Kekerasan Terhadap Tersangka Dan Akibat Hukumnya

Kekerasan Terhadap Tersangka Dan Akibat Hukumnya

Litigasi - M. Yahya Harahap, SH., ahli hukum pidana Indonesia, dalam bukunya berjudul Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Halaman136, mengungkapkan “Kita terkesan dan sangat setuju dengan ketentuan Pasal 117 (KUHAP). Tersangka dalam memberikan keterangan harus bebas berdasar kehendak dan kesadaran nurani. Tidak boleh dipaksa dengan cara apa pun baik penekanan fisik dengan tindakan kekerasan dan penganiayaan, maupun dengan tekanan dari penyidik maupun pihak luar”.

Pasal 117 Ayat (1) KUHAP  yang dimaksud oleh M. Yahya Harahap adalah “Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.

Supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang dari pada yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.

ads

KUHAP tidak menganut sistem Inquisitor yang memposisikan tersangka atau terperiksa sebagai objek pemeriksaan, pemeriksa sekehendak hati memperlakukan tersangka atau terperiksa sebagai orang bersalah. Disini tidak dikenal hak dan martabat manusia. Tidak mempedomani asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Pengakuan tersangka atau terperiksa akan menjadi bukti hukum untuk mempersalahkannya, tidak akan bisa membenarkan dia dari tuduhan (persecution).

Sistem yang dianut KUHAP adalah Acquisitoir  yang dalam implementasinya sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Terperiksa atau tersangka dipandang sebagai subjek bukan objek. Aspek kemanusiaan yang dianut tidak membenarkan segala bentuk paksaan, penekanan fisik maupun psikis. Penyidik dituntut untuk professional dan cerdas dalam memperoleh alat-alat bukti kuat mengarah kepada tindakan tersangka, bukan mendesak pengakuan tersangka melalui tekanan, paksaan dan penganiayaan. Sitem Acquisitoir dapat dikatakan menjadi legitimasi terhadap perlindungan HAM dan semakin menjamin pelaksanaan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence).

Untuk itu, pengungkapan suatu tindak pidana tidak mempedomani pengakuan Tersangka tetapi yang terpenting adalah memperoleh alat-alat bukti. Jadi, meskipun Tersangka mengingkari seluruh persangkaan kepadanya, itu tidak menjadi soal sepanjang alat bukti sudah dipegang oleh Penyidik. Sebaliknya, meskipun tersangka atau terperiksa mengakui segala perbuatannya tetapi bukti-bukti tidak ada maka tersangka atau terperiksa tidak dapat dijerat.

ads

Namun demikian, masih banyak Petugas Kepolisian yang memperlakukan terperiksa sebagai objek dan melakukan kekerasan. Konsekwensi hukum dari tindakan tersebut, Hakim di persidangan dapat membebaskan terdakwa karena segala keterangan didapat dari hasil penyiksaan dan intimidasi. Yurisprudensi MARI No. 1174K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 (kasus Marsinah) dalam pertimbangannya Mahkamah Agung membebaskan para Terdakwa karena keterangan yang diberikan di depan Penyidik ternyata penuh tekanan fisik dan psikis.

Bagi tersangka atau terperiksa yang mengalami kekerasan sehingga memberikan pengakuan atas persangkaan yang tidak diperbuatnya, sepanjang dapat dibuktikan benar ada kekerasan maka hal itu dapat diajukan di Persidangan. Hakim dapat mengenyampingkan nilai pembuktian atas fakta-fakta yang ada di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) jika benar dapat dibuktikan kekerasan itu. Yurisprudensi MARI No. 1615K/Pid/1989, tertanggal 16 September 1992 menyatakan keterangan Terdakwa dalam BAP Kepolisian yang kemudian ditarik kembali dalam suatu persidangan, dengan alasan yang logis, maka penarikan keterangan tersebut adalah sah, sehingga keterangan Terdakwa dan saksi dalam BAP tersebut tidak mempunyai nilai pembuktian menurut KUHAP.

Metode pemeriksaan dengan menggunakan kekerasan fisik maupun psikis harus ditinggalkan di dalam praktek penegakan hukum. Banyak efek yang ditimbulkan dari tindakan kekerasan tersebut diantaranya terjadinya peradilan sesat yang menghukum orang yang tidak bersalah. Penegakan hukum harus secara jujur dan murni berdasarkan bukti-bukti yang kuat dan tidak diragukan validasinya.