Upah Karyawan Apabila Perusahaan Pailit

Upah Karyawan Apabila Perusahaan Pailit

Litigasi - Bahwa dalam rangka memberikan jaminan pemenuhan hak-hak dasar tenaga kerja, sebelumnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, telah mengatur mengenai persoalan buruh yang pada prinsipnya harus memperhatikan tiga aspek, yaitu aspek teknis, aspek ekonomi dan aspek hukum. Aspek teknis merupakan aspek yang tidak hanya sebatas bagaimana perhitungan dan pembayaran upah dilakukan, tetapi juga menyangkut bagaimana proses upah ditetapkan. Aspek ekonomi  merupakan aspek yang lebih melihat pada kondisi ekonomi, baik secara makro maupun mikro yang secara operasional kemudian mempertimbangkan bagaimana kemampuan perusahaan pada saat nilai upah akan ditetapkan serta bagaimana implementasinya di lapangan. Aspek hukum meliputi proses dan kewenangan penetapan upah, pelaksanaan upah, perhitungan dan pembayaran upah, serta pengawasan pelaksanaan ketentuan upah.

ads

Terkait aturan ketenagakerjaan. pada tahun 2020 Pemerintah dan DPR telah mengesahkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja sendiri telah menentukan kedudukan upah pekerja/buruh apabila perusahaan tempat mereka bekerja dinyatakan pailit atau dilikuidasi.  Hal ini sebagaimana diatur dalam Bagian Kedua Ketenagakerjaan Pasal 81 angka 33 UU Cipta Kerja, yang menyatakan bahwa : Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

  1. Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya;
  2. Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur;
  3. Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang jaminan hak kebendaan.

ads

Jika melihat  penjelasan pada aturan tersebut, tentunya sudah jelas upah pekerja diposisikan sebagai upah yang harus didahulukan pembayarannya atas semua kreditur. Namun fakta yang sering terjadi dalam praktek pelaksanaan putusan pailit,  frasa “didahulukan” diposisikan setelah pelunasan terhadap hak-hak Negara dan para kreditur separatis. Hal inilah yang berpotensi menimbulkan terabaikannya hak-hak pekerja dalam jaminan perlindungan dan kepastian hukum dalam sisi ketenagakerjaan.

Kemudian jika kita melihat amanah UUD 1945 yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi: ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” dan Pasal 28 ayat (2) ”Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Tentu barangkali pelaksanaan putusan pailit tidak mencerminkan amanah dalam konstitusi tersebut.

Hal inilah yang melatarbelakangi diajukannya judicial review ketentuan  Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi. Kemudian Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor: 67/PUU-XI/2013, menyatakan bahwa Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak Negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak Negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah, kecuali dari tagihan dari kreditur separatis”.

ads

Kemudian dalam pertimbangannya mahkamah berpendapat, adapun dasar hukum adanya peringkat atau prioritas pembayaran sebagaimana pertimbangan dalam Putusan Nomor: 18/PUU-VI/2008 tersebut diatas, adalah karena adanya perbedaan kedudukan yang disebabkan oleh isi perjanjian masing-masing berhubung adanya faktor-faktor tertentu. Pengusaha dan pekerja/buruh secara sosial ekonomis tidaklah sejajar secara kedudukannya, melainkan pihak yang satu, sebagai pengusaha tentu lebih kuat dan lebih tinggi bila dibandingkan dengan pekerja/buruh, karena pekerja/buruh secara ekonomis jelas lebih rendah daripada pengusaha. Apalagi jika merujuk pada sistem pembayaran upah pekerja/buruh dalam kegiatan usaha yang dibayar sebulan setelah pekerja melaksanakan  pekerjaan, hal ini merupakan utang pengusaha kepada pekerja yang seharusnya dibayar sebelum kering keringatnya.

Sementara itu upah pekerja/buruh merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi diri dan keluarganya, sehingga menjadi tidak tepat manakalah upah pekerja/buruh tersebut menduduki peringkat yang lebih rendah.Kemudian menjadi hal yang wajar terhadap tagihan hak Negara diposisikan setelah upah pekerja/buruh. Hal ini karena faktanya Negara memiliki sumber pembiayaan lain.

Dengan demikian, keluarnya Putusan MK Nomor : 67/PUU-XI/2013 sejatinya telah memperkuat kedudukan pembayaran upah pekerja/buruh yang wajib  didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak Negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah (red).