Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat

Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat

Penulis - Dr. Ahmad Fauzi, SH., M.Hum.*

Aspek Hukum Hak Angket dan Proses Pengguliran Hak Angket

Secara normatif, keberadaan Hak Angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi: “Dalam melaksanakan fungsinya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.”

Dengan demimkian Hak Angket  yang merupakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain hak angket merupakan salah satu hak kontrol DPR terhadap kebijakan eksekutif.

Hal ini berarti legislatif merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kekuasaan pemerintah lainnya, yaitu kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif, dalam sistem pemisahan kekuasaan menurut teori Montesquieu yang dikenal dengan Trias Politica. Maksud pemisahan kekuasaan ini untuk mencegah supaya kekuasaan negara itu tidak berada pada satu tangan atau satu organ saja, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan oleh organ tersebut.

Pergeseran kekuasaan dari lembaga eksekutif  ke lembaga legislatif  pada masa setelah amandemen UUD 1945, tidaklah menjadi tolak ukur bahwa kekuasaan legislatif, akan atau telah menjadi lebih besar dan kuat dari kekuasaan eksekutif, dan terhadap kekuasaan yudikatif.  Namun, keseimbanganlah yang menjadi tujuan akhir dari  sistem pemerintahan dan ketatanegaraan.

Dewan Perwakilan Rakyat adalah Lembaga Tinggi Negara yang secara formil dan materiil mewakili rakyat Indonesia dalam sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia. DPR melaksanakan kewajiban yang sama sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Dasar yaitu sebagai badan yang mewakili kepentingan rakyat. DPR sebagai lembaga Legislatif dalam menjalankan fungsi-fungsinya memiliki hak-hak sebagaimana yang telah diatur dan ditentukan dalam pasal 19 sampai pasal 22B UUD 1945 hasil amandemen.

Dapat dijelaskan bahwa Fungsi-fungsi DPR antara lain :  [a]. DPR berfungsi sebagai lembaga pembuat Undang-undang; [b]. DPR berfungsi anggaran artinya fungsi yang berkaitan dengan wewenang DPR dalam menyusun dan menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) bersama Presiden. Di tingkat provinsi, DPRD Provinsi bersama-sama gubernur dalam menyusun dan menetapkan RencanaAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi. Sedangkan, di tingkat kabupaten/kota, DPRD Kabupaten/Kota bersama-sama bupati/walikota menyusun dan menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kabupaten/KotaDPR; [c]. DPR berfungsi sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap pemerintahan dalam menjalankan peraturan perundang-undangan yang berlaku, selain mempunyal fungsi dan wewenang, DPR juga mempunyai hak berhubungan dengan pelaksanaan fungsi dan wewenangnya.

Sedangkan hak-hak DPR itu, antara lain:  [a]. Hak interpelasi yaitu hak DPR untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah berhuhungan dengan kebijakan pemerintah yang strategis serta berdampak luas kepada masyarakat; [b]. Hak angket yaitu hak untuk melakukan penyelidikan alas kebijakan pcmerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; [c]. Hak menyatakan pendapat yaitu hak DPR sebagai lembaga untuk menyatakan pendapat berkaitan dengan kebijakan pemerintah dan tentang kejadian luar biasa di tanah air atau situasi dunia internasional dengan cara penyelesaiannya, misalnya dugaan korupsi, penyuapan. dan tindakan pidana lainnya; [d]. Hak inisiatif, yaitu hak untuk mengajukan usulan rancangan undang-undang. Hak amandemen, yaitu hak untuk mengadakan perubahan alat suatu rancangan undang-undang; [e]. Hak budget, yaitu hak untuk menetapkan anggaran belanja negara; [f]. Hak petisi, yaitu hak untuk mengajukan sesuatu kepada yang berwajib; [g]. Hak bertanya, yaitu hak untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara tertulis kepada pemerintah. 

Dalam hal Penggunaan Hak Angket juga tidak sembarangan namun diatur dalam UU No. 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat. Meskipun undang-undang  ini berasal dari zaman pemerintahan parlementer di bawah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, tetapi sampai sekarang masih terus digunakan.

Mahkamah Konstitusi melalui putusannya tanggal 26 Maret 2004 menegaskan, UU No. 6 Tahun 1954 itu masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945. Dengan demikian, tidak ada keraguan apa pun bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk menggunakan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 6 Tahun 1954 itu untuk melaksanakan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat. Jika usulan melaksanakan Hak Angket disetujui, Dewan Perwakilan Rakyat akan membentuk Panitia Hak Angket yang akan bekerja selama proses penyelidikan. Dalam masa itu, Panitia Hak Angket DPR dapat mengumpulkan fakta dan bukti bukan saja dari kalangan pemerintah, tetapi dari siapa saja yang dianggap perlu, termasuk mereka yang dianggap ahli mengenai masalah yang diselidiki. Mereka wajib memenuhi panggilan Panitia Angket dan menjawab semua pertanyaan dan memberikan keterangan lengkap, termasuk menyerahkan semua dokumen yang diminta, kecuali apabila penyerahan dokumen itu akan bertentangan dengan kepentingan negara. Mereka yang dipanggil namun tidak datang tanpa alasan yang sah, dapat disandera selama-lamanya seratus hari (Pasal 17 ayat 1 UU No. 6 Tahun 1954). Panitia Angket juga dapat meminta pengadilan agar memerintahkan pejabat yang tidak mau menyerahkan dokumen negara yang mereka minta untuk selanjutnya diserahkan kepada Panitia Hak Angket.

Ketika Panitia Angket sudah menyelesaikan tugasnya, semuanya akan tergantung pada fakta-fakta dan bukti-bukti yang terungkap selama penyelidikan dan tergantung pula pada analisis Panitia Angket terhadap fakta-fakta dan bukti-bukti yang berhasil diungkapkan. Kalau semua yang terungkap disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah sekitar masalah yang diangkat, menguntungkan rakyat, dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Pemerintah tentu aman-aman saja. Laporan Panitia Angket kepada rapat paripurna yang diterima oleh fraksi-fraksi dan disahkan DPR, selanjutnya diserahkan kepada Presiden. Presiden akan dengan senang hati menerima hasil angket DPR yang ternyata membenarkan segala kebijakan yang ditempuh Pemerintah. Ini sekaligus berarti DPR telah keliru mengasumsikan sesuatu, yang setelah diselidiki ternyata tidak benar.

Jika penyelidikan yang dilakukan Panitia Angket menyimpulkan telah terjadi kebijakan yang merugikan negara, merugikan rakyat serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apalagi melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, laporan Panitia Angket harus disampaikan ke rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendengarkan pendapat fraksi-fraksi sebelum laporan itu diputuskan untuk diterima atau ditolak, baik secara aklamasi maupun melalui pemungutan suara. Keputusan DPR tersebut disampaikan kepada Presiden. Selanjutnya DPR dapat menindaklanjuti keputusan itu sesuai kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 182 Peraturan Tata Tertib DPR).

Tindak lanjut atas keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tentang penggunaan hak angket diatur dalam Pasal 184 ayat (1a) ialah menyampaikan “Hak Menyatakan Pendapat” atas keputusan hasil penyelidikan melalui penggunaan hak angket, atau langsung menggunakan ketentuan Pasal 184 ayat (1b) yakni Hak Menyatakan Pendapat untuk menduga bahwa “Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Penggunaan ketentuan pasal ini - yang merupakan ketentuan yang bersumber dari ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 - memang sangat serius. Ketentuan inilah yang dikenal dengan istilah “impeachment” terhadap Presiden.

Ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 di atas belum pernah ada praktiknya dalam sejarah ketatanegaraan kita. Kalau pendapat DPR bahwa benar hal itu terjadi, maka Mahkamah Konstitusilah yang harus memutuskan apakah pendapat DPR itu terbukti atau tidak. Kalau MK memutuskan memang terbukti, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR (Pasal 7B ayat 5 UUD 1945 jo Pasal 190 Peraturan Tata Tertib DPR. Sejarah Indonesia mencatat dua kali sidang istimewa MPRS dan MPR yang terjadi pada masa Presiden Sukarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Dan keduanya adalah presiden yang menjadi korban hak angket, karena harus dipaksa turun dari jabatanya sebelum masa kepemimpinannya berakhir.

Kesimpulan

Untuk memperbaiki praktik ketatanegaraan ke depan, menggunakan hak angket perlu mengubah cara yang ditempuh selama ini. Salah satu caranya, Harus memberikan makna yang jelas dan tegas di dalam Undang- Undang tentang makna "kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan". Sehingga tidak digunakannya  hak angket sebagai dipersepsikan   “alat “ politik oleh beberapa pihak. yang berpikiran  menggunakan hak angket ini  untuk menjatuhkan wibawa pemerintah.

Penulis adalah Calon Legislatif DPRD Sumut Dapil Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu Induk & Labuhan Batu Selatan dan Dosen Fakultas Hukum - Pasca Sarjana UMSU