Problematika Yuridis Hak Restitusi Korban Perdagangan Orang
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara & Ketua Umum Pusat Studi Konstitusi dan Perundang-undang ATRYNAMS

Problematika Yuridis Hak Restitusi Korban Perdagangan Orang

Oleh - Dr. Tengku Erwinsyahbana, S.H., M.Hum

Orientasi hukum pidana pada masa sekarang ini mengalami pergeseran. Awalnya hukum pidana berorientasi terhadap perbuatan pidananya (crime) yang sasarannya adalah prevention of crime dan terhadap pelaku tindak pidana (offender) yang sasarannya adalah treatment of offender, kemudian bergeser terhadap korban tindak pidana (victims) yang sasarannya adalah treatment of victims. Adanya perhatian terhadap korban ini telah menghapuskan kesan bahwa hukum pidana hanya memanjakan pelaku daripada korban tindak pidana.

Kepedulian terhadap nasib korban telah tumbuh begitu meyakinkan, yaitu dengan adanya bentuk pemberian ganti kerugian kepada korban tindak pidana. Perhatian terhadap korban tindak pidana sesuai dengan keinginan masyarakat internasional yang diawali dari penyelenggaraan Kongres PBB di Caracas, Venezuela, tahun 1980. Komisi PBB mengenai Crime Preventioan and Treatment of Offenders berpendapat bahwa pada Kongres PBB ke VII yang diadakan di Milan tahun 1985 harus membahas permasalahan korban kejahatan, yang meliputi baik korban kejahatan konvensional, seperti kekerasan terhadap orang maupun korban penyalahgunaan kekuasaan ekonomi dan politik, kejahatan terorganisasi, diskriminasi dan eksploitasi, serta memberikan perhatian khusus terutama terhadap golongan-golongan penduduk yang rentan, seperti anak-anak, wanita dan etnis minoritas. Hasil Kongres PBB VII tahun 1985 di Milan merumuskan bahwa hak-hak korban seharusnya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana. Individu-individu harus dapat memperoleh perlindungan hukum yang memadai. Hal ini penting dilaksanakan, sebab hak-hak korban kejahatan selama ini diabaikan dan sekarang waktunya untuk lebih memberikan perhatian terhadap hak-hak korban.

Deklarasi PBB mengenai Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power telah diadopsi oleh Majelis Umum tanggal 29 November 1985 (General Assembly Resolution 40/34), dan hal ini mencerminkan adanya kemauan kolektif masyarakat internasional untuk memulihkan keseimbangan antara hak-hak fundamental tersangka/pelaku, serta hak-hak dan kepentingan korban. Adanya deklarasi tersebut didasarkan atas pandangan filosofis, bahwa korban harus diakui dan diperlakukan secara memadai atas dasar kemanusiaan. Korban berhak mengakses mekanisme pengadilan dan mendapat ganti rugi yang tepat terhadap kerugian yang dideritanya. Selain itu, korban juga berhak untuk menerima bantuan khusus yang memadai yang berkaitan dengan trauma emosional dan masalah lain yang menyebabkan penderitaan bagi korban. Perhatian atau kepedulian terhadap korban kejahatan, tidak terbatas pada korban kejahatan konvensional (perampokan, perkosaan, pencurian, dan kejahatan sejenis lainnya), tetapi juga harus mencakup korban kejahatan non-konvensional, yang antara lain korban tindak pidana perdagangan orang.

Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang secara komprehensif, harus didasarkan pada konsep pemidanaan sebagaimana yang pernah dikemukakan Barda Nawawi Arief (1996: 98), bahwa konsep pemidanaan harus bertolak dari keseimbangan antara dua sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan individu, sehingga melahirkan konsep daad-dader strafrecht. Perlindungan hukum terhadap individu harus diperluas ruang lingkupnya, tidak hanya pada offenders oriented, tetapi juga pada victims oriented. Victims oriented ini pun diperluas lagi, tidak hanya berorientasi pada potential victims, tetapi juga pada actual victims atau direct victims.

Dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang ini, maka melalui Pasal 48 sampai dengan Pasal 50 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU No. 21 Tahun 2007), terdapat ketentuan yang terkait dengan hak korban atau ahli warisnya untuk memperoleh restitusi, yaitu berupa ganti kerugian atas: (a) kehilangan kekayaan atau penghasilan; (b) penderitaan; (c) biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau (d) kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.

Ganti rugi kepada korban tindak pidana sudah seharusnya menjadi tanggung jawab pribadi pelaku, dan tanggung jawab ini pada dasarnya merupakan bagian dari proses pemasyarakatan. Berdasarkan sudut pandang ini, maka restitusi tidak semata ditujukan kepada orang yang telah dirugikan (korban), tetapi pada saat yang sama juga membantu memasyarakatkan kembali dan rehabilitasi si pelaku dan hal ini bagian dari pemidanaan (Amrullah, 2003: 213), dan sesuai pula dengan pendapat van Dijk (1999: 177), yang mengatakan bahwa untuk menyelesaikan konflik antara pelaku dan korban, maka pidana dapat menjadi pemuasan bagi korban, sedangkan penyelesaian konflik antara pelaku dan korban dalam tindak pidana yang menimbulkan kerugian, tergantung dari kerugian yang pada akhirnya akan diganti atau dipenuhi.

UU No. 21 Tahun 2007 telah mengatur hak korban atau ahli warisnya untuk memperoleh restitusi, tetapi jika memperhatikan rumusan ketentuan Pasal 50 ayat (4), maka masih terdapat permasalahan yuridis, karena ditentukan bahwa “jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun”. Berdasarkan Pasal 50 ayat (4) UU No. 21 Tahun 2007, maka hukuman kurungan hanya dapat diberikan kepada orang, tidak termasuk badan hukum atau korporasinya, padahal dalam Pasal 1 angka (4) UU No. 21 Tahun 2007, ditentukan bahwa yang dimaksud dengan setiap orang tidak hanya orang perseorangan tetapi juga korporasi, pada sisi lain adalah hal mustahil jika korporasi dapat dijatuhi pidana kurungan pengganti.

Pasal 15 UU No. 21 Tahun 2007, memang ada mengatur bahwa dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Selain pidana denda, korporasi juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: (a) pencabutan izin usaha; (b) perampasan kekayaan hasil tindak pidana; (c) pencabutan status badan hukum; (d) pemecatan pengurus; dan/atau (e) pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.

Problematika yuridis disini terkait dengan redaksi kalimat yang terdapat dalam Pasal 15 UU No. 21 Tahun 2007, yang tentunya tidak dapat ditafsirkan bahwa sanksi (pidana) berupa denda bagi korporasi sekaligus dijadikan dasar hukum untuk menjatuhkan sanksi berupa kewajiban untuk memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya, bahkan dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 50 UU No. 21 Tahun 2007, tidak ada ketentuan secara tegas yang mewajibkan korporasi untuk memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya. Apabila tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh (melibatkan) korporasi, maka sudah seharusnya korporasi yang bersangkutan dapat dijatuhi sanksi berupa kewajiban untuk membayar restitusi, misalnya akibat tindak pidana tersebut telah menyebabkan korban: (a) kehilangan kekayaan atau penghasilan; (b) mengalami penderitaan; (c) membutuhkan biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau (d) mengalami kerugian lain. Selanjutnya jika korporasi tidak mampu membayar restitusi kepada korban, maka korporasi harus mendapat sanksi alternatif lain, tetapi ironisnya ketentuan demikian tidak terdapat dalam UU No. 21 Tahun 2007.

 

Daftar Pustaka

  • Arief Amrullah, M. 2003. Politik Hukum Pidana dalam rangka Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di bidang Perbankan. Malang: Bayumedia Publishing.
  • Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
  • Dijk, J.J.M. van, H.I. Sagel-Grande dan L.G. Toornvliet. 1999. Kriminologi Aktual. Alih Bahasa P. Soemitro. Surakarta: Sebelas Maret University Press.