerintah, Pemerintah Daerah, organisasi profesi dan satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam melaksankan tugas. Perlindungan yang dimaksudkan disini meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Lebih lanjut perlindungan hukum mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau  perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain. Hal itu telah ditegaskan di dalam Pasal 39 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen. 

 

Lemahnya Daya Paksa

UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen telah memerintahkan lembaga pendidikan untuk memberikan perlindungan hukum kepada profesi guru tetapi sebagian besar lembaga pendidikan mengabaikannya, tidak ada Standard Operating Prosedur (SOP) penanganan pengaduan atau konflik atau kurangnya pemahaman pengurus lembaga pendidikan tentang problem solving. Dengan demikian kekerasan terhadap profesi guru tidak terelakan.

Patut disadari bahwa norma di dalam UU No. 14 Tahun 2005 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pedidikan Nasional (Sisdiknas) sepanjang berkaitan dengan kewajiban memberikan perlindungan hukum kepada guru sangat lemah atau tidak ada daya paksa penegakannya. Dibuktikan kedua Undang-undang tersebut tidak mengatur sanksi pidana bagi pelaku kekerasan terhadap guru sehingga tindak pidana kekerasan tidak dikwalifisir sebagai tindak pidana khusus dengan penanganan yang khusus. Sepanjang ini pelaku kekerasan masih dijerat dengan pidana umum di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini juga mempengaruhi perlindungan hukum bagi profesi guru luput dari perhatian lembaga pendidikan dan pemerintah.

 

Kesimpulan

Menghormati atau mengagungkan (ta’zim) guru mengingatkan kepada perkataan Khalifah Ali Bin Abi Tholib ra di dalam Kitab Ta’limul Muta’allim yang menegaskan “Saya menjadi hamba sahaya bagi orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya, saya mau dijual, di merdekakan ataupun tetap menjadi hambanya”. Disamping itu, budaya Bangsa Indonesia memperlakukan guru dengan santun, mencium tangan saat bersalaman dan lain-lain. Indoktrinasi menghormati dan menghargai guru terpatri dengan baik sampai mewarnai sikap sehari-hari kepada guru.

Sayang disayang budaya menghormati dan mengagungkan guru (ta’zim) tidak dijamin kuat di dalam norma hukum. UU No. 15 tahun 2005 seharusnya bersendikan nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat, bersendikan budaya dan nilai-nilai agama yang secara konstitusi diakui. Jangan-jangan ada kesengajaan dan masif melunturkan indoktrinasi penghormatan kepada profesi guru, memasukan paham liberal dan sekuler agar dunia pendidikan menjadi rusak.