Kedudukan Visum Sebagai Alat Bukti Dalam SPP
@ilustrasi

Kedudukan Visum Sebagai Alat Bukti Dalam SPP

Litigasi - Visum et repertum (VER) adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan sumpah jabatan mengenai apa yang dilihat atau apa yang diperiksa berdasarkan keilmuannya atas permintaan tertulis dari pihak berwajib untuk kepentingan peradilan.

VER berasal dari bahasa latin, artinya “Apa yang dilihat dan apa yang ditemukan”. Dasar hukum dijadikannya VER sebagai salah satu alat bukti dalam sistem peradilan pidana dapat dilihat pada Pasal 184 Ayat (1) sub b UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi ”Alat bukti yang sah ialah keterangan ahli”.

ads

Pasal 1 butir 28 KUHAP berbunyi keterangan ahli adalah ”Keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.” Keterangan saksi ahli dalam tulisan ini adalah saksi ahli forensik sesuai Pasal 179 Ayat (1) KUHAP berbunyi:

Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

Wujud saksi ahli forensik terbagi dua. Pertama,  wujud keterangan ahli yang disampaikan langsung didepan persidangan, sebagaimana diatur Pasal 184 Ayat (1) huruf b jo. Pasal 186 KUHAP, dan Kedua, Keterangan seorang ahli secara tertulis diluar persidangan, yang dikualifikasikan sebagai alat bukti surat (Pasal 184 ayat (1) huruf C jo. Pasal 187 KUHAP). Dengan demikian ada dua bentuk kesaksian ahli, yang tertulis diklasifikasikan sebagai alat bukti surat, yaitu visum et repertum (vide Pasal 184 Ayat (1) huruf C jo. Pasal 187 KUHAP.dan yang disampaikan secara lisan didepan persidangan, yang diklasifikasikan sebagai keterangan ahli (vide Pasal 184 Ayat (1) huruf B jo. Pasal 186 KUHAP).

Namun apabila dilihat kedudukan VER sebagai alat bukti dalam SPP terdapat permasalahan mendasar. Hal ini disebabkan Pembuktian Negatif yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi;

ads

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan.

Artinya walaupaun sudah ada 2 (dua) alat bukti yang cukup, namun lebih dipersyaratkan adanya keyakinan hakim. Kalau hakim tidak percaya terdapat VER tersebut, maka kekuatan VER sebagai alat bukti dalam SPP hanya sebagai instrumen pelengkap. Disisi lain, menurut Romli Atmasasmita dalam bukunya berjudul ”Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi”, mengatakan Pasal 183 KUHAP perlu diamandemen diganti dengan Pembuktian Positif. Hal ini dimungkinkan, untuk mewujudkan SPP yang cepat, sederhana, dan murah. Karena berdasarkan Pembuktian Negatif menyebabkan mekanisme proses peradilan yang berbelit-belit. Sementara disisi lain, yang dipertaruhkan adalah nasib dan hidup seorang terdakwa. Berdasarkan Pembuktian Positif, cukup dipersyaratkan dengan alat-alat bukti. Apabila seseorang terbukti bersalah, berdasarkan alat bukti yang cukup, ia dapat langsung dihukum (AA).