Kekeliruan dan Kekhilafan Hakim Menjadi Alasan Peninjauan Kembali

Kekeliruan dan Kekhilafan Hakim Menjadi Alasan Peninjauan Kembali

Litigasi - Sudah tidak asing lagi, Peninjauan Kembali (PK) merupakan upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Apa yang dimaksud dengan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)? Menurut Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor: 22 Tahun 2002 tentang Grasi, “Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah:

  1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana;
  2. Putusan Pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
  3. Putusan Kasasi.

Permohonan PK ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung RI yang disampaikan melalui Ketua Pengadilan Negeri yang telah mengeluarkan putusan tingkat pertama. Dalam perkara pidana, Pengajuan Permohonan PK tidak dibatas dengan tenggang waktu, sesuai Pasal 264 Ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Permintaan PK dituangkan ke dalam Memori PK yang memuat alasan-alasan, dasar fakta dan dasar yuridis, merujuk kepada Pasal 263 Ayat (1) dan Ayat (2) huruf c KUHAP yang mengatur tentang alasan yang dapat dijadikan dasar Permintaan PK yakni:

  1. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
  2. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
  3. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Alasan diatas tidak bersifat kumulatif tetapi alternatif. Artinya, Pemohon dapat memilih salah satu alasan yang akan dijadikan dasar paling kuat dalam permintaan PK. Dalam praktek pradilan diantara ketiga alasan, yang sering menjadi dasar PK adalah alasan huruf c yakni “kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata”.

Menurut Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI dalam Putusan Nomor 107PK/Pid/2006 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata antara lain:

  1. Bahwa kekeliruan yang nyata yaitu dalam fakta yang ada.
  2. Bahwa kekhilafan hakim adalah kekhilafan dalam menerapkan hukum antara lain misalnya dalam suatu perkara dinyatakan bahwa pihak yang bersangkutan masih hidup, ternyata pada saat perkara tersebut masuk dalam tingkat kasasi sudah meninggal.

Bahwa Sunarjo dalam bukunya berjudul “Pengadilan Di Indonesia: Bagaimana Memperoleh Respek Dari Masyarakat”, Yogyakarta: Inspiring, 2010, Halaman 93, menyatakan Penyebab kekeliruan dalam pengambilan putusan karena beberapa hal sebagai berikut:

  1. Hakim terlalu formalistis, penanganan perkara semata-mata dengan paradigma “hukum untuk hukum”, tidak memikirkan apakah kelak putusannya dapat dieksekusi;
  2. Hakim keliru dalam mengkonstatasi peristiwa hukum yang sebenarnya, sehingga berakibat pengambilan kesimpulan dan putusan pun keliru atau salah;
  3. Hakim kurang dapat mengolah keadaan-keadaan atau hal-hal sekitar peristiwa lalu mempertimbangkan berbagai aspek secara sosiologis dalam pengambilan kesimpulan atau putusannya;  

Adami Chazawi dalam bukunya berjudul “Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana Penegakan Hukum Dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat”, Penerbit Sinar Grafika Jakarta 2010, menyebutkan ada beberapa hal atau keadaan yang masuk ruang lingkup kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata, yaitu sebagai berikut:

  1. Pertimbangan hukum putusan atau amarnya secara nyata bertentangan dengan asas-asas hukum dan norma-norma hukum;
  2. Amar putusan yang sama sekali tidak didukung pertimbangan hukum;
  3. Putusan peradilan yang sesat, baik karena kesesatan fakta (feitelijke dwaling) maupun kesesatan hukumnya (dwaling omtrent het recht);
  4. Pengadilan telah melakukan penafsiran suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak pembentuk undang-undang mengenai maksud dibentuknya norma tersebut;

Pemohon PK harus bisa mengkonstatir fakta-fakta yang kuat untuk membuktikan bahwa benar Majelis Hakim telah melakukan kekhilafan dan kekeliruan.

Putusan Majelis Hakim yang dapat dijadikan objek permintaan PK adalah ptusan pemidanaan, sedangkan putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum tidak dapat dimintakan PK.