Potret Buruk Dunia Pertanahan
Arfan Adha Lubis, SH., MH.

Potret Buruk Dunia Pertanahan

Oleh: Arfan Adha Lubis, SH., MH.*

Dalam pembentukan negara, tanah merupakan salah satu unsur yang esensial. Tanah memegang peranan yang penting dalam kehidupan dan penghidupan bangsa. Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio quanan.

ads

Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan campur tangan penguasa dalam hal ini yang berkompeten dalam urusan tanah yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN), beserta perangkat hukum yang menjadi landasan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan tanah.

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang berlaku pada tanggal 24 September 1960 adalah suatu instrumen hukum yang diharapkan dapat tampil ke depan. Meredam persoalan tanah yang sepanjang sejarah Indonesia menjadi potensi yang sarat menimbulkan konflik.

Hal ini dapat dilihat dari serangkaian permasalahan yang terungkap kepermukaan. Katakanlah seperti pertikaian atas lahan eks Perusahaan Terbatas Perkebunan Negara (PTPN), konflik antara rakyat dengan institusi militer serta konflik antara rakyat dengan institusi militer serta konflik lainnya yang menimbulkan peningkatan kasus perkasus yang sangat signifikan. Ironisnya fenomena itu lebih menampilkan konflik horizontal maupun vertikal.

ads

Indikasi permasalahan tanah ini terjadi karena beberapa faktor antara lain:

  1. Praktek penegakan hukum yang masih tumpang tindih, dan terkesan pilih kasih dalam pengaplikasiannya. Kondisi yang masih carut marut ini diperunyam dengan ketidak pastian hukum disisi lain. Sehingga intensitas dan efektivitas hukum tidak dapat berjalan dengan baik. Malah menunjukkan pendistorsian hukum.
  2. BPN yang dalam hal ini alat instrumen dalam menyelesaikan masalah pertanahan, tidak independen. Sehingga prakteknya, banyak menimbulkan rasa ketidakpuasan bagi wong cilik dalam mengadukan/menyelesaikan permasalahan tanahnya. BPN juga belum steril dari wabah KKN. Imbasnya, gonjang-ganjing reformasi Agraria hanya berjalan di tempat.
  3. Persepsi keliru atau sengaja direkayasa terhadap status tanah. Ini mengakibatkan maraknya praktek manipulasi yang dilakukan oleh suatu institusi maupun perorangan atau kelompok. Sinyalemen ini bahkan terkadang dibeking oleh oknum pejabat, anggota parpol maupun lembaga negara lain. Untuk kepentingan masing-masing dengan segala dalih yang terkesan dipaksakan (mengada-ada).
  4. Tindakan profokasi diorganisir sedemikian rupa untuk tujuan yang buruk. Dengan mengemas seputar isu yang sama sekali tidak dapat dibuktikan keabsahannya. Celakanya ada berasumsi dan mempunyai suatu paradigma, bahwa tindakan profokatif merupakan power yang dapat menciptakan destruktivikasi yang menguntungkan kelompok atau golongan tertentu.

 

Saran dan Usul Solusi

Untuk mengentaskan serangkaian permasalahan tanah diatas, menurut hemat penulis pertama-tama kita harus mengubah paradigma cara berfikir kita kearah yang tidak kebablasan, dengan semangat reformasi agraria. Bercermin dan introsfeksi diri, serta mengkaji ulang setiap kebijakan dibuat. Selain dari pada itu ada beberapa langkah dapat ditempuh  segera, yaitu:

ads

  1. Penegakan hukum secara komprehensif. Tanpa ada pendiskriminasiaon dalam pengimplementasian hukum. Konsekuensi logisnya diharapkan, setiap persoalan pertanahan ditempuh dengan menggunakan jalur hukum. Tanpa perlu menggunakan cara-cara yang tidak rasional, apalagi kontradiksi dengan jalur hukum. Hukum harus ditegakkan dengan seadil-adilnya. Dan keadilan diberikan pada sebuah porsi sebenar-benarnya. Selain daripada itu adanya proses pembenahan dalam sistem hukum, yang selama ini sangat rentan dengan sistem politik dan kekuasaan. Sehingga hukum bisa menjadi panglima dan merdeka dari berbagai intervensi.
  2. Pemberdayaan dan retrukrisasi BPN. Sejatinya, BPN harus bersih dan terlepas dari virus KKN. Yang selama ini menjadi borok dan membuat eksistensi bangsa menjadi amburadul. Hal ini krusial mengingat bangsa ini berada dalam krisis multidimensi. Hendaknya figur dan citra BPN sebagai instrumen dipercayakan menangani masalah pertanahan, adalah figur yang mempunyai jiwa kredibilitas, loyalitas serta integritas moral yang tinggi.
  3. Reorientasi pemahaman benar terhadap tanah. Ini terkait dengan maraknya penyelewengan dilakukan terhadap objek status tanah. Ini penting untuk mencegah (tidak terulangnya) peralihan tanah sebagai aset dan inventaris negara, menjadi aset pribadi atau menjadi aset institusi yang notabene kebetulan mempunyai kekuasaan, lalu mengklaim dan mengadopsi aset tanah sebagai aset kepemilikan mereka.
  4. Memberikan penyuluhan (proses penyadaran) kepada masyarakat agar tidak mau diprovokasi oleh pihak manapun. Terlebih dalam argumentasi tidak benar, serta fakta dimanipulasi dan direkayasa untuk membohongi rakyat. Karena ujung-ujungnya rakyat merugi dan tanpa sadar berada dalam pihak dieksploitasi.

 

Harapan ke Depan

Dalam rangka menegakkan supremasi hukum terlebih di era reformasi ini, sangat diharapkan suatu investasi sikap dan integrasi moral yang utuh dari aparatur penegak hukum. Agar hukum berjalan dengan baik dan mampu dijadikan sebagai penyangga reformasi Agraria. Hukum harus dapat diaktualisasikan secara konsisten dan efektif. Terlebih tingkat konflik dan pertikaian atas tanah di Indonesia secara signifikan belum menunjukkan adanya tanda-tanda perbaikan kearah lebih baik. Malah merupakan salah satu persoalan mendasar yang tak terselesaikan. Tanah tetap segudang potensial yang kerap menimbulkan konflik, sementara disisi lain tanah merupakan suau kebutuhan esensial.

Namun dibalik wacana itu semua, ada suatu harapan tulus, untuk mengentaskan problema dan kasus-kasus konflik pertanahan yang begitu stimulan dan dilematis. Semoga, suatu harapan yang bukan sebatas bayang-bayang maya. Tetapi menjadi suatu harapan yang dapat segera direalisasikan.

 

*Penulis adalah Alumni FH UMSU & PMIH UMSU, Penulis tetap di litigasi.co.id