Bolehkah Advokat Menjanjikan Kemenangan?
@ilustrasi pelantikan advokat/pengacara

Bolehkah Advokat Menjanjikan Kemenangan?

Litigasi - Masyarakat kebanyakan kurang memahami bagaimana seharusnya berhubungan dengan advokat atau pengacara atau firma hukum (law firm). Saat bernegosiasi dengan calon advokatnya, sering sekali masyarakat menginginkan kepastian perkaranya akan dimenangkan oleh calon advokat itu sehingga berusaha mendesak agar ada pernyataan pasti memperoleh kemenangan dalam perkara yang akan ditangani.

ads

Dalam menjalankan profesi, advokat terikat dengan Kode Etik dan peraturan perundang-undangan, tidak dibenarkan melampauinya. Tuntutan calon klien untuk memastikan perkara yang ditangani akan menang sesungguhnya memaksa advokat itu sendiri untuk melanggar Kode Etik Advokat itu sendiri.

Perlu difahami oleh masyarakat luas bahwa advokat bukanlah penegak hukum yang berwenang mengeluarkan putusan bebas atau putusan pemidanaan layaknya hakim, atau layaknya penyidik yang berwenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan seterusnya. Advokat bekerja dengan kadar kewenangan yang ditetapkan oleh UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat).

ads

Sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1 Angka 1 UU Advokat bahwa pengertian Advokat adalah orang yang berprofesi memberi “jasa hukum”, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.

Maka advokat adalah profesi untuk memberi jasa hukum kepada klien. Poinnya adalah “jasa hukum”. Memaknai apa yang dimaksud “jasa hukum” perlu merujuk kepada pengertian yang ditetapkan di dalam Pasal 1 Angka 2 UU Advokat yang menegaskan:

Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

Oleh karenanya advokat tidak dapat bertindak di luar dari jasa hukum yang dimaksud di atas. Advokat secara garis besar berprofesi untuk memberikan konsultasi hukum dan melakukan pembelaan kepentingan hukum kliennya. Dalam rangka melakukan pembelaan itu, advokat bertugas mendampingi klien, mewakili klien atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien, tentunya harus berpedoman dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

ads

Misalnya, seorang penjual mobil merasa dirugikan pada akad jual beli mobil, dimana pembeli tidak membayar lunas sesuai harga dan waktu yang telah disepakati. Atas kejadian itu si penjual berniat menempuh jalur hukum dan menggunakan jasa hukum dari advokat. Maka advokat akan bertindak mewakili kliennya (penjual) dengan dasar surat kuasa khusus mengajukan gugatan terhadap pembeli. Dalam hal ini jasa hukum yang dijalankan ada gugatan, ini sebagai bentuk upaya memperjuangkan kepentingan hukum penjual agar hak pelunasan uang jual beli mobil terpenuhi. Tentunya advokat tidak berwenang mengeluarkan putusan layaknya hakim.

Intinya, advokat menjalankan profesi sebatas melakukan upaya hukum, menjalankan kerja-kerja hukum untuk memperjuangkan terpenuhinya hak-hak kliennya. Selebihnya, advokat tidak dibenarkan memastikan bahwa kliennya akan memperoleh kemenangan atas perkara yang sedang ditanganinya.

Dalam menjalankan profesinya, advokat harus bertindak jujur mempertahankan keadilan dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia. Kejujuran itu dapat diterapkan sejak memberikan penjelasan duduk perkara calon klien sampai mengadvokasi klien, jujur tentang posisioning kliennya, apakah kedudukannya kuat atau lemah secara hukum (yuridis) dengan melihat dan menganalisa bukti-bukti yang tersedia. Dalam memberikan pendapat hukumnya advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang menyesatkan.

Oleh karena itu, bahwa advokat telah terikat dengan UU Advokat dan Kode Etik yang telah ditentukan. Bagi advokat yang menjanjikan kemenangan atas perkara yang sedang ditanganinya maka telah melanggar Kode Etik itu sendiri, hal itu terdapat pelarangannya di dalam BIII Pasal 4 Huruf c Kode Etik Adokat yang menyatakan:

Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang.

Hal itu bisa saja terjadi karena dorongan semata-mata untuk memperoleh materi lalu mengabaikan nilai-nilai kejujuran atau keprofesionalan. Dengan segala cara meyakinkan kliennya termasuk dengan menjanjikan kliennya akan menang. (red)