Syarat Menjadi Ahli Waris
@ilustrasi

Syarat Menjadi Ahli Waris

Litigasi– Mengetahui syarat sebagai ahli waris menjadi dasar dalam hukum waris. Apakah seseorang dapat dikatakan sebagai ahli waris dan berhak mendapat bagian dari harta si mayit (pewaris) diukur dari syarat-syaratnya. Meskipun kedudukannya sebagai dzawil furudh atau porsinya telah ditentukan di dalam syariat Islam atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) namun tidak memenuhi syarat maka porsinya gugur atau batal.

Hukum waris bagi yang beragama Islam diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terjadinya waris jika seseorang meninggal dunia (pewaris) dengan kondisi meninggalkan ahli waris dan harta, dalam kondisi itulah berlaku ketentuan hukum waris. Dalam pembagiannya, ahli waris harus terlebih dahulu menyelesaikan keperluan si pewaris yakni:

      1. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
      2. Menyelesaikan baik hutang-piutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang;
      3. Menyelesaikan wasiat pewaris;

Demikian pula melaksanakan pembagian harta peninggalan si mayit sesuai hukum waris yang berlaku, ditetapkan sebagai kewajiban bagi ahli waris, disamping poin-poin di atas.

 

ads

 

Syarat-Syarat Ahli Waris

Merujuk ke Pasal 171 huruf c bahwa Ahli waris adalah“orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.”

Dari ketentuan tersebut dapat ditarik anasir tentang syarat-syarat sebagai ahli waris, yakni:

 

1. Adanya hubungan darah

Ahli waris yang memiliki hubungan nasab atau keturunan dengan si mayit (nasabiyah). Kelompok ahli waris ini dimaksud di dalam Pasal 174 ayat (1) KHI terdiri dari:

      1. Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
      2. Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.

 

2. Hubungan perkawinan

Ahli waris yang memiliki hubungan perkawinan dengan si mayit yakni duda atau janda, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 174 ayat (2) KHI.

Tentu perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang sah, memenuhi rukun dan syarat yang diatur di dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah dirubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sebab untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam memperoleh hak-hak keperdataan harus tunduk dan patuh dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Pasal 4 KHI bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”.

Kemudian di dalam Pasal 5 KHI ayat (1) juga dinyatakan bahwa: “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.

Hukum mengatur tentang perkawinan begitu dinamis, disamping peraturan perundang-undangan, terdapat yurisprudensi atau putusan hakim terdahulu yang diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam menjatuhkan putusan. Terdapat yurisprudensi yang memberikan penafsiran diklaim bersifat progresif dan dipandang beda dengan peraturan perundang-undangan.

 

3. Beragama Islam

Beragama Islam menjadi syarat untuk saling mewarisi. Hadis Nabi Muhammad s.a.w., menegaskan yang artinya:

Dari Usama bin Zaid r.a., sesungguhnya Nabi s.a.w bersabda: “Orang Muslim tidak (boleh) mewarisi orang Kafir, dan orang Kafir tidak (boleh) mewarisi orang Muslim” (hadis muttafaq alaih).

Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 172 KHI, yakni:

“Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa beragama menurut ayahnya atau lingkungannya”

Disamping itu Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 Tentang Kewarisan Beda Agama, dalam musyawarah Nasional MUI VII pada Tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 M, menghasilkan keputusan:

      1. Hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan non- muslim);
      2. Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.

 

4. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris

Meskipun kedudukannya sebagai ahli waris ataupun sebagai dzawil furudh namun ada halangan atau sebab yang melarangnya mendapatkan harta warisan maka ahli waris itu tidak berhak mendapat harta warisan. Hal itu dapat dipedomani pada  Pasal 173 KHI yang menyatakan:

Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:

      1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
      2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Poin-poin tersebut merupakan kejahatan yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tentang tindak pidana pembunuhan diatur dalam Pasal 338, 339, 340 KUHP dan seterusnya. Pasal tentang penganiayaan berat dimaksud di dalam Pasal 354 KUHP, dan Pasal 317 KUHP tentang tindak pidana menfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara atau hukuman lebih berat.

Syarat-syarat tersebut menjadi parameter awal dalam menentukan ahli waris yang berhak mendapatkan bagian dari harta peninggalan si pewaris. Sebelum menetapkan siapa saja ahli waris yang mustahaq, sebelum menentukan jumlah porsi/bagian (legitimite portie) maka syarat-syarat tersebut harus dipenuhi. Jika tidak terpenuhi syarat maka gugurlah haknya (red).