Status Sertifikat Tanah Tanpa Penguasaan Fisik
@ilustrasi

Status Sertifikat Tanah Tanpa Penguasaan Fisik

Litigasi. Banyak kasus tanah yang terjadi dikarenakan pemegang sertifikat tanah tidak menguasai tanahnya. Secara sengaja tanah ditelantarkan sehingga orang lain menguasai dan mengusahainya. Secara bertahun-tahun berlangsung tanpa ada komplain dari pemegang hak. Dalam batas waktu tertentu maka pihak yang menguasai fisik tanah dapat mendaftarkan diri sebagai pemegang hak, tentunya sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan dalam peraturan perundang-udangan. Pembahasan tentang ini dapat dilihat dari artikel Penguasaan Fisik Dapat Menimbulkan Hak Baru

Seseorang pemegang sertifikat hak milik (SHM) yang tidak pernah menguasai tanahnya itu menjual kepada pihak lain. Saat jual beli tanah itu tidak dikuasainya, tetapi tidak kosong, terdapat pihak lain yang secara turun-temurun dan terus-menerus menguasai tanah dimaksud itu.

Bagaimana kedudukan hukum bagi pemegang Sertifikat Hak Milik (SHM) yang tidak menguasai fisik tanah itu? Dan bagaimana pula keabsahan jual beli yang dilakukan dalam posisi tanah tidak dikuasai fisiknya

ads

Pembahasan hal itu perlu merujuk kepada Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sebelumnya diatur di dalam PP No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, namun PP ini dinyatakan tidak berlaku sejak lahirnya PP 24/1997 itu. Tetapi tetap dapat digunakan untuk dijadikan tolok ukur bagi surat tanah dan sertifikat tanah yang diterbitkan pada masa berlakunya PP 10/1961.

Menurut PP 10/1961 proses pendaftaran tanah harus dilakukan pengukuran atas bidang tanah tersebut. Sebelum dilakukannya pengukuran itu Menurut Pasal 3 ayat (2) PP 10/1961 harus diadakan dua tindakan, yakni: Penyelidikan riwayat bidang tanah itu dan Penetapan batas-batasnya.

Hasil dari kedua tindakan tersebut di atas berguna untuk mengisi poin-poin di dalam surat ukur. Dimana surat ukur memuat gambar tanah yang melukiskan batas tanah, tanda-tanda batas, gedung-gedung, jalan-jalan, saluran air dan lain-lain benda yang penting, serta harus memuat pula: Nomor pendaftaran, Nomor dan tahun surat-ukur/buku tanah, Nomor pajak (jika mungkin), Uraian tentang letak tanah, Uraian tentang keadaan tanah, Luas tanah, Orang atau orang-orang yang menunjukkan batas-batasnya.

Uraian tentang keadaan tanah harus disusun dengan sebenar-benarnya agar tidak terjadi sengketa di belakang hari.

Lahirnya PP 24/1997 mencabut PP 10/1961 itu. Namun keduanya tetap menjaga kebenaran dalam menyusun data-data fisik yang tentunya berkaitan tentang keadaan tanah. PP 24/1997 lebih mendetail.   

PP 24/1997 dalam Pasal 12 ayat (1) menggambarkan titik penting tentang kebenaran dalam menyusun data fisik ataupun uraian tentang keadaan tanah, dimana menegaskan bahwa kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi pengumpulan dan pengolahan data fisik, pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis, dan penyimpanan daftar umum dan dokumen.

Dari proses tersebut dapat dimaknai bahwa keadaan tanah yang sesungguhnya harus diterangkan di dalam surat ukur. Jika fisik tanah dikuasai pihak lain, atau dikelolah oleh pihak lain, atau pemohon hak tidak menguasai fisik tanah maka hal itu harus diterangkan di dalam surat ukur dimaksud. Keberadaan orang yang menguasai itu wajib dipertanyakan, bisa saja pemohon hak bukanlah orang yang sebenar-benarnya sebagai pemilik tanah dimaksud. Atau pemegang hak menunjuk objek tanah yang salah, ini bisa saja terjadi. Sebab keadaan tanah bisa berubah-ubah.

Meskipun tidak ada sengketa yang berjalan di lembaga peradilan atau penegak hukum lain, maka penguasaan oleh pihak lain harus dipertanyakan dan jika tidak ada keterangan tentang pinjam meminjam, atau sewa menyewa maka dapat dimaknai itu sebagai sengketa. Sehingga pendaftaran hak tidak bisa direalisasikan dengan penerbitan sertifikat.

Dengan adanya pihak lain yang menguasai tanah maka sudah cukup menyatakan tanah itu dalam status sengketa. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 3 tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan Kasus Pertanahan mendefenisikan bahwa “sengketa pertanahan yang selanjutnya disingkat sengketa adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis.” Pasal ini dapat dijadikan tolok ukurnya, meskipun perselisihannya tidak berjalan di lembaga peradilan, tetap dapat dinyatakan sebagai tanah sengketa.

Pendaftaran hak baru, secara mutlak harus bebas dari sengketa dengan siapapun, dan ini menjadi penekanan agar tidak menimbulkan permasalahan hukum di belakang hari. Jika terdapat sengketa maka penerbitan sertifikat harus ditangguhkan sampai sengketa dinyatakan selesai. Contohnya saja dalam menunjukan batas-batas tanah, pemohon hak dibebani dalam menunjuk batas-batas tanah, jika pemohon hak bertahun-tahun tidak menguasai tanah dan terjadi pul perubahan keadaan tanah, bagaiman ianya dapat secara benar menujukan batas-batas? sesuai Pasal 18 ayat (1) PP 24/1997 menyatakan bahwa "Penetapan batas bidang tanah yang sudah dipunyai dengan suatu hak yang belum terdaftar atau yang sudah terdaftar tetapi belum ada surat ukur/gambar situasinya atau surat ukur/gambar situasi yang ada tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya dilakukan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, berdasarkan penunjukan batas oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin disetujui oleh para pemegang hak atas tanah yang berbatasan.”

ads

Disamping itu, PP 24/1997 dalam Pasal 17 ayat (2) menegaskan bahwa “dalam penetapan batas bidang tanah pada pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik diupayakan penataan batas berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkepentingan”. Meskipun kalimat “diupayakan” dikonotasikan tidak tegas. Tetapi harus ada upaya atau usaha untuk terjadi kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam penetapan batas. Dan upaya yang ditempuh harus terukur atau benar-benar ada.

Menyikapi sengketa batas itu yang notabene berkaitan dengan data fisik, maka sengketa itu dicatat di dalam buku tanah, jika upaya musyawarah tidak menemukan solusi, kepada pihak yang berkeberatan diberitahukan agar mengajukan gugatan ke pengadilan. Hal ini sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 30 ayat (1) huruf c PP 24/1997 yang menyatakan; “Yang data fisik dan atau data yuridisnya disengketakan tetapi tidak diajukan gugatan ke Pengadilan dilakukan pembukuannya dalam buku tanah dengan catatan mengenai adanya sengketa tersebut dan kepada pihak yang berkeberatan diberitahukan oleh Ketua Panitia Ajudikasi untuk pendaftaran tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan untuk pendaftaran tanah secara sporadik untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai data yang disengketakan dalam waktu 60 (enam puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan 90 (sembilan puluh) hari dalam pendaftaran tanah secara sporadik dihitung sejak disampaikannya pemberitahuan tersebut”. Sepanjang tidak tidak ada pemberitahuan untuk mengajukan gugatan maka jangka waktu yang dimaksud itu belum bisa diberlakukan. Sepanjang catatan sengketa belum dihapus atau belum diselesaikan maka penerbitan sertifikat harus ditangguhkan sesuai Pasal 31 ayat (2) PP tersebut.

Demikian pula, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diwajibkan menolak untuk membuat akta jika obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya, sesuai dengan Pasal 39 ayat (1) huruf f PP 24/1997.

Kembali kepada persoalan pemegang hak atau pemegang SHM ternyata tidak pernah menguasai tanah dan senyatanya ada pihak lain yang secara turun-temurun dan secara terus-menerus selama bertahun-tahun maka SHM itu dapat dinyatakan cacat hukum. Dan terhadap pengalihan SHM itu juga dapat dikatagorikan cacat hukum.

ads

Penguasaan fisik tanah sangat urgen dalam kepemilikan tanah. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997 yang isinya; "Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya,….." Jadi meskipun telah terbit sertifikat hak maka dengan nyata-nyata tanah itu harus dibawah penguasaan si pemegang hak.

Tidak menguasai atau mengerjakan tanah selama bertahun-tahun dapat mengakibatkan kehilangan hak atas tanah. sebagaimana ditegaskan di dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997, Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena ditelantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah sesuai dengan lembaga ini.

Penerbitan SHM itu dicurigai adanya praktek-praktek mafia tanah. Bagaimana mungkin pihak yang tidak pernah menguasai tanah, baginya diterbitkan hak milik. Maka sertifikat tersebut dapat dibatalkan dengan cara mengajukan gugatan ke lembaga peradilan, atau mengajukan permohonan pembatalan kepada Badan Pertanahan yang berwenang.