Regulasi Tentang BPJS Berpolemik

Regulasi Tentang BPJS Berpolemik

Kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang produktif secara ekonomis. Pentingnya kesehatan sebagai hak asasi manusia dan sebagai kondisi yang diperlukan untuk terpenuhinya hak-hak lain. Sebagaimana amanah Pasal 28 H ayat (1) dan (3) dan Pasal 34 ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang merupakan dasar hukum tertinggi yang menjamin hak konstitusional warga negara  atas pelayanan kesehatan dan mewajibkan Pemerintah untuk membangun sistem dan tata kelola penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang terintegrasi dengan penyelenggaraan program jaminan sosial.

Terkait  dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Pemerintah mendirikan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS). BPJS Kesehatan  merupakan  Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditugaskan khusus untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh Rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) , Penerima pensiun PNS dan TNI/Polri, Veteran, Perintis kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan usaha lainnya ataupun rakyat biasa. Kemudian dengan terbitnya tiga aturan baru BPJS Kesehatan terkait dengan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampel) BPJS Kesehatan No. 2 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan dan No. 3 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat , dan No. 5 Tahun 2018  tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik. Bertujuan untuk menekan defisit yang diperkirakan bisa mencapai Rp. 360 miliar.

Hal inilah  yang menimbulkan polemik di kalangan masyarakat maupun Ikatan Dokter Indonesia sendiri.  Sebab banyak masyarakat resah sejak diterbitkannya ketiga aturan tersebut. Dimana masyarakat menganggap kurang maksimalnya mutu pelayanan kesehatan  sejak diterapkannya tiga aturan tersebut. Diantaranya terkait dengan Penjaminan pelayanan katarak, bila sebelumnya BPJS kesehatan menjamin semua operasi pasien katarak, namun setelah aturan tersebut diterbitkan, operasi dibatasi hanya kepada pasien yang memiliki virus di bawah 6/18 yang ditanggung BPJS. Sementara jika virus kataraknya di atas 6/18 maka seluruh biaya operasi tersebut haruslah ditanggulangi oleh pasien sendiri. Kemudian terkait dengan pelayanan persalinan bayi baru lahir sehat, jika bayi yang lahir sehat maka jaminan perawatannya disertakan dengan ibunya. Tetapi, apabila bayi membutuhkan pelayanan atau sumber daya khusus, maka sesuai aturan Perdirjampelkes No. 3, Faskes dapat menagihkan klaim di luar paket persalinan.  Selanjutnya  terhadap Rehabilitasi Medik termasuk Fisioterapi yang sebelumnya tidak dibatasi, kini terapi pasien yang ditanggung oleh BPJS hanya 2 kali dalam seminggu.

Hal inilah yang menjadi pembahasan serius terkait  Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampel) BPJS kesehatan No. 2 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan dan No. 3 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat , dan No. 5 Tahun 2018  tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik yang berpotensi  melanggar Pasal 24 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang menyatakan bahwa :

Badan penyelenggara Jaminan Sosial mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan; dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas jaminan kesehatan.

Kemudian potensi aturan yang dilanggar berikutnya yaitu Pasal 43 a ayat (1) Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan Nasional, menyatakan bahwa:

BPJS Kesehatan mengembangkan teknis operasionalisasi  sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas.

Namun setelah diterbitkannya aturan Perdirjampel tersebut, masyarakat merasa tidak maksimalnya  sistem mutu pelayanan kesehatan tersebut dan cenderung membatasi sistem pelayanan kesehatan yang diterapkan sesudah aturan tersebut dilaksanakan. Terkait dengan peristiwa tersebut pemerintah diharap dapat mengambil langkah tepat untuk menjawab keresahan peserta jaminan kesehatan tersebut. Dengan tidak hanya memikirkan efisiensi terkait defisit  anggaran tetapi juga bagaimana cara meningkatkan sistem mutu pelayanan kesehatan tersebut.