Keyakinan Hakim Dalam Memutus Perkara Pidana

Keyakinan Hakim Dalam Memutus Perkara Pidana

Oleh - Faisal Riza, SH., MH.*

Sebagaimana kita ketahui dalam proses penyelesaian perkara pidana, putusan hakim selalu didasari pada surat pelimpahan perkara yang memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa. Selain itu, putusan hakim juga tidak boleh terlepas dari fakta persidangan atau proses pembuktian selama masa persidangan.

Peran hakim dalam mengadili suatu perkara pidana sangat penting ketika putusan atau vonis telah dibuat atau dibacakan. Putusan hakim sangat menentukan nilai suatu kebenaran dan menentukan salah atau tidaknya suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang.

Baca juga; Menemukan Kesalahan Pelaku Kejahatan Dari Kepala Orang Lain

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.

Kata “mengadili” sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang perkara pidana. Hakim sebagai orang yang menegakkan hukum demi keadilan ketika hendak menjatuhkan putusan tetap berlandaskan pada aturan yang berlaku dalam undang-undang dan memakai pertimbangan berdasarkan alat bukti yang sah serta para saksi yang telah disumpah di depan persidangan.

ads

Bac ajuga; Perundingan Sebelum Dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Alat bukti yang dipergunakan sebagai bahan pertimbangan hakim, menurut KUHAP adalah alat-alat bukti yang sah. Alat bukti tersebut berupa keterangan ahli, surat, petujuk dan keterangan terdakwa, hal ini bertujuan untuk mendapatkan keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Keterangan saksi dalam persidangan juga dapat mempengaruhi keyakinan hakim dalam mempertimbangkan bukti-bukti yang ada. Apabila keterangan yang diberikan saksi dalam persidangan “dibuat-buat” menurut terkaan atau pemikiran saja, atau keterangan bukan berdasarkan fakta atau keahlian, maka hakim boleh untuk tidak mempertimbangkannya.

Baca juga; Prinsip Business Judgement Rule Sebagai Perlindungan Direksi

Hakim dalam memutus suatu perkara tidak hanya berdasarkan bukti-bukti yang ada, tetapi penting juga didasarkan oleh keyakinan sebagai seorang hakim dalam memutus perkara. 

Berdasarkan Ketuhanan: Selalu ada putusan hakim yang dianggap tidak adil oleh masyarakat dan dianggap sarat dengan nuansa koruptif, kolutif dan manipulatif. Pengamat hukum dan bahkan masyarakat awam kadang reaktif mencibir sinis atas putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara pidana. Kerja keras hakim tidak dinilai positif, vonis dianggap lemah karena hanya berdasarkan keyakinan hakim yang menangani perkara.

Menurut Mudzakkir sebagai pakar hukum pidana (CNN Indonesia. 27/10/2016), seharusnya majelis hakim mendasarkan vonisnya pada bukti-bukti primer dalam hal ini dua alat bukti yang sah dan berkekuatan hukum, bukan atas keyakinannya. Jika majelis hakim hanya mengandalkan keyakinan, maka kekhawatiran atas vonis terhadap terdakwa terkesan sebagai selera pribadi masing-masing anggota majelis hakim.

Baca juga; BPK Berkewajiban Laporkan Hasil Audit Ke Penegak Hukum

Seharusnya, fakta persidangan menjadi dasar atau bahan untuk menyusun pertimbangan sebelum majelis hakim membuat analisis hukum yang kemudian memperoleh keyakinan untuk menilai apakah terdakwa dapat dipersalahkan dan patut dihukum atau tidak.

Seorang hakim dituntut untuk membuat putusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya di masyarakat. Memang sulit untuk mengukur secara matematis, putusan hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu. Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Indikator itu dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum” yang digunakan oleh hakim dalam putusannya.

ads

Menurut Pasal 183 KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sebaliknya, jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa dapat diputus bebas. Hal ini sesuai dengan asas In Dubio Pro Reo yaitu jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa salah atau tidak, maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan.

Baca juga; Produktivitas Muslim Dalam Bekerja

Keyakinan hakim dalam hukum pidana menjadi suatu prasyarat yang harus ada bagi proses lahirnya suatu putusan (vonis). Hakim tidak boleh memutus suatu perkara dengan semata-mata menyandarkan diri pada fakta atau keadaan objektif yang terjadi pada suatu kasus, tapi harus betul-betul menggunakan keyakinannya terhadap berbagai fakta dan keadaan objektif bahwa terdakwa memang bersalah.

Antara alat-alat bukti yang sah dan keyakinan hakim satu sama lain berhubungan erat, bahwa keyakinan hakim muncul karena adanya alat-alat bukti yang sah. Atas dasar itu syarat adanya keyakinan hakim bukanlah keyakinan yang bersifat tiba-tiba, tetapi merupakan keyakinan yang sah atau keyakinan yang diperoleh dari alat-alat bukti yang sah.

Keyakinan hakim tetap diperlukan dalam membuat putusan atau menjatuhkan vonis, meskipun penggunaan keyakinan hakim dalam perkara pidana tidak ada larangannya, tetapi hakim tidak dibenarkan dalam memutuskan perkara pidana hanya mendasarkan pada keyakinannya saja dengan mengabaikan bukti-bukti yang diajukan di persidangan.

ads

Hakim memang terikat dengan aturan hukum pembuktian Pasal 184 KUHAP, tetapi dalam mengadili dan memutus suatu perkara bukan berarti hakim tidak sungguh-sungguh mencari kebenaran. Sebelum putusan dibacakan, hakim harus cukup membuat pertimbangan dan membuat alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk mengadili seorang terdakwa. Hakim tetap harus memperhatikan kepatutan dan nilai keadilan, hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.

Tidak disyaratkan adanya keyakinan hakim dalam mengambil keputusan, bukan berarti menghalangai upaya hakim dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Keyakinan hakim harus ditonjolkan karena hakim bekerja tidak berdasarkan demi hukum saja, tetapi lebih tinggi dari itu adalah meyakini suatu keadilan itu berdasarkan ketuhanan yang maha esa sebagaimana irah-irah yang tertulis diawal kalimat putusan. Semoga bermanfaat!

* Penulis adalah Advokat dan Dosen Fakultas Hukum UMSU.