Pembuktian Adanya Wanprestasi
@ilustrasi

Pembuktian Adanya Wanprestasi

Litigasi- Anggap saja perjanjian atau kontrak telah ditandatangani atau telah terjadi dengan mempedomani syarat-syarat yang dimaksud di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yakni berupa adanya kesepakatan, para pihak tidak dibawah pengampuan, adanya sebab tertentu dan adanya kehalalan di dalam perjanjian.

Maksud kehalalan disini bahwa perjanjian yang dibuat adalah halal sesuai standar peraturan perundang-undangan, dari segi subjek dan objek perjanjian sudah sesuai atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak dibenarkan membuat perjanjian tentang hal-hal yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan.

ads

 

Jadi ketika syarat-syaratnya telah dipenuhi maka perjanjian berlaku dan mengikat (binding) bagi para pihak yang menandatangani. Timbul hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan diperoleh oleh pihak tertentu sebagaimana yang diatur di dalam klausul perjanjian. Dan jika terjadi pelanggaran atas isi perjanjian maka pelakunya dinyatakan ingkar janji (wanprestasi). Ukuran wanprestasi telah dibahas di dalam artikel yang berjudul Wanprestasi Dan Akibat Hukumnya

Mencermati substansi Pasal 1238 KUH Perdata yang berbunyi; “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa Si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Untuk menyatakan salah satu pihak melakukan wanprestasi maka disyaratkan memberikan peringatan atau somasi kepada pelakunya sebelum mengajukan upaya hukum berupa gugatan ke pengadilan.

Saat akan melakukan upaya hukum harus difokuskan kewajiban apa yang tidak dipenuhi sesuai perjanjian, dengan demikian fokus pembuktiannya mengungkapkan kebenaran kewajiban yang tidak terlaksana itu, jangan salah sasaran dan jangan membias kepada hal-hal yang tidak substansial.

Tentunya harus ada bukti-bukti yang valid membuktikan benar terjadinya wanprestasi. Maka untuk ketepatan alat-alat bukti yang harus digunakan harus merujuk kepada Pasal 1866 KUH Perdata Jo. Pasal 164 HIR/284 Rbg dimana alat-alat bukti terdiri dari:

    1. Bukti tertulis
    2. Saksi
    3. Persangkaan
    4. Pengakuan
    5. Sumpah

Pembuktian dalam sengketa perdata menitikberatkan pada bukti formil (formeel waarheid) berupa surat atau bukti tertulis, terutama akta otentik. Nilai pembuktian akta otentik sangat tinggi atau sempurna. Sesuai Pasal 1870 KUH Perdata yang menyatakan “Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya.”

Penjelasan selengkapnya tentang alat bukti dapat dilihat dalam artikel Jenis Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata

Dengan kesempurnaannya itu, ada keharusan bagi semua pihak termasuk hakim untuk mengakui apa yang termaktub di dalam akta otentik adalah suatu kebenaran. Jika ada yang menyangkalnya maka diwajibkan membuktikan sebaliknya dengan alat-alat bukti yang kuat dan tidak diragukan validitasnya, serta harus sedemikan rupa dapat membangun keyakinan hakim.

Berkaitan dengan Kapan Seseorang Dikatakan Wanprestasi?

Contohnya, seorang debitur dinyatakan tidak membayar hutangnya kepada kreditor yang telah jatuh tempo. Setelah diperingati beberapa kali, debitur tetap tidak melunasi hutangnya. Maka untuk membuktikan benar debitur wanprestasi sangat disarankan untuk membawa surat-surat, seperti;

    1. Membawa surat perjanjian yang telah ditandatangani para pihak dan bermaterai cukup atau akta perjanjian yang dibuat di hadapan notaris.
    2. Surat tanda penyerahan pinjaman atau hutang debitur berupa kwitansi atau bukti transfer, atau surat lainnya.
    3. Surat peringatan atau somasi, ini penting sebab dapat dijadikan ukuran telah terjadi wanprestasi atau dijadikan ukuran penilaian adanya itikad buruk debitur.
    4. Surat lainnya sebagai pendukung seperti identitas dan lain-lain.

Dalam perkara wanprestasi dipersyaratkan adanya perjanjian yang terlebih dahulu ada, untuk itu perjanjian harus dijadikan bukti di persidangan. Perjanjian itu yang menerangkan benar adanya hak dan kewajiban yang telah disepakati dan telah diingkari oleh debitur. 

Dari deskripsi itu bahwa alat bukti tertulis lebih diutamakan dibandingkan bukti saksi, utamanya adalah akta otentik. Oleh karena itu surat-surat berkaitan dengan suatu perbuatan hukum harus dibuat dan disimpan dengan baik sebagai antisipasi jika diperlukan untuk pembuktian.

Bagaimana dengan alat-alat bukti yang lain? Bukan berarti dikesampingkan, tetap dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah untuk dijadikan pendukung atau menguatkan. Dan perlu diingat jika ada saksi yang dihadirkan maka jangan sampai memberikan keterangan yang bertolak belakang dengan bukti tertulis. Demikian pula jangan sampai keterangan antara satu saksi dengan saksi yang lain saling bertentangan atau bahkan saling bantah membantah (red).