Sidang Tuntutan Uang Ketok APBD Sumut, Pensihat Hukum; Mengapa Yang Lain Tidak Menjadi Tersangka?
Para terdakwa memberikan kesaksian di persidangan, antara lain mantan anggota DPRD Sumut, Taufan Agung Ginting (kiri), Fahrur Rozi (kedua dari kiri) dan tersangka lainnya.

Sidang Tuntutan Uang Ketok APBD Sumut, Pensihat Hukum; Mengapa Yang Lain Tidak Menjadi Tersangka?

Medan - Proses peradilan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) yang menyidangkan perkara kasus uang ketok Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumatera Utara (Sumut) tahun anggaran (TA) 2012-2015 sebesar Rp61.83 miliar, dianggap terasa janggal, Senin (22/3/2019) malam kemarin.

Para pimpinan DPRD yang telah menjalani hukuman hanya mendapat vonis penjara selama empat tahun, sementara anggota biasa malah mendapat tuntutan lebih tinggi, yakni enam tahun. Kejanggalan lainnya adalah banyak anggota DPRD Sumut lainnya yang turut menerima serta para kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan pejabat lainnya yang bertugas sebagai pengumpul uang, malah sampai sekarang diperlakukan istimewa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena hanya sebatas saksi.

Hal ini disampaikan Rinto Maha, penasihat hukum terdakwa mantan anggota DPRD Sumut, Musdalifah, dalam keterangan persnya yang diterima wartawan di Medan, Selasa (23/4/2019).

"Dalam dakwaan disebutkan terdakwa menerima sejumlah uang dari Gatot Pujo Nugroho. Dalam fakta persidangan Gatot Pujo Nugroho membantah pernah memberikan uang kepada 100 anggota DPRD Sumut. Fakta persidangan, Evi Diana, yang merupakan istri mantan Gubernur Sumatera Utara (Gubsu), Erry Nuradi, juga menerima uang ketok dari Ali Nafiah (bendahara DPRD Sumut) masih berstatus saksi. Jadi, jika klien (Musdailfah) kami menjadi terdakwa di persidangan ini maka dia (Evi Diana) sebagai saksi tidak lebih baik dari terdakwa, sejatinya menjadi terdakwa juga," tegas Rinto Maha.

Dia menjelaskan, ada keterangan saksi-saksi yang dihadirkan Jaksa KPK tidak sama dengan catatan Ali Nafiah, misalnya saksi Alamsyah Hamdani yang menerima Rp127 juta, Brilian Moktar dan juga Aduhot Simamora (Wakil Ketua DPRD Sumut) yang telah mengembalikan uang yang sampai saat ini 'dosanya' telah ditebus KPK, sehingga unsur perbuatan pidana tidak dapat diterapkan bagi saksi-saksi yang tugasnya hanya untuk menjatuhkan terdakwa demi berlindung dari dinginnya jeruji besi.

"Pasal 4 UU Tipikor, pengembalian uang ke KPK tidak menghilangkan delik pidananya itu berlaku untuk Alamsyah Hamdani yang mengembalikan Rp180 juta, Evi Diana Rp127 juta dan Aduhot Simamora dkk.

Berdasarkan Pasal 55 KUHP, maka status puluhan SKPD harusnya menjadi tersangka," tandasnya.

Fakta persidangan, sambungnya, Jaksa KPK menggunakan bukti-bukti catatan sepihak dari Ali Nafiah dan pada tuntutan, catatan Ali Nafiah dijadikan referensi utama untuk menjustifikasi permasalahan suap-menyuap, sehingga seolah-olah saksi Ali Nafiah adalah malaikat yang tidak mempunyai konflik kepentingan adalah sesat pikir dan bentuk manifestasi dari arogansi kekuasaan.

"Karena saksi Randiman Tarigan (mantan Sekretaris DPRD Sumut) dan Ali Nafiah bukanlah Whistle Blower atau peniup peluit melainkan 'medepleger' turut melakukan dan faktanya dalam persidangan, catatan Ali Nafiah terbukti tidak valid yaitu dicabutnya Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pemberian uang ke Elizaro Duha. Sementara saksi Zul Jenggot yang kata Ali Nafiah menerima Rp515 juta namun dibantah Zul Jenggot dan atas bantahan itu Zul Jenggot sampai saat ini masih berstatus saksi," tandasnya lagi.

Dengan uraian fakta-fakta persidangan itu, terangnya, ada beberapa hal yang menjadi janggal yaitu adanya upaya tebang pilih. "Di Indonesia, kasus korupsi atau praktik suap menyuap tidak berdiri sendiri. Pemberi tersangka tunggal hanya Gatot Pujo Nugroho yang ditumbalkan. Dari unsur eksekutif atau SKPD, sampai hari ini masih terus dimanfaatkan KPK untuk menjadi saksi-skasi bagi terdakwa dari unsur DPRD sehingga dari upaya ini jelas ada indikasi tebang pilih. Pengembalian uang suap tidaklah menghilangkan delik pidana yang ada dan saksi-saksi yang turut serta mengumpul-ngumpulkanm uang untuk suap seperti Zul Jenggot, Randiman Tarigan dan Ali Nafiah selaku eksekutor langsung sejatinya menjadi tersangka sesuai Pasal 55 KUHP," bebernya.

Tuntutan yang dialamatkan Jaksa KPK terhadap terdakwa Musdalifah, menurutnya, sangat bertentangan dengan akal sehat dan nurani.

Pertama, tuntutan enam tahun untuk terdakwa Musdalifah tidak sesuai dengan unsur Men Rea pelaku karena jaksa memutarbalikan fakta. "Terdakwa Musdalifah menerima uang Rp330 juta dari Ali Nafiah terkait utang piutang dan kesaksian palsu Randiman Tarigan dalam persidangan sudah cukup jelas Randiman Tarigan jelas-jelas dalam rekaman percakapan dengan Musdalifah meminjam uang sebesar Rp550 juta tidak menjadi pertimbangan jaksa KPK," sebutnya.

Kedua, dalam persidangan telah diputar dengan cukup jelas mendengarkan pembicaraan Randiman terkait uang Rp500 juta. "Hanya orang tuli yang tidak mendengar ada rekaman pengakuan Randiman Tarigan dalam persidangan itu, sehingga ketika jaksa mengesampingkan rekaman tersebut tidaklah sesuai dengan hati nurani dan akal sehat," pungkasnya.

Ketiga, tuntutan enam tahun penjara dan mengembalikan uang pengganti Rp477 juta adalah tidak rasional dari asas kepastian hukum, karena anggota biasa dituntut enam tahun penjara dan unsur pimpinan hanya empat tahun. Fakta-fakta dan barang bukti yang diserahkan oleh Jaksa KPK tidak menjadi pertimbangan.

Keempat, Jaksa KPK mendakwa dan menuntut terdakwa di persidangan akan tetapi barang bukti tidak dicopy/salin ke penasihat hukum untuk upaya pembelaan dan kepada majelis hakim menjadi bahan pertimnbangan (petunjuk), sehingga tindakan tersebut bertentangan dengan KUHAP mengenai bukti petunjuk dan advokat.

Kelima, tuntutan tidak berdasarkan fakta persidangan. Penasihat hukum Musdalifah melalui majelis hakim kepada jaksa KPK untuk melakukan uji forensik dan ditolak dengan alasan barang bukti yang digunakan sudah sesuai prosedur. Dan ketika penasihat hukum memberikan flashdisk sebagai barang bukti di muka persidangan, jaksa dalam tuntutannya menyatakan barang bukti flashdisk yang dihadirkan penasihat hukum haruslah diuji forensik terlebih dulu sehingga sah disebut barang bukti. "Dalam hal ini, Jaksa KPK membuang ludah ke atas mengenai wajah sendiri. Kalau sama jaksa tak perlu uji forensik dan kepada advokat yang sesama penegak hukum harus diuji forensik," utaranya.

Selanjutnya, fakta barang bukti flashdisk yang diajukan jaksa telah dimodifikasi oknum penyidik dan hal tersebut sudah diakui dalam persidangan oleh ahli IT KPK. Kemudian, fakta persidangan saksi Randiman Tarigan juga berulangkali mengakui barang bukti telah ditambahkan tanda tangan di hadapan penyidik.

Sementara menurut Prof Andi Hamzah di persidangan itu, kata Rinto Maha, terkait Pasal yang diajukan dalam tuntutan, katanya, tidak tepat karena terdakwa telah melakukan hal sesuai dengan kewajibannya yaitu mengesahkan APBD. 

"Sesuai dengan penjelasan Prof Andi Hamzah, pasal yang tepat untuk kasus DPRD Sumut adalah pasal 5 ayat 2 dan Pasal 11 UU Tipikor karena unsur di Pasal 12a dan 12b memuat bertentangan dengan kewajiban. APBD telah disahkan, sehingga tidak ada yang bertentangan dengan kewajibannya," kata Rinto Maha.

Masih menurut Prof Andi Hamzah, sambung Rinto Maha, penerapan Pasal 11 UU Tipikor berasal dari Pasal 418 KUHP yang dahulu disalin mentah-mentah dari Pasal 362 KUHP Belanda, dengan ancaman pidana berbeda. Di Belanda sendiri pada tanggal 1 Januari 2015, Pasal Gratifikasi tersebut telah dicabut, karena tidak ada dalam KUHP manapun memidana orang yang hanya menerima hadiah atau janji saja tidak bertentangan dengan kewajibannya.

Atas hal itu, Rinto Maha di muka persidangan menjelaskan tuntutan yang dibuat jaksa adalah pengulangan dakwaan, tidak berdasarkan fakta persidangan dan keterangan saksi-saksi, dan sangat mencederai asas kepastian hukum unsur pimpinan dituntut empat tahun, sementara anggota biasa dituntut enam tahun. (asw)