Physical Distancing Covid-19 dan Hukum Ibadah Di Rumah
Mhd. Ansor Lubis, SH.,MH

Physical Distancing Covid-19 dan Hukum Ibadah Di Rumah

Oleh; Mhd. Ansor Lubis, SH.,MH*

Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Surat Edaran Nomor 6 tahun 2020 tentang Panduan Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H Di Tengah Pandemi Wabah Covid-19 dimaksudkan untuk memberikan panduan beribadah yang sejalan dengan syariat Islam dan sekaligus mencegah, mengurangi penyebaran, dan melindungi pegawai serta masyarakat  muslim di Indonesia dari resiko wabah Covid-19 yang terus tiap hari meningkat dilihat statistik pemberitaan penaggulang Covid-19 di Indonesia.

Dalam surat edaran tersebut mengisyaratkan kepada seluruh masyarakat muslim untuk melakukan ibadah ramadahan sesuai dengan ketentuan fiqih ibadah dan dilakukan di rumah seperti sahur, buka puasa, sholat tarawih, tadarus al-quran, nuzul Qur’an, Iktikaf, sholat Idul Fitri tujuannnya adalah untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dan untuk menghindari Pysical Distancing terhadap Covid-19.

Kemudian apakah akan mengurangi pahala sholat, puasa atau tarawih ketika dilakukan di rumah? tentunya tidak, hal ini dikarenakan pada masa Covid-19 dikhawatirkan akan menjangkit dan menambah orang terjangkit karena penyebaran Covid-19 ini begitu masif sehingga tidak menimbulkan gejala apa-apa, dan medis juga meyampaikan penderita yang mempunyai gejala hayanya 15 % sementara 85 % tidak menyadari sedang terjangkit maka pada waktu yang sama virus tersebut menularkan kebanyak orang apalagi penyebaranya bisa melalui berjabat-tangan, bersin dan lain-lain.

Maka, ketika seorang muslim menahan diri dari melakukan kewajiban seperti sholat wajib dan sholat sunnah seperti sholat jum’at, dan sholat tarawih, witir, idul fitri tidak ke masjid atau lapangan yang dianggap tempat umum, atau tempat ramai  maka muslim tersebut adalah sudah menjaga nyawa muslim yang lain dari pada bencana kematian akibat Covid-19 yang tiap hari angka peningkatan meningkat dan angka kematian juga meningkat, pahala untuk menahan diri lebih besar karena menghindari mudharat. firman Allah dalam Surat Al-Maidah; 32 berbunyi:  

مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفْسًۢا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى ٱلْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحْيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَآءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِٱلْبَيِّنَٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِّنْهُم بَعْدَ ذَٰلِكَ فِى ٱلْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ

Artinya; Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.

Oleh karena itu, seharusnya Badan Kemakmuran Masjid di seluruh wilayah baik di provinsi/kabupaten kota yang daerahnya sudah terkena wabah Covid-19 yang tidak terkendali untuk menutup sementara tempat beribadah atau kegiatan-kegiatan keagamaan seperti sholat berjamaah di masjid, sholat tarawih dan witir, buka bersama di masjid, tadarusan, atau punggahan ketika menyambut bulan suci ramadhan sebab dengan menutup atau menghentikan sementara waktu berarti menyelamatkan nyawa orang lain atau kemaslahatan masyarakat ditengan Covid-19. 

Hukum Meninggalkan Sholat Wajib dan Sunnah (Jum’at & Ramadhan)  dikala Covid-19

Apakah boleh seorang muslim untuk meninggalkan sholat berjamaah di masjid padahal sholat berjamah itu lebih utama dari sholat sendirian (di rumah) tetapi harus digaris bawahi bahwa ada ketentuan lain yang mengharuskan supaya sholat berjamaah di rumah yaitu di khawatirkan ketika sholat berjamaah di masjid terjadi kerumunan (jamaah) yang menyebabkan penyebaran Covid-19 cepat tertular melalui kerumuan atau saling jabat tangan/salaman angan sebelum dan sesudah sholat berarti dalam hal ini adalah darurat pandemi covid-19.

Hukum menghadiri sholat berjaamah adalah fardhu ‘ain bagi laki-laki tetapi terdapat beberapa kondisi (‘uzur syar’i ) yang menyebabkan kewajiban menjadi gugur, diantara nya hujan deras, sakit, angin kencag dan pandemi covid-19 tetapi pandemic covid-19 ada dua kondisi yaitu jika orang/muslim terbukti positif terinfeksi.

Riwayat Abu daud yang di shahihkan oleh Al bani dalam kitab shahih Abu Daud berkata:

Sholat juma’at adalah wajib bagi setiap muslim dengan berjamaah kecuali empat orang yaitu: hamba sahaya, wanita, anak kecil dan orang sakit.

Tetapi Al-Mardawi Rahimallohu berkata: “orang sakit diberi uzdur untuk meninggalkan sholat jum’at dan sholat jamaah tanpa ada perselisihan. dan diberi juga udzur (untuk meninggalkan sholat jum’at dan sholat jamaah) karena khawatir terkena penyakit”.

Akan tetapi akan menjadi HARAM jika penyakit tersebut adalah penyakit yang menular seperti Covid-19 dengan syarat:

1. Tidak boleh menghadiri sholat berjamaah jika kehadirannya (orang terkena Covid-19) menyakiti kaum muslim yang sedang berjamaah atau sholat jum’at.

Diriwayatkan Imam Muslim: “barang siapa makan bawang merah, bawang putih, serta bawang bakung, janganlah dia mendekati masjid kami, karena malaikat merasa tersakiti dari bau yang membuat manusia tersakiti”.

Hadist tersebut menunjukkan bahwa orang yang makan bawang merah dan bawang putih dilarang mengikuti sholat jamaah dimasjid karena alasan akan mengganggu dan menyakiti kaum muslim yang melakukan sholat baik sholat wajib ataupun sholat sunnah dengan bau tidak sedap yang ditimbulkan.

Jika kaum muslim saja tersakiti dengan bau tidak sedap yang menyebabkan seseorang dilarang untuk menghadiri sholat berjamaah di masjid sebagai kewajiban, lalu bagaimana dengan orang yang sudah dikatakan terinfeksi dengan penyakit Covid-19 oleh pemerintah sehingga diharuskan untuk diisolasi selama 14 hari di rumah berarti ini menandakan bahwa penyakit menular seperti Covid-19 berbahaya bagi manusia dan bisa merenggut nyawa tentu larangannya lebih keras dibandingkan dengan cuman memakan bawang putih atau bawang merah.

2. Kaidah Ushul Fiqih “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain, baik sengaja atau tidak sengaja”.

Orang yang memiliki penyakit menular seperti Covid-19 akan menimbulkan bahaya bagi orang lain jika hadir dan sholat berjamaah di masjd, apalgi ada orang-orang yan beresiko tinggi terinfeksi Covid-19 dengan komplikasi serius seperti orang-orang yang berusia lebih dari 60 tahun keatas.

3. Kaidah ushul Fiqih “Menolak mudharat lebih didahulukan daripada meraih manfaat”.

Menolak potensi bahaya (covid-19) lebih didahulukan daripada meraih manfaat. dengan demikian manfaat mendapatkan pahala sholat berjamaah merupakan suatu manfaat besar yang tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi, jika hal itu dapat menimbulkan mudhrat berupa semakin meluasnya penakit menular seperti Covid-19 yang mengancam jiwa manusia maka mudhrat tersebut lebih didahulukan, sehinggatidak boleh orang tersebut menghadiri sholat berjamaah baik wajib atau sunnah di masjid karena akan menyebabkan mudhrat bagi orang lain.

4. “Jangan dikumpulkan (unta) yang sakit dengan (unta) yang sehat”. HR. Bukhori No. 5771 dan Muslim No. 2221)

Maksudnya apa ketika orang yang sudah positif Covid-19 atau bisa dikatakan orang yang sudah dalam pantauan medis dikhawatirkan tetap berkumpul baik dalam masjid untuk berjamaah melaksanakan kegiatan ibadah baik ibadah wajib atau sunnah maka akan betentangan dengan hadis diatas sehingga nabi melarang kerna akan berakibat merugikan yang lain.

5. Orang-orang yang positif menderita Covid-19 akan diisolasi oleh petugas Medis kesehatan atas Instruksi Pemerintah, sehingga wajib taat.

Dalam kondisi pandemi Covid-19, pasien yang terkena wabah perlu diisolasi agar tidak menimbulkan bahaya bagi orang lain, termasuk tidak bepergian sholat berjamaah kemasjid tetapi sifatnya adalah mudharat untuk pasien yang sudah terkena sedangkan ancaman mudharat (dharar) bagi orang banyak harus lah diutamakan, kaidah ushul fiqih : “Membiarkan dharar yang dampaknya terbatas untk menghilangkan dharar yang dampaknya lebih luas”.

6. Majelis Ulama Indonesia Melalui Fatwa Nomor 14 Tahun 2020

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat telah sepakat tentang orang yang sudah terpapar oleh Covid-19 wajib menjaga dan mengisolasi diri di rumah agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Dalam keputusan tersebut MUI Pusat mengatakan bahwa sholat jum’at dapat diganti dengan sholat zuhur, karena sholat juma’at merupakan ibadah yang wajib untuk dilaksanakan dan melibatkan banyak orang sehingga dengan banyaknya orang akan berakibat terjadi penularan Covid-19. maka bagi kaum muslim haram hukum melakukan ibadah baik ibada wajib atau sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperji jamaah sholat lima waktu, jaamh sholat tarawih, sholat Idul fitri serta menghadiri pengajian umumdan tabligh akbar.

Maka dari penjelasan fatwa diatas menunjukkan pada kita bahwa tidak hanya terbukti positif Covid-19, akan tetapi orang-orang dalam status atau dalam pengawasan tenaga medis, sebaiknya tidak menghadiri sholat berjamaagh di masjid.

 

*Penulis adalah alumni Pascasarjana USU dibidang Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dan aktif sebagai Pemerhati Kebijakan Pemerintah, aktif pada Law Firm Bambang Santoso & Partner