Subjek Hukum Dalam Kontrak

Subjek Hukum Dalam Kontrak

Litigasi - Subjek hukum dimaksud disini adalah orang atau pihak yang dapat bertindak membuat kontrak atau perjanjian. Subjek hukum adalah setiap pihak yang menjadi pendukung hak dan kewajiban dalam melakukan hubungan hukum. Ilmu hukum mengenal adanya 2 (dua) pihak yang bertindak sebagai subjek hukum, yakni:

  1. Manusia sebagai natuurlijk persoon, yakni subjek hukum alamiah dan bukan hasil kreasi manusia, tetapi ada kodrat.
  2. Badan hukum sebagai rechtpersoon, yaitu subjek hukum yang menghasilkan kreasi hukum, seperti Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, Koperasi.

Tidak semua manusia dapat bertindak sebagai pihak di dalam perjanjian, ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan batasan-batasannya. Manusia yang dinyatakan oleh hukum tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum sendiri yakni:

  • Orang yang belum dewasa;
  1. Belum dewasa menurut Pasal 330 KUH Perdata yakni belum mencapai umur 21 tahun dan belum menikah. Jika telah menikah sebelum umur tersebut maka dianggap telah dewasa.
  2. Menurut Pasal 29 KUH Perdata, untuk melangsungkan perkawinan bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan harus berumur 15 tahun;
  3. Menurut UU No. 1 tahun 1974 untuk melangsungkan perkawinan bagi laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun;
  • Orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele);
  1. Menurut Pasal 433 KUH Perdata orang yang ditahru di bawah pengampuan adalah orang yang dungu, sakit ingatan, atau mata gelap dan boros;
  2. Menurut Pasal 1330 KUH Perdata, dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan orang-orang yang dilarang oleh undang-undang untuk membuat persetujuan tertentu;
  • Orang perempuan dalam pernikahan;
  1. Menurut Pasal 108 KUH Perdata berbunyi; “Seorang isteri, sekalipun ia kawin di luar harta bersama, atau dengan harta benda terpisah, tidak dapat menghibahkan, memindahtangankan, menggadaikan, memperoleh apa pun, baik secara cuma-cuma maupun dengan beban, tanpa bantuan suami dalam akta atau izin tertulis. Sekalipun suami telah memberi kuasa kepada isterinya untuk membuat akta atau perjanjian tertentu, si isteri tidaklah berwenang untuk menerima pembayaran apa pun, atau memberi pembebasan untuk itu tanpa izin tegas dari suami”.
  2. Menurut Pasal 110 KUH Perdata, dinyatakan; “Isteri tidak boleh tampil dalam pengadilan tanpa bantuan suaminya, meskipun dia kawin tidak dengan harta bersama, atau dengan harta terpisah, atau meskipun dia secara mandiri menjalankan pekerjaan bebas”.

Perlu digarisbawahi bahwa ketentuan Pasal 108 dan 110 KUH Perdata tersebut di atas telah dinyatakan dicabut, dituangkan di dalam Pasal 31 UU No. 1 tahun 1974, berbunyi:

Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
 
Dalam praktek pradilan, Pasal 108 dan 110 KUH Perdata juga telah dicabut sebagaimana dinyatakan di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963. Sehingga seorang perempuan yang terikat dalam penikahan berkedudukan sama dengan laki-laki dalam melakukan perbuatan hukum.