Kuliah Online Bukan Ajang Pembodohan
Arfan Adha Lubis, SH., MH.

Kuliah Online Bukan Ajang Pembodohan

Oleh; Arfan Adha Lubis, SH., MH.*

Diterapkannya perkuliahan online dewasa ini akibat penyebaran virus corona atau Corona Virus Disease (COVID-19) yang semakin mengerikan dan sudah terjadi di 34 provinsi. Data teraktual diakses dari kompas.com,  jumlah kasus positif corona di Indonesia, Minggu 12 April 2020, sudah mencapai 3.842 kasus. Dengan perincian 286 kasus pasien sembuh, dan 327 orang meninggal dunia. Untuk mencegah plus memutus mata rantai penularan virus corona, pemerintah mengambil langkah kebijakan, dengan menerapkan social distancing bagi seluruh masyarakat. Segala aktivitas di luar rumah dikurangi.  

Status kedaruratan kesehatan masyarakat dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapakn Presiden Jokowi sebagai opsi memerangi virus corona, direspon Mendikbud Nadiem Makarim dengan mengeluarkan SE Mendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang Pencegahan Covid-19. Jadi patut disadari, perkuliahan online dewasa ini untuk mencegah penyebaran Covid-19 yang begitu masif.   

Konsekuensinya kampus dan sekolah sementara waktu meniadakan kegiatan mengumpulkan banyak orang, baik dilingkungan kampus atau sekolah. Termasuk kegiatan perkuliahan secara tatap muka. Pola perkuliahan tatap muka diganti secara online. Mahasiswa beserta pelajar stay di rumah membuka laptop ataupun hp, mempelajari materi yang sudah di up load dosen ke e-learning. Sesimpel itukah pola pembelajaran secara online? Seharusnya iya. Terlebih, karena situasi darurat akibat virus corona Covid-19, dan untuk menghindari berkumpulnya orang banyak, seperti perkuliahan tatap muka. Selain itu dengan perkuliahan online, diharapkan tetap dapat melangsungkan kegiatan tri darma Perguruan Tinggi (PT),  secara kredibel, transparan, akuntabel, bertanggung jawab dan adil.

Untuk itu sejatinya, dosen plus guru tidak perlu dibebani dengan berbagai tetek bengek kebijakan sistem perkuliahan online. Sehingga tidak terkesan perkuliahan secara online menjadi ribet. Karena berimplikasi mengganggu proses perkuliahan online itu sendiri.

Namun praktiknya fakta ribet perkuliahan online selalu saja ditemukan. Seperti jaringan harus stabil, paket data harus banyak disediakan dosen, terlebih perkuliahan online memakai aplikasi “zoom” atau menggunakan You Tube.

Puncak bias perkuliahan online adalah, terkesan ajang pembodohan. Tatkala ada kampus misalnya, menerapkan kebijakan perkuliahan online hanya dihitung pertemuannya 1 SKS yang notabene bobot mata kuliah 2 SKS. Anda bayangkan bobot mata kuliah 4 SKS, dihitung 1 SKS pertemuan. Dasar hukum sekaligus kebijakan apa dipakai pihak kampus menerapkan peraturan seperti ini?

Persoalan ini jelas bukan sekedar materi dan hitung-hitungan. Walau kita ketahui dan sadari bersama, akibat virus Covid-19, membuat sebagian kita linglung karena harga melambung. Sementara lambung harus terus diisi, sekaligus roda kehidupan harus terus berjalan di tengah berbagai himpitan. Persoalan diatas berkaitan dengan harga diri. Jangan sampai perkuliahan online menjadi ajang pembodohan! Notabene pembodohan dalam dunia pendidikan.

     

Pengertian Kuliah Online & Dasar Hukum

Dikutip dari wikipedia.org, pengertian kuliah online ( Online Lecture ) adalah sistem perkuliahan memanfaatkan akses internet sebagai media pembelajaran yang dirancang dan ditampilkan dalam bentuk modul kuliah, rekaman video, audio atau tulisan oleh pihak akademi/universitas.

Dasar hukum perkuliahan online terdapat pada Pasal 31 No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Jarak Jauh ( PJJ ). Ayat ( 1 ) berbunyi, Pendidikan jarak jauh merupakan proses belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi. Ayat (2) Pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan: a. Memberikan layanan Pendidikan Tinggi kepada kelompok Masyarakat yang tidak dapat mengikuti Pendidikan secara tatap muka atau reguler; dan, b. Memperluas akses serta mempermudah layanan Pendidikan Tinggi dalam Pendidikan dan pembelajaran.” Ayat (3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Ayat (4), Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.” Dimaksud penggunaan berbagai media komunikasi adalah Pasal 31 Ayat (1) UU No. 11 Tahun 2012 adalah mempergunakan teknologi informasi dan komunikasi  

Dasar hukum PJJ juga terdapat dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( Sisdiknas ), Permendikbud No. 109 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh di Pendidikan Tinggi, Permendikbud No. 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, Permendikbud No. 87 Tahun 2014 tentang Akreditasi, Permenristekdikti No. 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional PT, Permenristekdikti No. 50 Tahun 2015 tentang Pembukaan dan Pendirian PT, dan Permenristekdikti No. 2 Tahun 2016 tentang Registrasi Dosen.

PJJ ditujukan untuk terjadinya pemerataan pendidikan, sebagaimana diketahui, pendidikan merupakan hak asasi setiap manusia mendapatkannya. Notabene amanat UUD 1945. E-learning sebagai solusi cerdas dalam menyahuti aspirasi masyarakat dipelosok pedesaan yang ingin kuliah, sekaligus mencoba mendongkrak dan memenuhi target Angka Partisipasi Kasar ( APK ) Mahasiswa ( Arfan Adha Lubis, E-learning & Pemerataan Pendidikan, Waspada, 15 Juli 2011, hal. B4 ).

Berkaitan dengan itu timbul pertanyaan apakah dengan sistem perkuliahan online ini  efektif, di tengah situasi pencegahan penyebaran virus corona? Menurut sosiolog sekaligus dosen UGM Tya Pamungkas, kebijakan kuliah secara online untuk mengantisipasi persebaran virus corona kurang efektif.. Justru menurut Tya, kuliah online berdampak membebani mahasiswa terutama bagi mereka yang terbatas internetnya (tirto.id). Lalu bagaimana dengan pembelajaran online dilakukan disekolah-sekolah, notabene terhadap siswa sekolah dasar. Apakah dapat dipastikan setiap siswa yang berada dipelosok desa terpencil, mempunyai hp android untuk melaksanakan tugas diberikan gurunya.

Hal ini menjadi bias plus menimbulkan diskriminatif dalam pembelajaran online. Sejatinya, kemajuan teknologi tidak menimbulkan kelompok kelas dalam masyarakat ( kaya dan miskin ). Dan kemajuan teknologi juga sejatinya, semakin memanusiakan manusia sesuai Sila Kedua-II Pancasila ( Dr. H. Adi Mansar Lubis, SH., M.Hum, Rekonstruksi Sistem Pendidikan Nasional Untuk Penguatan & Perlindungan Warga Negara Berbasis Nilai Pancasila, Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Humanisasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, di Univ. Muhammadiyah Malang, 14 Desember 2019 ).

 

Penutup

Virus corona ini seharusnya menyadarkan kita untuk menjadi lebih manusiawi. Lebih peka dan lebih humanis, untuk bersama–sama, melewati krisis bencana ini. Bukan sebaliknya, dengan pandemi corona mencoba melakukan pembodohan sekaligus melakukan dagelan kekonyolan. Jangan berharap jadi world class university, kalau seandainya dalam praktik dunia pendidikan masih terjadi hal-hal tidak manusiawi.  

Diterapkannya kuliah online, merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang  pendidikan terkait pencegahan penyebaran Covid-19. Untuk itu, mari bersama mengisolasi diri. Sambil berbenah membersihkan hati dari sifat iri, dengki, dan sifat sifat tercela lainnya, yang hanya membuat Allah SWT pemilik langit dan bumi beserta isinya, semakin murka dan mengirimkan bala-Nya, yang berdampak kepada kita semua. Insha Allah, semoga kita hidup kembali dalam kondisi normal. Aamiin Ya Allah. Aamiin Ya Rabbal Allamiin.

 

*Penulis adalah Alumni FH-UMSU & PMIH UMSU, Penulis tetap di litigasi.co.id