Batas Usia "Anak" Di Dalam Hukum
@ilustrasi

Batas Usia "Anak" Di Dalam Hukum

Litigasi - Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh serta berkualitas. Berkaitan dengan pembinaan anak diperlukan sarana dan prasarana hukum yang mengantisipasi segala permasalahan yang timbul. Sarana dan prasarana yang dimaksud menyangkut kepentingan anak maupun yang menyangkut penyimpangan sikap dan perilaku yang menjadikan anak terpaksa dihadapkan ke muka pengadilan.

ads

Anak merupakan bagian dari masyarakat, mereka mempunyai hak yang sama dengan masyarakat lain yang harus dilindungi dan dihormati. Setiap Negara dimanapun di dunia ini wajib memberikan perhatian serta perlindungan yang cukup terhadap hak-hak anak, yang antara lain berupa hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya. Sepertinya kedudukan dan hak-hak anak jika dilihat dari perspektif yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya dan masih jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan kepada mereka. Kondisi ini pun dipersulit oleh lemahnya penerapan hukum mengenai hak-hak anak yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.

Beberapa pengertian anak yang dimaksud di dalam berbagai peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

Pengertian “anak” ditentukan di dalam Pasal 1 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, menyatakan; Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

Sedangkan di dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak dinyatakan secara tegas, namun secara tersirat ditentukan di dalam Pasal 6 ayat (2) yang isinya menyatakan; Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Namun demikian, menurut Pasal 7 tahun 1974 tersebut membedakan usia yang dapat diberikan izin perkawinan yakni bagi laki-laki dan perempuan, 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki sedangkan bagi wanita 16 (enam belas) tahun. Statmen itu dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (1) yang isinya; “Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.” Tetapi dalam perkembangannya, ketentuan Pasal 7 ayat (1) telah dilakukan judcial review di Mahkamah Konstitusi, Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017 pada pokoknya menyatakan bahwa perbedaan usia izin menikah bagi laki-laki dan perempuan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga MK menyerahkan kepada DPR dan Pemerintah sesuai kewenangannya untuk menetapkan usia izin menikah bagi laki-laki dan perempuan tanpa adanya perbedaan atau diskriminatif.

ads

Menindaklanjuti isi Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017 itu, telah dilahirkan UU No. 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah menetapkan usia seorang laki-laki maupun perempuan untuk mendapatkan izin perkawinan adalah 19 (sembilan belas) tahun. Ketentuan itu dimaksud di dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 16 tahun 2019 yang isinya menyatakan: Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.”

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 98 Ayat (1) menentukan batas usia menyandang status “anak” yakni seorang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, juga dikatagorikan belum dewasa. Isi Pasal dimaksud adalah “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.”

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pengertian Anak diatur di dalam Pasal 330 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun, dan lebih dahulu telah kawin.”  Dari hal tersebut dapat diartikan bahwa dewasa adalah ketika seseorang sudah berusia 21 tahun penuh atau sudah menikah atau pernah menikah. Pasal 330 KUHPerdata memberikan pengertian anak adalah orang yang belum dewasa dan seseorang yang belum mencapai usia batas legitimasi hukum sebagai subjek hukum atau layaknya subjek hukum nasional yang ditentukan oleh perundang-undangan perdata.

ads

Berbeda dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana) yang menentukan belum dewasa atau belum cukup umur (minderjaring) adalah seorang yang belum berusia 16 (enam belas) tahun, hal itu berkaitan dengan prosedur penuntutan bagi seorang yang belum berusia 16 (enam belas) tahun berbeda dengan yang telah melampuai usia itu. Hal itu diatur di dalam Pasal 45 KUHPidana yang isinya menyatakan Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun,

Kemudian menurut Pasal UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 memberikan batasan usia anak yakni seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Isi Pasal itu menyatakan; Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Perbedaan-perbedaan dalam memberikan pengertian tentang “anak” terasa signifikan, semuanya mempunyai arti penting di dalam penerapannya secara yuridis. Contohnya saja perbedaan antara KUHPidana, UU Peradilan Anak dan UU Perlindungan Anak. Kaitannya dengan UU tersebut ketika akan menentukan tata acara peradilan yang akan dipakai dan penjatuhan hukuman. Sebelum menjatuhkan sanksi pidana maka harus melihat usia seseorang sebagaimana dimaksud di dalam UU No. 23 tahun 2002 dan UU No. 3 tahun 1997. Karena ada perbedaan mekanisme penjatuhan sanksi dan acara peradilannya dengan orang dewasa.

Lain halnya dalam lingkup perkawinan seseorang maka tidak tepat jika dipakai usia anak sebagaimana dimaksud di dalam UU Perlindungan anak atau UU peradilan anak, tetapi harus merujuk kepada UU Perkawinan dan KHI. Jadi masing-masing aturan itu mempunyai ruang tersendiri dalam penerapannya. (Fiz)