Sanksi Hukum Parpol Penerima Mahar Politik

Sanksi Hukum Parpol Penerima Mahar Politik

Litigasi - Di tengah pengusungan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden periode 2019-2024 oleh gabungan Partai Politik (Parpol). Beredar kabar kabar di media nasional bahkan media sosial (Medsos) tentang adanya mahar politik dari Paslon tertentu kepada dua Parpol pengusung. Bahasa di media dana sebesar Rp. 500 Milyar sebagai mahar politik sementara bagaimana menurut hukum masih dilakukan pendalaman oleh Bawaslu.

ads

Istilah mahar politik sebagai wujud dari politik transaksional sudah menjadi rahasia umum dalam perjalanan demokrasi di Indonesia, sering terdengar baik untuk tingkat Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan Legislatif bahkan sampai Pemilihan Kepala Desa, tetapi hal itu sangat sulit dibuktikan.  

Mahar politik merupakan bentuk praktek politik menyimpang dan tidak sehat. Karena dibalik mahar politik ada kesepakatan untuk mendapatkan tiket dukungan Parpol, jika mahar tidak diberikan maka Parpol tidak akan mengusung pemberi mahar, disini ada tawar menawar, yang menonjol bukan pembelaan kepentingan rakyat.

Bambang Santoso SH., MH., selaku pengamat hukum dan Advokat dari Law Firm BS&P menilai bahwa untuk mendudukan persoalan itu harus jelas parameternya yakni UU No. 7 tahun 2017, dimana UU tersebut tidak ada menyebutkan “mahar politik”, tetapi di dalam ayat (1) Pasal 228 UU Pemilu tersebut terdapat kalimat “imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan”, kalimat tersebut dapat ditafsirkan sebagai mahar politik dalam pencalonan, imbalan tidak hanya berbentuk uang, termasuk janji dan materi apapun itu sepanjang berkaitan dengan proses pencalonan.

Ayat (1) Pasal 228 UU Pemilu tersebut menegaskan:
Partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.

ads

Masih menurut Bambang bahwa Pasal tersebut tidak tegas dan debateble mengingat proses pencalonan terdiri dari beberapa tahapan. Disamping itu sepanjang penelusuran UU Pemilu tidak terdapat sanksi pidana bagi pemberi dan penerima mahar tersebut. Sanksinya hanya bagi Parpol penerima imbalan dapat diganjar dengan sanksi tidak dapat boleh mengajukan calon pada periode berikutnya. Selanjuntya untuk membuktikan adanya pelanggarannya juga harus menempuh jalan panjang dimana harus ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tidak segampang yang dipikirkan. Sebagaimana diatur di dalam ayat (2) dan (3) Pasal 228 UU Pemilu yang menegaskan:  

(2)  Dalam hal partai politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud ayat (1), Partai politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya;

(3)  Partai politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Mahar politik berbeda dengan dana kampanye, UU membenarkan adanya dana kampanye, bahkan disyaratkan dalam Pemilu. Dana kampanye dapat diperoleh dari Pasangan calon yang bersangkutan, Partai Politik atau gabungan Parpol pengusung, sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain dan APBN. Sumbangan dana kampanye dapat berupa uang, barang dan atau jasa.

Yang dimaksud dengan “sumbangan yang sah menurut hukum” adalah bersifat tidak mengikat dan dapat berasal dari perseorangan, kelompok, perusahaan dan atau badan usaha non pemerintah. Namun demikian pemberian sumbangan harus berpedoman kepada Pasal 327 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menyatakan bahwa :

1)    Dana kampanye yang berasal dari perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 326, tidak boleh melebihi Rp. 2.500,000,000,00- (dua miliar lima ratus juta rupiah);

2)    Dana kampaye yang berasal dari kelompok, perusahaan, atau badan usaha nonpemerintahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 326, tidak boleh melebihi Rp. 25.000,000,000,00,- (dua puluh lima miliar rupiah);

ads

Perseorangan, kelompok, perusahaan, dan atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan sumbangan harus melaporkan sumbangan tersebut kepada KPU dan harus mencantumkan identitas yang jelas. Hal itu bertujuan menjaga ketimpangan dan menjunjung tinggi transparansi Pemilu.

Menurut Bambang, regulasi di atas dikaitkan dengan polemik mahar politik sebesar Rp. 500 Milyar yang selama ini berkembang di tengah masyarakat belum jelas duduk persoalannya. Meskipun dikabarkan Bawaslu sedang melakukan penelusuran dan pendalaman tetapi sudah dapat diprediksi akan memperoleh kebuntuhan dalam mengungkap kasus tersebut. Sementara itu, Paslon yang dikabarkan sebagai pemberi uang tersebut telah menyampaikan bantahannya yang pada intinya itu merupakan dana kampanye. Bambang berpendapat lagi jika hasil pengungkapan kasus itu sebagai dana kampanye maka uang sebesar Rp. 500 Milyar adalah legal menurut hukum. Namun demikian kasus ini harus diusut tuntas agar masyarakat tidak bertanya-tanya dan berprasangka negatif kepada salah satu Pasalon dan Parpolnya.