Yurisprudensi Berkaitan Asas Ne Bis In Idem
@ilustrasi

Yurisprudensi Berkaitan Asas Ne Bis In Idem

Litigasi - Perkara yang sama telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht) tidak dapat diajukan kembali ke Pengadilan, dalam hukum dikenal dengan asas ne bis in idem. Asas ini diatur di dalam Pasal 1917 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berbunyi;

Kekuatan suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti hanya mengenai pokok perkara yang bersangkutan.

Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang dituntut harus sama; tuntutan harus didasarkan pada alasan yang sama; dan harus diajukan oleh pihak yang sama dan terhadap pihak-pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula.

Penerapan asas ne bis in idem ini menjadi perhatian Mahkamah Agung hingga Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang Berkaitan dengan Asas ne bis in idem, pada pokoknya kepada hakim-hakim agar memperhatikan dan menerapkan asas nebis in idem dengan baik dan benar untuk menjaga kepastian hukum bagi pencari keadialan, hal itu juga bertujuan agar tidak terjadi putusan yang berbeda.

ads

Demikian pula terdapat beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang dapat dijadikan landasan menyatakan gugatan adalah ne bis in idem.

Untuk melihat apakah suatu perkara terkwalifikasi ne bis in idem maka harus dilihat objek dan subjek dalam perkara tersebut, jika terdapat persamaan maka dapat dipastikan terpenuhi asas ne bis in idem, selanjutnya perkara akan dinyatakan tidak dapat diterima oleh majelis hakim. 

Dibawah ini beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang memutus perkara sebagai ne bis in idem karena ada persamaan objek dan subjeknya.

Putusan Mahkamah Agung RI No. 1456 K/Sip/1967, tanggal 6 Desember 1969 menyatakan “Hakikat dari asas hukum ne bis in idem adalah bahwa baik para pihak yang berperkara (subject) maupun barang yang disengketakan (object) dalam gugatan perdata tersebut adalah sama.”

Putusan Mahkamah Agung RI No. 123 K/Sip/1968, tanggal 23 April 1969 menyatakan “Meskipun posita gugatan tidak sama dengan gugatan terdahulu, namun karena memiliki kesamaan dalam subjek dan objeknya serta status hukum tanah telah ditetapkan oleh putusan terdahulu yang sudah inkracht, maka terhadap perkara yang demikian ini dapat diterapkan asas hukum ne bis in idem.”

Putusan Mahkamah Agung RI No. 588 K/Sip/1973, tanggal 3 Oktober 1973 menyatakan “Karena perkara ini sama dengan perkara yang terdahulu, baik dalil gugatannya maupun objek perkara dan penggungat-penggugatnya, yang telah mendapat keputusan Mahkamah Agung tanggal 19 Desember 1970 No. 1121 K/Sip/1970 No. 350 K/Sip/1970, seharusnya gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, bukannya ditolak.”

Putusan Mahkamah Agung No. 497 K/Sip/1973, tanggal 6 Januari 1976 menyatakan “karena terbukti perkara ini pernah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri Surakarta, maka gugatan penggugat tidak dapat diterima.”

ads

Putusan Mahkamah Agung No. 1149 K/Sip/1982, tanggal 10 Maret 1983 menyatakan “Terhadap perkara ini dihubungkan dengan perkara terdahulu, yang telah ada putusan Mahkamah Agung, berlaku asas ne bis in idem, mengingat kedua perkara ini, pada hakikatnya sasarannya sama, yaitu pernyataan tiak sahnya jual beli tanah tersebut dan pihak-pihak pokoknya sama.”

Putusan Mahkamah Agung RI No. 1226 K/Sip/2001, tanggal 2002 menyatakan “Meski kedudukan subjeknya berbeda tetapi objeknya sama dengan perkara yang telah diputus terhahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka gugatan dinyatakan ne bis in idem.”

Putusan Mahkamah Agung RI No. 547 K/Sip/1973, tanggal 13 April 1976 menyatakan “Menurut Hukum Acara Perdata, asas ne bis in idem, tidak hanya ditentukan oleh kesamaan para pihaknya saja, melainkan juga adanya kesamaan dalam objek sengketanya.”

Namun perlu diingat bahwa perkara berbentuk gugatan jika terdapat kesamaan dengan permohonan (voluntaire jurisdictie) tidak dapat dikatagorikan nebis in idem, meskipun objeknya dan subjeknya sama sebagaimana dimaksud di dalam yurisprudensi dibawah ini:

Putusan Mahkamah Agung RI No. 144 K/Sip/1971, tanggal 2 Juli 1971 menyatakan “Terhadap perkara perdata yang diajukan berbeda dalam waktu yang berbeda sekalipun subjek dan objeknya yang sama, yaitu perkara satu merupakan permohonan – declaratoir – voluntaire jurisdictie dan perkara lainnya bersifat gugatan – contentieus jurisdictie, dalam hal tersebut tidak ada ne bis in idem.”

Untuk menilai suatu perkara terkwalifikasi ne bis in idem maka dilihat dari gugatan yang diajukan oleh penggugat. Ini sangat penting untuk menghindari perbedaan putusan hakim atau dualisme putusan hakim dalam suatu perkara yang sejenis, dan menjaga kepastian hukum bagi para pencari keadilan.