Saling Lapor Kasus Melibatkan Anggota DPR-RI, Benarkah Menurut Hukum?

Saling Lapor Kasus Melibatkan Anggota DPR-RI, Benarkah Menurut Hukum?

Tak sedikit ditemui dua orang berperkara secara pidana di Kepolisian RI, keduanya saling membuat laporan atau pengaduan. Satu pihak merasa sebagai korban sementara itu di pihak lain merasa nama baiknya tercemar akibat adanya pengaduan. Seperti contoh kasus Herman Herry, Anggota Komisi III DPR RI asal PDIP, yang dilaporkan oleh Ronny Yuniarto atas dugaan terjadinya tindak pidana pengeroyokan sebagaimana dimaksud Pasal 170 KUHP, terjadi di Jalan Arteri Pondok Indah Jakarta Selatan pada Tanggal 10 Juni 2018 sekitar pukul 09.00 Wib.

Kasus tersebut terus bergulir, babak berikutnya keduanya saling serang dan akan membuat laporan. Herman Herry pun menyampaikan bantahannya melalui media masa dan berencana membuat laporan balik tentang pencemaran nama baik ke pihak Kepolisian. Tuduhan dalam laporan/pengaduan itu yang dijadikan dasar tercemarnya nama baiknya.

Saling serang atau saling lapor dalam kasus pidana sesungguhnya tidak hanya terjadi kali ini. Publik juga sempat dihebohkan dengan saling lapor antara Antasary Azhar, mantan Ketua KPK dan Susilo Bambang Yudoyono, mantan Presiden RI. Antasary melaporkan SBY dengan tuduhan kriminalisasi terhadap dirinya dalam kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen sebagai Bos PT. Putra Rajawali Banjaran pada Tahun 2009. Sedangkan SBY membuat laporan balik terhadap Antasary dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik.

Gambaran berperkara seperti itu memang dikenal di dalam  teori maupun praktek hukum pidana. Laporan/pengaduan balik oleh pihak terlapor timbul karena berdasarkan bukti-bukti bahwa dirinya merasa tidak melakukan tindak pidana yang dituduhkan, sehingga menilai nama baiknya tercemar di mata publik. Melihat hal itu dapat menelaah Pasal 317 Ayat (1) KUHP yang berbunyi seperti ini:

Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Delik dalam Pasal tersebut dikenal dengan "pengaduan fitnah" (lasterlijke aanklact). Dapat dijadikan dasar mengadukan pihak lain yang melemparkan tuduhan palsu atau tuduhan tidak benar.

 

Penting:
Kekerasan Terhadap Tersangka Dan Akibat Hukumnya
Melawan Hukum Menurut Hukum Pidana
Permohonan Pernyataan Pailit Terhadap Debitur Wanprestasi Dinilai Efektif

 

Yang dimaksud dengan palsu disini, tidak harus seluruhnya palsu melainkan dapat juga sebahagian. Misalnya pada suatu malam benar terjadi suatu pencurian, kemudian dilaporkan seseorang tertentu yang melakukannya padahal diketahui bahwa orang itu bukan plakunya. Si pelaku mengetahui bahwa isi dari pengaduan atau pemberitahuan itu adalah yang tidak sebenarnya alias palsu. Isinya tidak harus suatu delik. Dapat saja misalnya merupakan pendirian suatu perusahaan tanpa ijin, atau penjualan barang tertentu di atas harga yang sudah ditentukan. (SR. Sianturi, SH., dalam bukunya berjudul; Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Halaman 573).

Disamping Pasal tersebut, di dalam laporan/pengaduan dapat juga melapiskan Pasal 310 dan 311 KUHP. Pasal-pasal tersebut pada intinya menjerat tentang pencemaran nama baik dengan menggunakan lisan maupun tulisan.

Pasal tersebut secara tidak langsung menghimbau kepada setiap warga negara yang ingin melaporkan tindak pidana agar memiliki bukti-bukti yang validitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Disamping itu keprofesionalan penyidik dalam mengumpulkan alat-alat bukti sangat diperlukan karena pasal ini juga sering dijadikan tameng atau disalahgunakan oleh calon-calon tersangka.