Babak Baru Kontroversi Undang-undang MD3

Babak Baru Kontroversi Undang-undang MD3

Pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kedua UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) menjadi Undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang paripurna banyak menimbulkan polemik karena ada beberapa pasal dalam UU MD3 yang dirasa tidak sesuai, terkesan berlebihan melindungi anggota dewan dan upaya kriminalisasi kepada rakyat yang kritis terhadap DPR.

Polemik yang terjadi bisa dilihat dalam  beberapa Pasal dalam UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3 yang membuat DPR semakin berkuasa. Diantaranya terkait Pemanggilan Paksa dengan bantuan polisi yang terdapat dalam Pasal 73 menyatakan bahwa :

Ayat (3) Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ayat (4) Panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :
a.  Pimpinan DPR mengajukan permintaan tertulis kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggilan paksa serta nama dan alamat setiap orang yang dipanggil paksa;
b.  Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
c.   Kepala Kepolisian Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah di tempat domisili setiap orang yang dipanggil paksa untuk dihadirkan memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Ayat (5) Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagimana dimaksud pada ayat (4) , Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera setiap orang selama untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Ayat (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanggilan paksa sebagaimana dimaksud ayat (4) dan penyanderaan sebagaimana dimaksud  pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Kepolisian Republik Indonesia.

Melihat ketentuan Pasal  di atas, terdapat kewenangan DPR untuk melakukan pemanggilan paksa kepada setiap dengan bantuan Lembaga Kepolisian dan  melakukan penyanderaan. Kemudian terkait dengan mempidanakan rakyat, dimana DPR mempunyai  hak untuk mengambil langkah hukum  terhadap  setiap orang yang dianggap DPR telah melecehkan atau merendahkan marwah DPR. Dimana tertuang dalam  Pasal 122 huruf L  UU MD3 yang menyatakan : Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR”.

Pasal tersebut merupakan bukti bahwa DPR dan anggota DPR merupakan lembaga yang antikritik dan dirasa membatasi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya. Kemudian terkait dengan Hak Imunitas yang tertuang dalam Pasal 245 ayat (1) menyatakan :

Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan. 

Terkait dengan hak imunitas, padahal seharusnya hak imunitas itu diberikan kepada anggota DPR  terkait dengan pelaksanaan tugas, namun pemanggilan yang tidak  berhubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR juga harus mendapatkan persetujuan dari Presiden setelah mendapat  pertimbangan MKD. Hal ini dapat juga ditafsirkan sebagai semua tindak pidana dimaknai menjadi hak imunitas, sehingga seluruh tindak pidana tidak bisa menjangkau anggota DPR.

Melihat 3 Pasal kontroversial dalam UU MD3, kemudian kelompok  masyarakat melakukan uji materil ke  Mahkamah Konstitusi, Kemudian pada tanggal 28 juni MK mengeluarkan Putusan Nomor :16/PUU-XVI/2018  yang menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk membatalkan ketentuan Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) terkait dengan pemanggilan paksa yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Yang dalam pertimbanganya, MK berpendapat bahwa pemanggilan paksa dan sandera adalah ranah hukum pidana, sementara proses rapat di DPR bukan bagian dari penegakan hukum pidana, MK juga menilai kewenangan DPR untuk melakukan panggilan paksa bisa menimbulkan kekhawatiran yang berujung pada rasa takut setiap orang. Hal itu juga dapat menjauhkan hubungan kemitraan secara horizontal antara DPR dengan rakyat.

Selanjutnya, MK juga mengabulkan permohonan pemohon untuk membatalkan Pasal 122 L UU MD3 terkait dengan Mempidanakan Rakyat, dalam pertimbanganya, MK menyatakan bahwa MKD bukanlah alat kelengkapan yang dimaksudkan sebagai tameng DPR untuk mengambil langkah hukum terhadap orang perorangan yang dinilai merendahkan martabat  DPR dan anggota DPR.  MK juga menilai frasa “merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR” bersifat multitafsir. Frasa tersebut sangat fleksibel untuk dimaknai dalam bentuk apapun, bahkan bila ditelisik rumusan norma tersebut, tidak terdapat penjelasan yang memberikan ukuran dan batasan mengenai ihwal apa saja perbuatan atau perkataan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan merendahkan kehormatan DPR.

Terakhir, MK juga mengoreksi Pasal 245 ayat (1) terkait dengan Hak Imunitas, MK menilai pemeriksaan anggota DPR cukup mendapatkan izin presiden, tanpa harus melalui pertimbangan dari MKD. MK pun menghapus frasa “setelah mendapat pertimbangan dari MKD. Dan dalam pertimbanganya MK menilai bahwa MKD tidak ada relevansinya dan tidak tepat dilibatkan memberi pertimbangan dalam hal seorang anggota DPR hendak diperiksa oleh penegak hukum, sebab MKD adalah lembaga etik yang keanggotaanya berasal dari dan oleh anggota DPR sehingga ada konflik kepentingan. selain itu,  MK juga menilai pemberian pertimbangan itu bertentangan dengan fungsi  dan tugas MKD. Oleh karenanya, menurut Mahkamah persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang kepadanya akan dilakukan penyelidikan harus dikeluarkan oleh Presiden dalam kedudukanya sebagai Kepala Negara bukan oleh MKD.