Tindakan Yang Harus Dilakukan Setelah Tangkap Tangan Kejahatan
@ilustrasi

Tindakan Yang Harus Dilakukan Setelah Tangkap Tangan Kejahatan

Litigasi - Hukum acara pidana yang tertuang di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membedakan “penangkapan biasa” dengan penangkapan secara “tertangkap tangan”. Dari segi persyaratan, pelaku penangkapan dan mekanismenya diatur tersendiri.

Menurut Pasal 1 Angka 20 KUHAP menjelaskan bahwa; “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini”.

ads

Maksud Pasal 1 diatas adalah penangkapan biasa dimana yang melakukan penangkapan adalah penyidik atau petugas Kepolisian atas perintah penyidik Kepolisian, yang dilengkapi dengan surat perintah penangkapan. Penangkapan dimaksudkan untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan, tetapi harus terdapat cukup bukti, setidaknya berdasarkan dua alat bukti, sehingga sebelum melakukan penangkapan dilakukan penyelidikan dan penyidikan guna menemukan minimal alat bukti.

Proses penangkapan tersebut dipersyaratkan terpenuhi kelengkapan administrasi, kebenaran identitas tersangka dan alat bukti tindak pidana yang dipersangkakan, harus ada laporan polisi, barang bukti dan alat bukti.

Kemudian pengertian “tertangkap tangan” dapat dilihat di dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP yang menyatakan “Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”.

Untuk menjabarkan maksud tertangkap tangan diuraikan oleh ahli hukum M. Yahya Harahap dalam bukunya berjudul Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan, Halaman 120 yang mengatakan bahwa tertangkap tangan atau heterdaad (ontdekking op heterdaad) seperti yang dijelaskan Pasal 1 butir 19 adalah tertangkapnya seseorang pada waktu:

  1. Sedang melakukan tindak pidana atau tengah melakukan tindak pidana, pelaku dipergoki oleh orang lain.
  2. Atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan.
  3. Atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya.
  4. Atau sesaat kemudian pada orang tersebut “ditemukan “ benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya.

Tindakan “tangkap tangan” dapat dilakukan oleh siapa saja atau masyaraka biasa atau dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian dengan tidak dipersyaratkan adanya surat perintah penangkapan. Siapa saja yang melihat atau menemukan kejahatan sedang terjadi diberikan hak oleh KUHAP untuk melakukan tangkap tangan terhadap pelakunya.

ads

Misalkan, seseorang yang menemukan pelaku pencurian sepeda motor sedang melakukan aksi kejahatannya itu maka seseoran itu berhak atau dapat melakukan tangkap tangan terhadap pelaku, tanpa harus ijin atau perintah dari penyidik. Kemudian pelaku kejahatannya itu beserta barang bukti dan bukti-bukti yang ada dibawa ke Kantor Kepolisian terdekat untuk dilakukan proses hukum.

Tindakan-tindakan yang harus dijalankan terhadap seseorang yang tertangkap tangan dapat dilihat di ketentuan Pasal 111 KUHAP yakni sebagai berikut:

  1. Setiap orang berhak menangkapnya, tidak terkecuali siapa pun, berhak untuk menangkap orang sedang tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Akan tetapi harus diperhatikan kata “hak” yang terdapat dalam ketentuan ini. Bukan kewajiban melainkan hak. Berarti, orang yang melihat atau memergokinya, boleh mempergunakan haknya untuk menangkap, boleh tidak.
  2. Bagi setiap orang atau pejabat yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman, dan keamanan umum “wajib” menangkap tersangka.
  3. Bagi yang melakukan penangkapan, segera “menyerahkan” tersangka termasuk segala barang bukti yang ada kepada penyidik.
  4. Segera setelah penyelidik atau penyidik menerima penyerahan tersangka, secepat mungkin “wajib” dilakukan pemeriksaan dan tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan kebutuhan ruang lingkup penyidikan.
  5. Selanjutnya, setelah pejabat penyelidik atau penyidik mendapat laporan tentang kejadian tertangkap tangan, dia mempunyai kewajiban dan wewenang untuk segera datang memeriksa tempat kejadian dan berwenang “melarang” setiap orang untuk meninggalkan tempat tersebut selama pemeriksaan belum selesai di tempat itu.
  6. Mengenai sifat larangan untuk tidak meninggalkan tempat kejadian adalah bersifat “perintah paksaan” atau “imperatif”.
  7. Kewajiban untuk mematuhi perintah atau paksaan untuk tidak meninggalkan tempat kejadian dalam peristiwa pidana tertangkap tangan, dibatasi sampai pemeriksaan penyidikan di tempat kejadian selesai, dan hanya terbatas di tempat kejadian, tidak boleh diperluas penyidik kea tau di tempat lain, batas waktu pelarangan, hanya diperkenankan selama pemeriksaan di tempat kejadian, belum selesai.    

ads

Banyak terjadi di tengah masyarakat yang melakukan tindakan “main hakim sendiri” (eigenrichting) ketika melakukan “tangkap tangan”, secara hukum ini tidak dibenarkan atau terkatagori melawan hukum. Perbuatan yang dibenarkan secara hukum (tangkap tangan terhadap kejahatan) akan ternodai, dimana pelaku eigenrichting-nya dapat dikenakan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan berat atau Pasal 170 KUHP tentang kekerasan terhadap orang atau barang, dan jika terdapat kerusakan barang maka dapat dijerat Pasal 406 KUHP. Inilah yang harus difahami dan ditaati oleh masyarakat sehingga proses hukum dapat berjalan.

Masyarakat harus mengedepankan proses hukum. KUHAP telah mengatur mekanisme untuk mengadili pelaku kejahatan, dari tingkat Kepolisian hingga tingkat Pengadilan. Ini harus dihormati dan dilaksanakan agar hukum berjalan dengan baik dan benar. Masyarakat yang berkepentingan dapat mengetahui, menanyakan dan mengawasi proses hukumnya, jika menemui kejanggalan dalam proses hukum dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang dalam hal ini Direktorat Popam Polri. Jadi tidak ada alasan untuk melakukan eigenrichting. (hf)