LGBT Dalam Kacamata Nilai Dan Norma Konstitusi Republik Indonesia

LGBT Dalam Kacamata Nilai Dan Norma Konstitusi Republik Indonesia

Penulis : Jaya Dinata, SH., Alumni Fakultas Hukum UMSU

Pancasila sebagai ideologi ataupun dasar negara, juga merupakan sumber dari segala sumber pembentukan hukum maupun norma di Indonesia. Penempatan Pancasila sebagai sumber hukum adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam Pancasila, nilai ke-Tuhan-an merupakan nilai tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung nilai bahwa negara  yang didirikan adalah sebagai pengejewantahan tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh Karena itu, segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara bahkan moral negara, moral penyelenggara negara, politik negara, pemerintah negara, hukum dan peraturan perundang-undangan negara, kebebasan dan hak asasi warga negara harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa (Ani Sri Rahayu 2013).

ads

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan hukum dasar adalah norma dasar bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi pembentukan perundang-undangan dibawah UUD NRI Tahun 1945.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3), Pasal 29, dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dapat dipahami bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berdasar atas ke-Tuhan-an Yang Maha Esa yang senantiasa menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya, serta mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang.

Pada pasal-pasal tersebut sejatinya tidaklah mengasikan hak dan kebebasan manusia. manusia tetap mendapat jaminan konstitusional untuk menjalankan hak dan kebebasannya sebagaimana yang diatur dalam BAB XA UUD NRI Tahun 1945 mengenai hak asasi manusia. Namun perlu diketahui dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menjelaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum suatu masyarakat yang demokratis.

ads

Otoritas konstitusi kalau dipandang dari segi moral sama halnya dengan pandangan aliran hukum alam, yaitu mempunyai daya ikat terhadap warga negara, karena penetapan konstitusi juga didasarkan pada nilai-nilai moral. Lebih tegas lagi bahwa konstitusi sebagai landasan fundamental tidak boleh bertentangan dengan niali-nilai universal dari etika moral (Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Hj Ni'matul Huda 2015).

Berkaitan dengan LGBT, dari persfektif manapun baik itu ke-Tuhan-an, agama, moral, keamanan, maupun ketertiban umum adalah hal yang terlarang. Kelompok yang pro terhadap LGBT beranggapan bahwasannya ini adalah hak asasi manusia untuk memilih kebebasan dalam konteks orientasi seksual, ini juga merupakan kebebasan dalam mengekspresikan jati diri mereka sebagai kaum LGBT. Namun perlu kita ketahui bahwa konteks yang mereka inginkan sangat lah bertentangan dengan norma-norma yang hidup dalam negara kita yang tercermin di dalam konstitusi, baik norma agama, norma moral maupun norma ketertiban umum.

Sejatinya konstitusi memang memberi kebebasan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi perlu diingat bahwasannya seluruh kebebasan itu ada batasanya termasuk juga LGBT. Sebagai contoh lain, hak hidup adalah salah satu hak yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun atau non-derogable right, tetapi ketika hak hidup itu telah melanggar norma-norma ataupun ketertiban umum maka hak hidup tersebut dapat dicabut atau hukuman mati terhadap seseorang.

LGBT adalah sebuah penyimpangan dari kodrat dan fitrah manusia. Manusia sejatinya diciptakan dalam dua jenis untuk berpasangan, yaitu pria dan wanita. Konsepsi itu jelas dianut oleh UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perkawinan menurut Pasal 1 undang-undang tersebut, hanya antara pria dan wanita. Dengan begitu perkawinan sejenis bertentangan dengan hukum Indonesia (Meilanny Budiarti Santoso dalam jurnalnya berjudul Social Work Journal, Vol 6, No. 2, Penerbit Universitas Padjadjaran). 

Setiap kitab suci umat beragama telah jelas dan tegas melarang segala bentuk LGBT. Dalam Islam Allah SWT sudah melarang keras hamba-Nya menyukai sesama jenis, seperti LGBT. Alquran sebagai sumber ajaran agama Islam di dalamnya terdapat sejarah masa lampau yang pernah dialami kaum Nabi Luth as yang mendapatkan azab sangat pedih. Maka, tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikan dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberikan tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim (QS. Al-Hud: 82-83). Rasullah SAW juga bersabda: Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaki) (Abdul Hakim Siagian 2017).

Bagi bangsa  Indonesia, dengan instrumen hukumnya haruslah menjamin perlindungan dan pemenuhan HAM. Hukum tak boleh lepas dari nilai-nilai maupun norma-norma keberadaban dan senantiasa bersesuaian dengan dengan akal sehat dan fitrah manusia. Hukum ada untuk melindungi harkat dan martabat manusia. Tuntutan LGBT terhadap pemenuhan hak asasi manusia, tentunya harus disesuaikan dengan nilai-nilai dan aturan hukum yang berlaku di Indonesia, dan pada hakikatnya tidak ada satu nilai maupun norma dalam konstitusi yang menghendaki LGBT hidup dan berkembang dinegara ini.

Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 46/PUU-XIV/2016 menolak permohonan judicial review Pasal 284 , Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP. Mahkamah Konstitusi menolak untuk memperluas norma prihal zina, pemerkosaan dan cabul dengan alasan bahwa perluasan norma maupun criminal policy adalah kewenangan dari legislatif atau DPR atau dengan kata lain Mahkamah Konstitusi hanya sebagai  negative legislator.

Mahkamah yang diberikan tugas dan kewenangan oleh UUD 1945 sebagai the sole interpreter and the guardian of the constitusion bahkan juga sebagai the guardian of the state ideology juga memiliki kewajiban konstitusional untuk senantiasa menjaga agar norma undang-undang tidak mereduksi, mempersempit,melampaui batas, dan/atau bahkan bertentangan dengan nilai agama dan sinar ketuhanan, mengingat Putusan Mahkamah juga senantiasa diawali dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” serta mengingat sumpah/janji jabatan tiap-tiap hakim konstitusi yang juga senantiasa diawali dengan nilai agama dan sinar ke-Tuhan-an yang antara lain muncul dalam frasa “Demi Allah”, “Demi Tuhan”, “Om Atah Paramawisesa” serhta diakhiri pula dengan nilai agama dan sinar ketuhanan yang antara lain muncul dalam frasa “kiranya Tuhan Menolong Saya” atau “Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om”.

ads

Sangat disayangkan ketika Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir maupun penjaga konstitusi dan norma di dalamnya, tidak berkehendak untuk memperluas norma terkait zina, pemerkosaan, maupun cabul dalam KUHP mengingat kondisi bangsa yang krisis moral saat ini, dan maksiat maupun LGBT semakin merajalela. Padahal sebelumnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 uji materil Pasal 59 ayat (1), Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 59 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Dalam putusan itu Mahkamah Konstitusi membentuk norma baru yaitu menghendaki calon kepala daerah boleh independen dan tak harus dari partai politik.

Berbeda dengan model putusan lainnya, model putusan yang merumuskan norma baru didasarkan suatu keadaan tertentu dan dianggap mendesak untuk segera dilaksanakan (Syukri Asy'ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, Jurnal berjudul "Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-undang (Studi Putusan tahun 2003-2012), Penerbit Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepaniteraan dan Sekretariat). Melihat kondisi negara saat ini yang krisis moral dengan makin maraknya perkembangan komunitas LGBT yang kian hari kian menunjukkan eksistensinya, dan zina pun makin marak terjadi. Maka dari itu seharusnya Mahkamah Konstitusi pada putusannya haruslah membentuk maupun memperluas norma demi menyelamatkan masa depan bangsa. 

Solusi yang tepat terhadap krisis permasahan zina maupun LGBT saat ini melanda bangsa Indonesia adalah pertama solution by law yaitu, urgensi percepatan pembentukan produk hukum atau undang-undang berkenaan dengan zina maupun LGBT dari DPR. RUU KUHP Nasional yang tak kunjung selesai dari tahun 1960-an harus dikebut dan diselesaikan. Dengan memasukan delik zina maupun LGBT secara komprehensif dalam RUU KUHP nantinya. Atau terbitkan PERPU berkaitan dengan hal ini, yang mengingat kegentingan kondisi moral bangsa yang semakin hari makin buruk. Dan yang kedua adalah solution by the social yaitu, sosialisasi kepada seluruh masyarakat Indonesia prihal zina maupun LGBT agar tidak semakin marak, misalnya dengan meningkatkan pendidikan moral dan kasih sayang dari lingkungan yang paling kecil yaitu keluarga. Dan pada akhirnya nilai-nilai maupun norma-noma yang terkandung di dalam konstitusi akan tercermin pada masyrakat kita jika semua itu terlaksana dengan sebaik-baiknya.