Pembeli Yang Beritikad Baik

Pembeli Yang Beritikad Baik

Litigasi - Penting bagi pembeli memiliki itikad baik dalam akad kontrak. Prinsip-prinsip hukum tentang pembeli yang beritikad baik sepenuhnya harus dipegang dan dipedomani. Tujuannya adalah agar hukum memberikan perlindungan dan jaminan baginya jika suatu saat terjadi problematika hukum yang berasal dari pihak kedua atau pihak lain.

Subekti, “Aneka Perjanjian”, Halaman 15, menerangkan pembeli yang beritikad baik sebagai pembeli yang sama sekali tidak mengetahui bahwa ia berhadapan dengan orang yang sebenarnya bukan pemilik, sehingga ia dipandang sebagai pemilik dan barang siapa yang memperoleh suatu barang darinya dilindungi oleh hukum.

Sementara itu, Ridwan Khairandy dalam bukunya berjudul “Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak”, Halaman 194, mengartikan pembeli beritikad baik sebagai seseorang yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual benar-benar pemilik dari barang yang dijualnya itu. Ia sama sekali tidak mengetahui bahwa ia membeli barang dari orang yang bukan pemiliknya. Ia adalah seorang pembeli yang jujur.

Ilmu hukum membagi pengertian “itikad baik” menjadi dua, yakni:

  • Itikad baik subjektif

Subjektif ini menitikberatkan kepada sikap bathin sebelum dilakukan kontrak atau tindakan hukum. Sikap itikad baik subjektif didasarkan pada kejujuran (honesty). Pada saat dilakukannya kontrak atau tindakan hukum lain, pembeli harus meyakini bahwa syarat-syarat kontrak telah terpenuhi dan tidak adanya sesuatu hal yang disembunyikan berupa kebohongan.

  • Itikad baik objektif  

Yang dipandang dalam itikad baik objektif adalah fakta diluar diri atau diluar sikap bathin, menekankan kepada norma-norma yang berlaku pada saat dibuatnya kontrak, tidak bertentangan dengan norma kesusilaan dan pandangan umum yang berlaku di masyarakat.

Ridwan Khairandy menjelaskan, itikad baik dalam arti obyektif mengandung arti bahwa suatu perjanjian yang dibuat haruslah dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan atau, dengan kata lain, bahwa perjanjian itu harus dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga tidak merugikan salah satu pihak. Konsekuensinya, hakim boleh melakukan peninjauan terhadap isi perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak, apabila pelaksanaan perjanjian ini bertentangan dengan itikad baik. Standar yang digunakan dalam itikad baik adalah standar yang obyektif yang mengacu kepada satu norma yang obyektif. Norma tersebut dikatakan obyektif, karena tingkah laku tidak didasarkan pada anggapan para pihak sendiri, tetapi tingkah laku tersebut harus sesuai dengan anggapan umum masyarakat (Ridwan Khairandy, “Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak” Halaman 194).  

Dari sisi yuridis bahwa itikad baik dapat dikaitkan dengan Pasal 531 KUH Perdata yang menegaskan “Besit dalam itikad baik terjadi bila pemegang besit memperoleh barang itu dengan mendapatkan hak milik tanpa mengetahui adanya cacat cela di dalamnya”. Arti “besit” dalam ketentuan Pasal 529 KUH Perdata dijelaskan; “Besit” adalah kedudukan menguasai atau menikmati suatu barang yang ada dalam kekuasaan seseorang secara pribadi atau dengan perantaraan orang lain, seakan akan barang itu miliknya sendiri.

Yurisprudensi Mahkamah Agung di dalam Putusannya No. 1816 K/Pdt/1989, Tanggal 22 Oktober 1992, telah menyatakan bahwa seorang pembeli tidak bisa diklasifikasikan sebagai pembeli beritikad baik sejak proses pembelian dilakukan, jika terdapat ketidaktelitian pembeli ketika proses pembelian berlangsung, seperti pembeli tidak mengecek status hak dan status penjual terkait dengan objek yang bersangkutan, sehingga pembeli seperti ini tidak berhak mendapat perlindungan hukum dari transaksi yang dilakukan (Ridwan Khariandy, “Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan” Halaman 370).

Dua hal yang ditekankan oleh Yurisprudensi di atas, yakni penelitian terhadap status hak dan penelitian terhadap status penjual (legal standing). Keduanya bersifat komulatif harus dipenuhi. Objeknya dan subjek jual beli harus syah menurut hukum. Objeknya benar dan status kepemilikannya disyahkan oleh hukum dan subjeknya benar memiliki kapasitas hukum yang syah berwenang melakukan pengalihan hak kepada pihak lain.