Bagaimana Menetapkan Gempa Lombok Sebagai Bencana Nasional?

Bagaimana Menetapkan Gempa Lombok Sebagai Bencana Nasional?

Peristiwa pilu yang mengguncang beberapa kawasan lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) secara beruntun dalam tiga pekan terakhir membuat seluruh masyarakat Indonesia berduka, khususnya warga lombok sendiri, gempa Lombok yang diperkirakan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) berkekuatan mencapai 7 Skala Richter (SR), mengakibatkan timbulnya korban jiwa yang jumlahnya cukup banyak serta menyebabkan beberapa bangunan infrastruktur baik rumah ibadah, sekolah, maupun rumah warga rusak parah. Hingga kamis (23/08/2018)  tercatat dalam Data Penanganan Darurat Bencana, gempa bumi Lombok menimbulkan sebanyak 555 korban meninggal dunia dan 390.529 jiwa penduduk mengungsi. Dan kerugian yang ditaksir mencapai  8 Triliun lebih.

Melihat keadaan tersebut, beberapa pihak banyak yang mendesak pemerintah untuk menetapkan bencana gempa yang terjadi di Lombok, NTB sebagai Bencana Nasional. Namun disisi lain pemerintah menegaskan tidak  akan menetapkan status bencana nasional untuk gempa Lombok. Hal ini dilakukan pemerintah, karena kekhawatiran terhadap penetapan status bencana nasional terhadap gempa Lombok dapat berdampak terhadap penurunan kunjungan wisatawan ke Lombok dan wilayah sekitarnya serta menjadi travel warning bagi negara-negara pengunjung. Akibatnya, menjadi kerugian tersendiri di sektor pariwisata.  Sikap pemerintah inilah yang menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat.

Mengenai status bencana yang terjadi di Lombok, untuk menetapkan status bencana nasional merupakan kewenangan Presiden. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Dalam Keadaan tertentu, dalam Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa:

Penentuan status keadaan darurat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tingkat nasional ditetapkan oleh Presiden, tingkat daerah provinsi ditetapkan oleh gubernur, dan tingkat daerah kabupaten/kota oleh bupati/walikota”. 

Selanjutnya untuk menetapkan status bencana nasional, Presiden tetap mempertimbangkan masukan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Adapun beberapa syarat  pertimbangan BNPB yang dapat dijadikan  untuk penetapan status bencana nasional, diantaranya, Bila Pemerintah Daerah (Pemda) tidak berfungsi pasca bencana. Jika melihat Pemda di Lombok pasca gempa, pegawai pemerintah yang berada di Lombok masih menjalankan fungsi kerja pemerintahan. Kemudian, bila tidak ada akses terhadap sumber daya nasional. Kenyataannya pemerintah telah mengerahkan bantuan melalui kementerian dan kelembagaan, seperti kemenkes maupun kemensos serta kementerian lainnya. Berikutnya, bila ada regulasi atau aturan perundang-undangan yang menghambat pelaksanaan tanggap darurat.

Terlepas dari polemik terkait penetapan status bencana nasional ataupun tidak nantinya. Kiranya perlu dipahami bahwa syarat penetapan bencana nasional juga diatur dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Di mana dalam Pasal 7 ayat (2) UU Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa:

Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah memuat indikator meliputi ; jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan”

Terkait peristiwa gempa di Lombok, penetapan status bencana nasional belum juga di keluarkan oleh Presiden selaku pihak yang memiliki kewenangan tersebut.  Namun Presiden mengambil langkah lain untuk menangani gempa Lombok tersebut. Dengan menerbitkan Intruksi Presiden No. 5 Tahun  2018 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Rekontruksi Pasca Bencana Gempa Bumi  di Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Tengah, Lombok Timur dan wilayah terdampak di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, semoga penanganan gempa yang terjadi di Lombok segera terselesaikan, baik dalam hal rangka percepatan rehabilitasi dan rekontruksi maupun pemulihan kehidupan sosial dan ekonomi.