Syarat Syah Membuat Kontrak

Syarat Syah Membuat Kontrak

Litigasi - Kontrak atau perjanjian berkembang pesat saat ini sebagai konsekuensi logis dari berkembangnya kerja sama bisnis antar pelaku bisnis. Pada umumnya kerja sama bisnis yang dilakukan menggunakan kontrak atau perjanjian tertulis. Istilah “perjanjian” atau “kontrak” seringkali masih dipahami secara rancu oleh sebagian masyarakat atau pelaku bisnis dalam menjalankan praktik bisnisnya. Padahal jika kita melihat  pada aturan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) atau BW, kedua istilah dikenal dalam sebutan “overeenkomst” dalam bahasa Belanda  dan “contract” dalam Bahasa Inggris untuk pengertian yang sama, sebagaimana tercantum dalam Buku ke-III tentang Perikatan dan Bab ke-II tentang “perikatan-perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian”.

ads

Rumusan tentang perjanjian atau kontrak di dalam Pasal 1313 KUH Perdata yaitu “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Kontrak atau perjanjian merupakan dasar bagi para pihak (pelaku bisnis)  untuk melakukan penuntutan, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan apa yang dijanjikan dalam isi kontrak atau perjanjian tersebut.

Untuk mengetahui apakah suatu kontrak atau perjanjian adalah sah atau tidak sah, maka kontrak tersebut harus diuji dengan beberapa syarat sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kata “sepakat” merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan masing-masing yang dibuat oleh kedua belah pihak. Kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak para pihak dibentuk oleh dua unsur, yaitu penawaran dan penerimaan. Penawaran (aanbod)  diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. Sedangkan penerimaan  (aanvarding) merupakan pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari. Dalam kontrak atau perjanjian, pernyataan kehendak bukan hanya dengan kata-kata, tetapi bisa juga dilihat dari perilaku yang mencerminkan kehendak untuk sepakat. Selanjutnya dalam Pasal 1321 KUH Perdata, menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan atau (bekwaamheid-capacity) yang dimaksud dalam Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata, yaitu kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikatkan diri sendiri. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari usia dewasa atau cukup umur, menurut KUH Perdata usia dewasa adalah 21 tahun. Kemudian menurut Pasal 1330 KUH Perdata, yang dimaksud tidak cakap untuk membuat perjanjian, yaitu:

1.    Orang-orang yang belum dewasa;
2.    Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan;
3.    Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang. Namun, ketentuan ini dihapus dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena Pasal 31 Undang-undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum.

c.  Suatu hal tertentu
Adapun yang dimaksud suatu hal tertentu (eenbepaald onderwerp), yaitu suatu prestasi yang menjadi pokok dalam membuat kontrak, pernyataan-pernyataan yang sifat dan luasnya sama sekali tidak dapat ditentukan dan menjadi kewajiban para pihak. Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam Pasal 1332 dan Pasal 1333  KUH Perdata.

Pasal 1332 KUH Perdata menentukan: Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjianSedangkan  Pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa: Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.

ads

d. Suatu sebab yang halal.
Maksud dari suatu sebab yang halal (eene geoorloofde oorzaak) yaitu suatu kontrak atau perjanjian yang dibuat para pihak harus sesuai dengan peraturan yang ada dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang maupun dengan norma kesusilaan serta ketertiban umum. Hal ini juga terdapat dalam Pasal 1335 KUH Perdata yang menentukan bahwa:

Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Kemudian Pasal 1337 KUH Perdata, juga menentukan bahwa:

Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Dua syarat pertama disebut sebagai syarat subjektif karena mengenai subjek kontrak. Sedangkan dua syarat yang terakhir disebut syarat objektif karena mengenai objek dari kontrak. Dengan tidak dipenuhinya syarat subjektif status kontrak dapat dibatalkan, akan tetapi jika tidak dipenuhi syarat objektif maka kontrak dapat batal demi hukum.