Lockdown atau PSBB: Ujian Kesigapan Indonesia dalam Kondisi Darurat
Mhd. Ansor Lubis, SH., MH., dan Daulat Nathanael Banjarnahor, SH., MH

Lockdown atau PSBB: Ujian Kesigapan Indonesia dalam Kondisi Darurat

Oleh; Mhd. Ansor Lubis, SH., MH., dan Daulat Nathanael Banjarnahor, SH., MH*

Wabah Corona Virus Disease 2019 atau yang awalnya dikenal dengan nama “Novel Coronavirus” dan kini dikenal dengan “COVID-19” atau Virus Corona telah menyerang sebagian besar negara di dunia dan kini telah mewabah di Indonesia. Hal ini berdampak serius pada banyak aspek kehidupan bernegara dan tentunya juga berdampak kepada seluruh warga negara di Indonesia.

Virus Corona yang diketahui mulai mewabah pada bulan Desember tahun 2019 di sebuah kota di Republik Rakyat Tiongkok, yaitu Wuhan, kemudian dengan cepat menyebar ke banyak negara di dunia, dan kemudian berkembang menjadi tragedi yang memilukan dalam sejarah umat manusia di era ini. Bermula dari infeksi di Wuhan, Covid-19 kini telah menyebar ke seluruh dunia dan menewaskan hampir 80.000 orang. Di Indonesia sendiri Virus Corona ditengarai mulai masuk pada awal bulan Maret 2020 dengan dua kasus pertama yang terjadi di Indonesia. Kini berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, per hari Jumat, tanggal 24 April 2020 Kasus Positif Covid-19 di Indonesia telah mencapai lebih dari 8000 kasus.

Merespon hal ini, pemerintah Indonesia melalukan langkah-langkah untuk mengantisipasi penyebaran virus corona di Indonesia. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan sebagai Stakeholder yang langsung terkait mengupayakan langkah langkah awal yang strategis dalam menghadapi dan menangani Covid-19, yaitu: pertama, Menerbitkan surat edaran kepada seluruh Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten dan Kota, Rumah Sakit Rujukan, Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), dan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL), untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi kemungkinan masuknya Covid-19, Kedua, Menempatkan alat pemeriksa suhu (thermal scanner) di seluruh bandar udara di Indonesia terutama yang mempunyai penerbangan langsung dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan yang terakhir Pemerintah Indonesia juga menunjuk sedikitnya 100 Rumah Sakit Rujukan yang sebelumnya dipakai pada kasus flu burung dan menyiapkan 21 kapsul evakuasi (meja dorong isolasi pasien) sebagai langkah pencegahan.

Pelaksanaan langkah-langkah penanganan Covid-19 terebut terus dipantau oleh pemerintah hingga akhirnya Pemerintah mengeluarkan himbauan Social Distancing pada pertengahan bulan Maret tahun 2020. Menurut WHO, Social Distancing adalah suatu geraka social, dimana seseorang dianjurkan untuk menjaga jarak dengan orang lain serta mengurangi interaksi dan kegiatan sosial di luar rumah. Kebijakan Social Distancing kemudian diterjemahkan oleh Pemerintah dengan himbauan melakukan segala kegiatan dari rumah, misalnya bekerja, bersekolah, dan lain sebagainya yang bisa dikerjakan dari rumah (Work From Home/WFH), hingga seruan atau hastag #dirumahsaja disuarakan oleh Pemerintah Indonesia untuk seluruh warga negara.

Ternyata pelaksanaan Social Distancing masih dianggap kurang maksimal dalam pelaksanaanya dengan berbagai faktor yang menjadi kendalanya, misalnya faktor tidak meratanya taraf hidup masyarakat yang ditandai dengan masih banyaknya warga negara Indonesia yang harus bekerja di luar rumah untuk mendapatkan penghasilan untuk kehidupan sehari hari, belum lagi ditambah dengan budaya hukum masyarakat yang sduah menaati aturan, misalnya masih banyak ditemukan masyarakat dan keluar hanya untuk nongkrong atau berkumpul sehingga muncul desakan dari kalangan masyarakat untuk segera mengambil langkah dan menetapkan status “Lockdown” yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan.

Lockdown” sendiri memiliki pengertian sebuah tindakan dari negara, wilayah, atau daerah menutup akses masuk dan keluar di suatu wilayah yang mengalami pandemi. Makna Lockdown sendiri memiliki sedikit perbedaan dengan apa yang ada dalam aturan hukum positif Indonesia. Dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan istilah “karantina” dan bukan Lockdown. Pasal 1 Ayat (1) menerangkan Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Dalam perkembangannya pemerintah Indonesia sampai saat ini menolak mengambil tindakan “Lockdown” tersebut dengan berbagai pertimbangan, diantaranya adalah pertimbangan ekonomi, dan pertimbangan keamanan negara, dan ketertiban masyarakat. Namun situasi yang semakin buruk dan darurat membuat pemerintah Indonesia melakukan tindakan cepat yaitu menetapkan status nasional kedaruratan kesehatan pada tanggal 31 Maret 2020 yang kemudian diikuti dengan terbitnya Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Salah satu inti dari Keppres ini adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Aturan mengenai PSSB sendiri tercatat dalam Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) demikian makna atau definisi PSBB dalam Permenkes 9 tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Bentuk dari PSBB ini antara lain Pembatasan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan akses dan operasional moda transportasi, dan pembatasan khusus aspek pertahanan dan keamanan. Namun pembatasan ini dikecualikan untuk hal-hal yang penting misalnya untuk arus logistic barang kebutuhan pokok, bahan bakar minyak (BBM), sektor ekonomi mikro lainnya serta arus barang kaitan dengan penanganan Covid-19, misalnya pendistribusian alat pelindung diri (APD), masker, obat-obatan dan alat kesehatan lain untuk kebutuhan penanganan wabah Covid-19.  

Dari penjelasan di atas mengenai pilihan Lockdown, atau PSBB, maka atas dasar berbagai pertimbangan, maka pemerintah Indonesia memilih opsi penanganan Covid-19 berupa PSBB. Tentu banyak pertimbangan yang diambil, dengan segala konsekuensinya. Opsi Lockdown tidak diambil pemerintah Indonesia karena implikasi dari Lockdown sangat luas dan dapat berpotensi mengganggu kestabilan negara, berkaca dari negara negara yang gagal ketika mengambil opsi Lockdown, misalnya India, Malaysia, kemudian dianalisa pemerintah hingga akhirnya opsi PSBB yang dipilih oleh pemerintah Indonesia.

Berdasarkan analisa dari berbagai hal di atas tentu kesigapan pemerintah tidak hanya dapat dinilai dari apakah opsi Lockdown yang diambil, begitu juga apakah opsi PSBB yan diambil, tetapi lebih ke ketepatan sasaran dan manfaat dalam pengambilan keputusan dan ketepatan penerapan keputusan dan perolehan manfaat yang dirasakan masyarakat di saat kondisi darurat.

Seperti adagium hukum yang menyatakan “sallus populi suprema lex” maka keselamatan seluruh warga negara adalah di atas konstitusi dan hukum, maka opsi-opsi yang diambil pemerintah Indonesia dalam penanganan kondisi Covid -19 sebagai kondisi darurat harus tetap berlandasakan kepada keselamatan seluruh warga negara Indonesia, apakah itu Lockdown atau PSBB yang dipilih sebagai cara penanganannya.

*Penulis adalah Dosen Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar & Dosen Ilmu Hukum UIN-SU Medan dan Aktif Pada Law Firm Bambang Santoso & Pathner.