Sanksi Hukum Oknum Polri Polda Babel Aniaya Wanita

Sanksi Hukum Oknum Polri Polda Babel Aniaya Wanita

Litigasi - Tersebar video Oknum Polri dari Polda Bangka Belitung (Babel) diduga melakukan penganiayaan terhadap perempuan yang diduga melakukan pencurian di dalam toko miliknya. Kabar viral tersebut sampai ke pucuk pimpinan Institusi Polri. Kapolri langsung melakukan pencopotan anggota Polri tersebut dari jabatannya sebagai Kepala Subdirektorat Kilas Direktorat Pengamanan Objek Vital (Ditpamobvit) Polda Bangka Belitung.

ads

Perbuatan tersebut berpotensi menurunkan kehormatan dan martabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. Untuk itu keputusan pencopotan tersebut patut diapresiasi. Namun secara yuridis tindakan hukum tidak sebatas pencopotan tetapi dapat dilakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan sesuai mekanisme peradilan umum.

 

Penting:

 

Peraturan perundang-undangan RI mengatur bahwa Anggota Kepolisian yang melakukan pelanggaran akan diproses secara Kode Etik Kepolisian sesuai tata cara yang dimaksud di dalam PP No. 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian, Perkapolri No. 11 Tahun 2011 tentang Kode Etik Porfesi Kepolisian, Perkapolri No. 2 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Pelanggaran Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

ads

Pasal 15 huruf e Perkapolri No. 11 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian menyatakan dalam etika kemasyarakatan “Setiap Anggota Polri dilarang  bersikap, berucap, dan bertindak sewenang-wenang”.

Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Presiden Republik Indonesia menyatakan:

Penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan pidana.

Artinya, Anggota Polri yang melakukan pelanggaran yang berdimensi melanggar hukum pidana harus diproses melalui mekanisme peradilan umum. Penjatuhan hukuman disiplin atau kode etik tidak serta merta menghilangkan tuntutan pidana.

Misalnya, dalam video tersebut tampak jelas terjadi kekerasan atau penganiayaan kepada seorang perempuan. Tindakan kekerasan tersebut tentunya melanggar ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 351 ayat (1) dan (2) yang isinya menyatakan:

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Instiutsi Kepolisian sebagai penegak hukum secara hukum wajib melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kekerasan tersebut, tidak hanya terpaku memproses Kode Etik Kepolisian. Kekerasan atau penganiayaan sebagaimana tersebut di atas bukan delik aduan sehingga tanpa pengaduan atau laporan dari korbannya, Instiutsi Kepolisian harus tetap menjalankan proses hukum pidana.

Putusan peradilan pidana nantinya dapat dijadikan sebagai bahan hukum bagi Institusi Kepolisian untuk melakukan tindakan berupan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 21 ayat 3 huruf a Perkapolri No. 11 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian yang menyatkaan:

Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dikenakan kepada Pelanggar KEPP yang melakukan Pelanggaran meliputi: a. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Polri;

Mekanisme hukum telah jelas mengatur sanksi bagi oknum Polri yang melakukan pelanggaran. Selanjutnya tergantung kepada niat baik petinggi Polri apakah ingin membersihkan Institusinya dari oknum-oknum yang bersikap arogan, sewenang-wenang dan tidak mencerminkan anggota Polri yang profesional.

Prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) harus dijunjung tinggi. Hukum tetap harus ditegakan tanpa memandang status sosial, tanpa memandang pangkat dan kedudukan Anggota Polri yang melakukan pelanggaran.