Iklan “SAMPAH”
Arfan Adha Lubis, SH., MH.

Iklan “SAMPAH”

Oleh: Arfan Adha Lubis, MH.*

Pasal 4 huruf h UU No. 8 Tahun 1999 tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengatakan “Hak Konsumen, adalah: hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”. Sebelumnya di huruf c, berbunyi “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”.

ads

Menilik bunyi Pasal 4 huruf c dan h UUPK, dihubungkan dengan pendapat Pakar Ortopedi dr. Henry Suhendra, SpOT yang mengatakan “iklan nyeri sendi yang banyak di televisi atau glukosamin itu sampah semua, karena sebenarnya itu hanya suplemen dan penghilang rasa sakit” (Analisa, 29/1/2019, halaman 24), dapat ditelaah plus diambil kesimpulan bahwa konsumen selaku pengkonsumsi obat nyeri sendi telah tertipu oleh iklan “sampah” serta menyesatkan tersebut.

Pada akhir 1992, Menteri Kesehatan RI pernah melontarkan suatu kritikan sangat tajam terhadap iklan obat-obatan yang beredar di masyarakat, khususnya ditayangkan di televisi. Menurutnya semua iklan itu menyesatkan (Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009: 133).

Kita dapat membayangkan pernyataan itu dilontarkan 27 tahun silam. Dan kita bandingkan sekarang dengan kemajuan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat. Kalau diungkapkan Menkes itu hanya media televisi, bagaimana pula seandainya sekarang media audio, media cetak serta teranyar media online ikut bersubhat dan latah mempublikasikan iklan obat “sampah” tersebut ke tengah-tengah masyarakat. Notabene, mayoritas konsumen di Indonesia masih rentan dalam menyerap informasi, mana iklan valid dan mana iklan “sampah” plus menyesatkan. Terlebih jamak iklan “sampah” dibuat dengan kalimat bombastis, untuk memperdaya dan menarik konsumen.

ads

Berkaitan dengan itu pula, Farid Wajdi dalam bukunya berjudul “Repotnya jadi Konsumen” mengatakan, hasil evaluasi post – audit Badan POM tahun 2001 menunjukkan dari 548 iklan obat yang dievaluasi, ada 201 iklan tidak memenuhi syarat. Kemudian dari 490 iklan obat tradisional yang dievaluasi, 272 tidak memenuhi syarat, dan dari 105 iklan suplemen makanan, ada 53 iklan tidak memenuhi syarat. Selanjutnya dari 587 iklan makanan dan minuman yang dievaluasi, ada 28 iklan yang tidak memenuhi syarat, dan dari 5.855 iklan kosmetika yang dievaluasi ada 276 yang tidak memenuhi syarat. Sebuah hasil sangat mengejutkan karena hampir 50% dari iklan obat dan suplemen makanan tidak layak edar (Farid Wajdi, 2003: 34).

Bahkan data teraktual bulan Februari tahun 2018, BPOM telah mencabut dua produk suplemen produksi PT. Pharos Indonesia dengan Nomor Izin Edar (NIE) POM SD. 0515237771 nomor bets BN Cbk994H, dan Enzyplex tablet produksi PT. Medifarma Laboratories dengan NIE DBL 7214704016A1 nomor bets 16185101. Hal ini dikarenakan kedua sampel produk tersebut positif mengandung DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) babi. Diawal sertifikasi LPPOM MUI diidentifikasikan negatif, tetapi saat BPOM melakukan pengawasan post-market ternyata tidak sesuai. Sempat ada penarikan sampai akhirnya izin edar Viostin DS dan Enzyplex dicabut (detik.com).

Tindakan oknum pelaku usaha nakal tersebut melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf F UUPK yang mengatakan “pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji, yang dinyatakan dengan label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut”.

Sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 8 ayat (1) UUPK, diatur dalam Pasal 62 ayat (1) UUPK, berbunyi “Pelaku Usaha, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)”.

 

Legal Action & Strict Liability

Konsumen tidak perlu takut bila merasa haknya dirugikan. Karena hak konsumen dilindungi dalam UUPK. Oleh sebab itu konsumen perlu diedukasi untuk cerdas dan kritis dalam memilih suatu produk. Pemberdayaan dalam memilih kepada konsumen adalah suatu keniscayaan, untuk terhindar dari ekses negatif dalam mengkonsumsi suatu produk/barang. Legal Action (aksi hukum) yang dapat dilakukan konsumen apabila dirinya merasa dirugikan diatur dalam Pasal 45 ayat (1), (2), (3) dan (4) UUPK yang berbunyi sebagai berikut: (1) setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan suka rela para pihak yang bersengketa, (3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang,(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat di tempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh satu pihak yang bersangkutan.

ads

Berkaitan dengan itu untuk membantu konsumen mendapatkan hak dan perlindungannya di pengadilan terhadap pelaku usaha, maka UUPK memberikan ruang dengan menganut prinsip Strict liability. Pengertian prinsip Strict liability adalah pertanggungjawaban mutlak pelaku usaha terhadap produk barang/jasa dihasilkannya. Menurut N.H.T. Siahaan, ada beberapa ciri-ciri Strict Liability, yaitu, 1) Tanggungjawab yang dibebankan adalah tidak didasarkan kepada kesalahan, 2) Tanggung jawab timbul seketika pada saat timbulnya peristiwa. Pembuktian dibebankan kepada pelaku/tergugat, 3) Adanya pengecualian tanggungjawab (N.H.T. Siahaan, 2005: 168). Dengan prinsip Strict Liability konsumen dapat menuntut kerugian kepada produsen/pelaku usaha. Karena sejatinya, kalau konsumen harus dibebankan pembuktian kesalahan dari pelaku usaha, tentunya konsumen akan kesulitan pada beban pembuktian, notabene konsumen lemah secara sosial ekonomi kedudukannya dibandingkannya kedudukan pelaku usaha.

Ada beberapa alasan diterapkannya Strict Liability dalam masalah product Liability: a) Bahwa setidaknya yang menanggung beban kerugian diantara konsumen sebagai korban dan pelaku usaha adalah pihak yang memproduksi barang dan jasa yang cacat/berbahaya itu, b) Dengan mengedarkan atau menempatkan barang-barang di pasar, berarti pelaku usaha telah menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dikonsumsi atau digunakan .Jika terbukti tidak demikian, maka pelaku usaha bersangkutan harus bertanggung jawab c) Pelaku usaha dapat dituntut secara beruntun meskipun tidak menerapkan prinsip Strict Liability. Penuntutan beruntun dapat dilaksanakan oleh konsumen kepada pengecer, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen dan oleh agen kepada pelaku usaha. Strict Liability diterapkan disini dengan maksud untuk menghilangkan proses panjang itu.

 

Solusi & Penutup

Iklan “sampah” yang membohongi konsumen, dengan menawarkan suatu produk yang tidak sesuai manfaat dan peruntukannya adalah suatu delik pidana, notabene penipuan .Untuk itu sepantasnya konsumen harus kritis dengan mengetahui hak dan kewajibannya sebagaimana diatur dalam UUPK. Selain itu pihak konsumen perlu didorong dan diedukasi untuk tidak takut menuntut ganti kerugian kepada pelaku usaha nakal. Kesadaran konsumen perlu ditumbuhkembangkan dalam menciptakan iklim konsumen cerdas.

 

*Penulis adalah Dosen STMIK & AMIK Logika Medan, Alumni FH-UMSU.