Polisi Virtual, Bagaimana Cara Kerjanya?
UU ITE

Polisi Virtual, Bagaimana Cara Kerjanya?

Pengguna sosial media belakangan harus menahan nafsu dan tangannya untuk berselancar di sosial media. Pasalnya, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri mulai mengaktifkan Polisi Virtual per Rabu (24/2/2021) untuk mengawasi aktivitas warganet di jejaring dunia maya. Polisi virtual akan bertugas untuk menindak pengguna sosial media yang berpeluang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang biasa kita sebut sebagai UU ITE.

Bagaimana cara kerjanya polisi virtual ?

Bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika, Polri meluncurkan polisi virtual untuk mengawasi unggahan-unggahan digital. Polisi virtual bertugas untuk menegur masyarakat yang mengunggah aktivitas media sosial yang berpotensi melanggar UU ITE. Polisi virtual disaat yang bersama juga bertugas untuk memberi edukasi kepada masyarakat terkait pelaksanaan UU ITE. Polisi virtual dalam hal ni tidak mempunyai kewenangan untuk menindak pelanggaran yang terjadi di dunia maya, polisi virtual justru hanya akan bersifat menegur apabila ada akun yang berpotensi melakukan pelanggaran UU ITE. Terkait penindakan hukum tetap akan menjadi kewenangan polisi siber.

Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Slamet Uliandi mengatakan, tim tersebut pertama akan mulai beroperasi dengan melakukan patroli siber di media sosial. Mereka, mengawasi konten-konten yang terindikasi mengandung hoaks serta hasutan di berbagai platform, seperti di Facebook, Twitter, dan Instagram. Apabila virtual police menemukan konten yang terindikasi melakukan pelanggaran, maka tim akan mengirimkan peringatan lewat medium pesan atau direct message ke pemilik akun.

Peringatan itu, kata dia, diberikan usai tim melakukan kajian terhadap konten bersama dengan sejumlah ahli. Kata dia, polisi akan melibatkan ahli bahasa, ahli pidana, hingga ahli ITE.Hal tersebut dilakukan guna menekan subjektivitas polisi dalam menilai suatu konten yang tersebar di internet untuk kemudian ditegur. "Tahapan-tahapan strategi yang dilakukan melalui beberapa proses. Pertama edukasi, kemudian peringatan virtual," ucap dia.

Peringatan itu akan meminta agar pemilik akun menghapus konten yang berpotensi melanggar pidana dalam waktu 1x24 jam. Jika postingan di medsos yang diduga mengandung pelanggaran atau hoaks tersebut tidak diturunkan pemilik akun, penyidik akan memberikan peringatan kembali sebanyak satu kali.Jika yang kedua masih belum direspons, maka akan tim akan memanggil pemilik akun untuk diklarifikasi. Hanya saja, dia menekankan bahwa upaya penindakan akan dilakukan sebagai langkah terakhir. "Kami lakukan mediasi,restorative justice. Setelah restorative justice baru laporan polisi. Sehingga tidak semua pelanggaran atau penyimpangan di ruang siber dilakukan upaya penegakan hukum melainkan mengedepankan upaya mediasi dan restorative justice," ucap dia.

Beliau juga menegaskan bahwasannya diadakannya polisi virtual bukanlah untuk mengekang kebebasan masyarakat dalam bersuara di dunia maya. Slamet juga mempertegas bahwa kritik yang disampaikan dengan ujaran kebencian dan fitnah lah yang akan ditindak. “Kritik sah-sah saja, namun ujaran kebencian, fitnah dan kebohongan itu yang tidak baik” ujarnya.

Bagaimana menurut sahabat Litigasi, apakah setuju polisi virtual dibentuk? Tunggu komentarnya ya..:)