Hukum Hubungan Biologis Suami Isteri Sebagai Upaya Social Distancing
Mhd. Ansor Lubis, SH., MH.

Hukum Hubungan Biologis Suami Isteri Sebagai Upaya Social Distancing

Menghindari Pandemi Covid-19

Oleh; Mhd. Ansor Lubis, SH., MH.*

Ditengah pandemi Covid-19 ini banyak kejadian-kejadian di masyarakat yang mungkin dan patut untuk diperbincangkan serta dipertanyakan hukumnya, kejadian-kejadian yang tidak diduga bermunculan seperti akad nikah melalui video teleconference/WA, dilarang berhubungan badan suami-istri adalah salah satu contoh kecil yang muncul akibat Covid-19, ditambah dengan anjuran/himbauan kepala negara dengan melakukan Social Distancing, bekerja dari rumah, beribadah dari rumah, ini membutuhkan usaha dan kerja keras.

Selain itu, kebutuhan masyarakat juga harus dibutuhi oleh pemerintah apalagi saat sekarang ini pemerintah telah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang salah satunya dengan tujuan memutus matarantai penyebaran Covid-19, tetapi aturan yang dibuat oleh pemerintah juga harus tidak boleh bertentangan dengan hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor: 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 10, serta bagaimana mungkin juga kebutuhan biologis manusia juga harus di batasi? apakah ini tidak melanggar Konstitusi?

Padahal negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, menjamin hak atas anak atas keberlangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.

Kejadian tersebut menjadi keharusan bagi pemerintah dan ulama untuk menciptakan norma atau aturan hukum yang mengaturnya supaya tidak terjadi kekacauan di masyarakat dan tidak simpang siur antara pemerintah dengan rakyat di tengah covid-19 terus menambah jumlah orang terjangkit. Maka dengan demikian, peran pemerintah dan ulama ulama harus lebih tanggap, sigap dan cepat untuk mengeluarkan fatwa bagi masyarakat yang mebutuhkan dengan tujuan tidak lain supaya tercipta ketertiban dan ketentraman dimasyarakat.

Baru-baru ini terjadi pernikahan melalui Video Teleconference/WA terjadi di Kabupaten Kolaka dan di Lhokseumawe Aceh, kemudian muncul lagi statement ketua Tim penanganan Covid-19 dr. Slamet dan dr.Hj. Een Suryani dokter Rumah Sakit Garut untuk melakukan Sosial Distancing di rumah seperti tidak melakukan hubungan suami-istri. Tapi apakah ketika ini diberlakukan bukankah tidak bertentangan dengan hukum Islam yang mengharuskan suami istri untuk melakukan hubungan suami istri, apalagi orang yang baru melaksankan pernikahan? ataukah ini sebagai cara pemerintah untuk memutus matarantai penyebaran Covid-19, untuk menahan sementara keinginan tersebut, kalaulah seandainya ini terjadi apakah tidak menimbulkan Zina.

 

Hukum Melakukan Hubungan Suami-Istri

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Pernikahan pasal 1 Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka dengan itu kewajiban suami salah satunya adalah menggauli istri dengan baik, dan apabila ini dibatasi oleh pemerintah demi Covid-19 maka akan timbul perbuatan yang mengarah kepada zina dan dikhawatirkan merugikan diri sendiri dan orang lain bahkan akan dijauhi oleh keluarga.

Allah berfirman Surat Al-Baqarah ayat 223 berbunyi:

نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا۟ حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّكُم مُّلَٰقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُؤْمِنِينَ

Artinya : Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.

Maksud dari ayat diatas adalah Istri-istri kalian adalah tempat mengembangkan keturunan seperti tempat biji yang membuahkan tumbuhan. Maka, kalian boleh menggauli mereka dengan cara apa pun selama pada tempatnya. Takutlah kalian kepada Allah kalau melanggar ketentuan-Nya dalam menggauli istri. Ketahuilah bahwa kalian akan menjumpai-Nya, mempertanggungjwabkan segala sesuatu di hadapan-Nya. Kabar gembira hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang mengetahui ketentuan-ketentuan Allah dan tidak melanggarnya.

Jelas di dalam hukum Islam ketika suatu pernikahan sudah dilaksanakan maka si suami dan istri boleh melaksanakan kewajiban masing-masing sebagaimana yang sudah di syaratkan oleh agama dan apabila salah satu pihak menolak untuk melakukan hal tersebut maka malaikat sangat membencinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya: Apabila seorang laki-laki mengajak istrinya ke ranjangnya, lalu istri tidak mendatanginya, hingga dia (suaminya) bermalam dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi tiba.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jadi, apakah boleh melakukan hubungan suami-istri disaat wabah covid-19 mewabah?

Dilihat dari kondisi dan situasi saat ini, seorang suami atau istri perlu memperhatikan pasangannya masing-masing apakah sudah terinfeksi covid-19 ataukah tidak terinfeksi, maka apabila sudah ditemukan terjangkit maka disarankan untuk melakukan sosial distancing antara satu sama lain (suami-istri) didalam keluarga atau dilakukan isolasi keluarga, termasuk untuk tidak melakukan hubungan suami-istri.

Maka pasangan yang hidup serumah dan tidak menunjukkan gejala apapun boleh melakukan hubungan suami-istri tanpa ada larangan atau dibolehkan, larangankan untuk yang sudah terjangkit, ketika diabaikan himbauan pemerintah akan berakibat pada pasangan hidup dan bahkan juga sama keluarga dan bahkan tetangga-tetanga akan terjangkit karena, virus ini sifatnya menular melalui salaman tangan, bersin, kontak dengan benda yang sering disentuh dan lain, maka hubungan suami-istri dilarang untuk melakukannya.

 

Kaidah “adh-dharar yuzalu”

Kaidah “adh-dharar yuzalu” artinya segala yang membahayakan itu harus dihilangkan kaidah ini merujuk kepada kaidah “al-masyaqqah tajalibu at-taisir” mencakup harta, jiwa, dan lain-lain. Allah berfirman Q.S. Al-An’am: 119 berbunyi:

وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا۟ مِمَّا ذُكِرَ ٱسْمُ ٱللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا ٱضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا لَّيُضِلُّونَ بِأَهْوَآئِهِم بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُعْتَدِينَ

Artinya: Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal Sesungguhnya Allah Telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.

 

Allah berfirman Q.S. Al-Baqarah: 173

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحْمَ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيْرِ ٱللَّهِ ۖ فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Darurat secara bahasa bermakna keperluan yang sangat mendesak atau teramat dibutuhkan, sehingga apabila tidak dilakukannya akan mebahayakan jiwanya dan bisa juga membahayakan orang lain seperti timbulnya zina.

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam mendefinisakan darurat adalah sebagai uzur yang menyebabkan bolehnya melakukan suatu perkara. Adapun syarat  adh-dharar yuzalu” adalah: 

  1. darurat tersebut benar terjadi, tidak semata-mata praduga atau asumsi belaka
  2. tidak ada pilihan lain bisa menghilangkan mudrat tersebut
  3. kondisi darurat tersebut benar-benar memaksa untuk melakukannya
  4. keharaman yang dilakukan tidaklah menzhalimi orang lain
  5. tidak melakukannya dengan melewati batas

Pengecualiaan “adh-dharar yuzalu” seseorang dipaksa untuk murtad, membunuh orang lain, atau berzina maka tidak boleh melakukannya.

 

*Penulis adalah alumni UIN-SU Medan & Pascasarjana USU dibidang Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dan aktif sebagai Pemerhati Kebijakan Pemerintah.