Dokumen Elektronik Kedudukannya Di Dalam Hukum

Dokumen Elektronik Kedudukannya Di Dalam Hukum

Litigasi - Tak dapat dihindari kemajuan teknologi yang semakin pesat, barang siapa yang tidak mengikuti perkembangannya maka akan tertinggal. Berbagai sector kehidupan telah menggunakan system teknologi informatika. Sudah sebagian besar hubungan traksaksional maupun social dilakukan secara elektronik. Hal itu mendesak pula perubahan dan adabtasi struktur hukum untuk dapat menjangkaunya.

Hubungan hukum keperdataan yang dahulunya dituangkan ke dalam kertas saat ini bergeser dengan menggunakan dokumen yang bersifat elektronik. Negosiasipun yang dahulu dilakukan dengan mengadakan pertemuan-pertemuan saat ini dapat dilakukan dengan media elektronik, sehingga para pihak tidak harus bertemu secara langsung.

Transaksipun kebanyakan dilakukan secara elektronik, yakni menggunakan computer, jaringan computer (internet), dan/atau media elektronik lainnya. Hukum Indonesia saat ini telah menjangkau dan mengaturnya dengan UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dokumen yang digunakan dalam transaksi elektronik dinamakan dengan “dokumen elektronik” artinya adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”.

Disamping itu, tandatangan pihak-pihak yang melakukan transaksipun dapat dilakukan secara elektronik, dan itu telah diatur di dalam Undang-undang tersebut. Definisi yuridis Tanda Tangan Elektronik adalah “tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi”. Selanjutnya bahwa kontrak yang berisikan tentang prestasi dari para pihak, jika dibuat secara elektronik, sudah diatur di dalam Undang-undang tersebut. Untuk itu bagi pelaku bisnis yang mengandalkan system elektronik seperti jaringan (internet) tidak perlu khawatir. Namun demikian perlu ekstra kehati-hatian dalam bertransaksi.

Pertanyaannya adalah, apakah dokumen elektronik diakui sebagai alat bukti dalam tertib hukum Indonesia? Karena di dalam Hukum Acara Pidana dan Perdata tidak ada menyebutkan dokumen eletkronik. Alat bukti di dalam Hukum Acara Pidana diatur di dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang terdiri dari [1] Keterangan saksi; [2] Keterangan ahli; [3] Surat; [4] Petunjuk; [5] Keterangan terdakwa. Tidak ada menyebutkan dokumen elektronik.

Sedangkan alat bukti yang diakui dalam Hukum Acara Perdata diatur di dalam Pasal 164 Rbg yang terdiri dari [1] Surat; [2] Saksi; [3] Persangkaan-persangkaan; [4] Pengakuan; [5] Sumpah. Lagi-lagi tidak menyebutkan dokumen elektronik sebagai alat bukti.

Pengakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti dari suatu tindakan hukum diatur di dalam Pasal 5 UU ayat (1) No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah”. Ayat (2) menyatakan “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia”.

Sebenarnya dokumen elektronik telah lama diakui sebagai alat bukti yang sah, namun dalam terminology yang tidak jauh berbeda, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15 Ayat (1) UU No. 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang menyatakan “Dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau media lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (1) dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah”.

Namun demikian menurut Pasal 5 ayat (4) UU No. 11 tahun 2008 tak semua surat atau akta dapat dibuat secara elektronik diantara surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis dan dokumen yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaries atau akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dokumen eletronik atau informasi elektronik dianggap sah sepanjang informasi atau dokumen dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Untuk itu, sepanjang dokumen elektronik dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara formil dan materil serta kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan maka dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.