Pendapat Ahli Tentang Definisi Hukum
@ilustrasi

Pendapat Ahli Tentang Definisi Hukum

Litigasi - Pakar hukum tidak henti-hentinya menjadikan hukum sebagai objek penelitian, baik substansi hukum itu sendiri, tatanan hukum, jenis, ruang lingkup sampai dengan implementasinya atau penegakan hukum (law enforcement). Hasil kajian mereka dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, kondisi sosiologis, politik, sprituil dan lain-lain sehingga dalam memberikan pengertian hukum terjadi perbedaan. Oleh karena itu tidak dapat memuaskan, itu wajar adanya. Hukum terus berkembang sesuai jamannya, walaupun perkembangannya tidak akan mampu melampaui masyarakat tetapi hukum terus berusaha menyesuaikan dirinya dengan masyarakat. Hukum akan selalu tertinggal mengikuti perkembangan masyarakat. Sarjana hukum klasik maupun kontemporer memberikan pondasi berpijak agar hukum dapat menjamin terpenuhinya ketertiban masyarakan sesuai dengan kemampuannya.

Roscoe Pound dengan nama asli Nathan Roscoe Pound (1870-1964), berlatar belakang sebagai dosen pada universitas terkemuka di Nebraska, Amerika Serikat, seperti Chicago dan Harvart, ianya juga lulusan Universitas Harvart, diangkat sebagai anggota Komisi Banding pada Mahkamah Agung di Nebraska (Negara bagian di Amerika Serikat), menduduki posisi anggota Komisi Unifikasi Hukum untuk Nebraska pada periode 1904-1907 (Jurnal Ilmu Hukum Unversitas Padjajaran, oleh Atif Latifulhayat, berjudul “Roscoe Pound”). Beliau memberikan definisi hukum yang“bermakna sebagai tertib hukum, yang mempunyai subjek, hubungan individual antara manusia yang satu dengan yang lainnya dan perilaku individu yang memengaruhi individu lain atau memengaruhi tata sosial, atau tata ekonomi. Sedangkan, hukum dalam makna kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan atau tindakan administrative, mempunyai subjek berupa harapan-harapan atau tuntutan-tuntutan oleh manusia sebagai individu ataupun kelompok-kelompok manusia yang memengaruhi hubungan mereka atau menentukan perilaku meraka” (Herman, Pengantar Ilmu Hukum, 2012). Pendapatnya sangat dipengaruhi oleh latarbelakang pendidikan dan profesinya. Aktivitasnya selalu bersentuhan dengan hukum dan penegakan hukum (law enforcement) dalam tataran konsep, melahirkan putusan-putusan ketika bekerja di Mahkamah yang tentunya cenderung formalistik dan kaku. Konsentrasinya tidak pada penerapan hukum di masyarakat untuk melihat secara langsung pencapaian keadilan sebagai tujuan idil dari hukum itu sendiri. Pemikirannya yang anyar di kalangan sarjana hukum adalah konsep “social engineering” yang dimaknai bahwa hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat, dianggap sebagai “jurisprudence of despair”, karena konsep tersebut cenderung mengorbankan keadilan sosial demi efisiensi.

Sementara itu, Hans Kelsen, (1881-1973), yang berlatarbelakang pendidikan hukum di Unversitas Wina, Austria. Roscoe Pound menyanjung Hans Kelsen sebagai ahli hukum paling terkemuka pada masanya. Teori hukum murni yang anyar di kalangan sarjana hukum adalah teori yang dikemukan oleh Kelsen (wikipedia.org). Beliau memaknai hukum adalah “suatu perintah memaksa terhadap perilaku manusia – hukum adalah norma primer yang menetapkan sanksi-sanksi” (Herman, Pengantar Ilmu Hukum, 2012). Pemikirannya dilandasi pada aliran hukum positivisme yang telah berkembang pada abad ke-18.

J.C.T. Simorangkir dan W. Saspranoto, berpendapat bahwa hukum adalah “peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi diakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu”(Paisol Burlian, Sistem Hukum Di Indonesia, 2015). Pendapatnya itu menggambarkan bahwa hukum dapat diguanakan sebagai alat untuk memaksa pola hidup dan prilaku masyarakat sesuai kehendak atau kepentingan (interest) penguasa, dimana hukum memiliki unsur sanksi yang dapat diterapkan jika masyarakat tidak searah dengan kepentingan dan kehendak penguasa.

Mochtar Kusumaatmadja, (1922-2021), berpendapat bahwa hukum adalah “keseluruhan kaidah-kaidah beserta asas-asas yang mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat yang bertujuan memeliharah ketertiban serta meliputi lembaga-lembaga dan proses guna mewujudkan berlakunya kaidah itu sebagai kenyataan dalam masyarakat”  (Paisol Burlian, Sistem Hukum Di Indonesia, 2015). Beliau meraih gelar doktor dari Universitas Padjadjaran Bandung pada Tahun 1962 dan Unversitas Chicago dan pernah menimbah Ilmu di  Harvard Law School (Universitas Harvard) Amerika Serikat. Pada masa kekuasaan orde baru, Beliau dipercaya oleh Presiden Soeharto menduduki jabatan Menteri Kehakiman Kabinet II pada periode 1973-1978, dan Menteri Luar Negeri Kabinet Pembangunan III dan IV pada periode 1978-1983 dan 1983-1988. Sebaliknya pada masa orde lama, hubungannya dengan Presiden Soekarno tidak berjalan mulus, bahkan Presiden Soekarno mencopot dari jabatannya sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Beliau dengan berani sering mengkritik pemerintah orde lama antara lain mengenai Manifesto Politik Soekarno. Kritiknya itu dipandang sebagai pemicu ketersinggungan Soekarno hingga mencopotnya dari kursi dekan. Dalam karir politiknya, Beliau begabung di Partai Golongan Karya (Golkar) (wikipedia.org). Pemikiriannya tentang hukum sering menjadi rujukan para sarjana hukum dan pemangku kebijakan Negara Indonesia ketika mengambil kebijakan dan menyusun peraturan-peraturan perundang-undangan. Sebagai pelopor teori hukum pembangunan, pemikirannya sangat dipengaruhi latar belakang pendidikan dan profesinya.

M. Amin, dalam bukunya berjudul Bertamasya ke Alam Hukum menyatakan "Hukum ialah kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri atas norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara". Dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum sangat erat dengan masyarakat. Hukum sebagai kumpulan peraturan-peraturan dapat dimaknai sebagai sistem yang di dalam terdiri subs sistem, terdapat penggolongan-penggolongan yang disebut tata hukum, dimana pemberlakuan hukum dapat menciptakan ketertiban masyarakat yang diinginkan.

Utrech dengan nama asli Ernst Utrech (1922 – 1987) berkebangsaan Indonesia dan Belanda, ahli hukum kelahiran Indonesia di Surabaya sekitar tahun 1922, dikenal juga sebagai politikus Indo-Belanda. Latarbelakang pendidikan hukumnya didapat di Universitas Leiden, Belanda. Beliau juga mengajari di beberapa universitas terkemuka di Indonesia sekembalinya dari Belanda. Pernah menjadi anggota Konstituante RI mewakili golongan Indo-Belanda dan bergabung di Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Ir. Soekarno, Presidan Indonesia pertama (wikipedia.org). Beliau berpendapat bahwa hukum merupakan “himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu” (Paisol Burlian, Sistem Hukum Di Indonesia, 2015).

Leon Duguit menyatakan, "Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu".

Immanuel Kant, (1742-1804), menyampaikan pendapatnya "Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan" (Paisol Burlian, Sistem Hukum Di Indonesia, 2015). Pendapatnya bersifat folosofis karena latarbelakangnya sebagai filosof terkenal pada akhir abad ke-18.

Definisi hukum yang dikemukan oleh para sarjana hukum terdapat perbedaan dan kesamaan yang kebanyakan dipengaruhi oleh latarbelakang pendidikan, profesi dan kondisi sosial politik pada masanya, hal itu tidak bisa dipungkiri.

Secara universal defenisi hukum di atas memuat anasir-anasir kekuasaan dan anasir-anasir rekayasa sosial dimana hukum memiliki posisi urgen dan pundamental. Tangan kekuasaan memanfaatkan hukum yang secara potensial dan strategis untuk mengatur atau lebih dalam untuk menundukan masyarakat yang memiliki kekuatan tersendiri sebagai suatu kelompok besar, karena hukum memiliki sanksi yang kongkrit, dimana manusia sangat takut kepada sanksi, sehingga memilih untuk patuh atau tidak melanggar hukum. Hukum menjadi sarana yang paling strategis untuk menyampaikan kepentingan (interest) penguasa (red).