Audit BPJS, Bukan Naikan Iuran
@ilustrasi

Audit BPJS, Bukan Naikan Iuran

Masalah BPJS sangat kompleks, Presiden harus buka hasil Audit BPKP pada BPJS

Kenaikan iuran BPJS berdasarkan Perpres No. 75 tahun 2019 yang akan dimulai per Januari 2020 tentu berdampak  bagi masyarakat. Ini terkait jaminan kesehatan, hak setiap warga negara dan menjadi tanggung jawab utama pemerintahlah untuk memenuhi urusan ini dengan sebaik baiknya.

Kalau dilihat motif kenaikan ini hanya sekedar kebijakan instant, kebijakan tambal sulam cendrung fokus hanya menutupi defisit  bukan pada mencari akar persoalan yang tuntas termasuk mendorong kualitas peningkatan pelayanan kesehatan serta membuat nyaman bagi semua stakeholder.

Presiden  Jokowi pada  September tahun lalu pernah perintahkan BPKP audit BPJS, mana follow up perintah ini? harus dijelaskan kondisi BPJS   terkait  tentang tata kelola dan laporan konkrit dari BPKP. Masalah lainnya secara kelembagaan BPJS diketahui dibawah komando Presiden, seharusnya Presiden dapat jelaskan ini secara detail karena Menteri Kesehatan tidak bisa masuk untuk atur regulasi BPJS. Inilah salah satu yang membuat kompleksnya  persoalan BPJS sehingga kebijakan jaminan kesehatan tidak terintegrasi, kurang  terukur dan menjadi jomplang kebijakan, berbeda visi  BPJS dengan visi kebijakan Kementerian Kesehatan.

Dualisme kebijakan ini selalu menjadi runcing dan ajang adu pintar baik dari BPJS dan Kemenkes karena dari sudut pandang yang beda, BPJS dari aspek ekonomi dan pembiayaan, Kementerian Kesehatan dari ilmu medis (terselenggaranya pelayanan kesehatan) sehingga kedua lembaga ini cendrung tidak pernah akur dalam operasional kebijakannya.

Padahal  harus diketahui  beberapa waktu tahun lalu pada saat JAMKESMAS dikelola dibawah Kementrian kesehatan pada kenyataannya dilapangan justru minim masalah.

Selanjutnya diduga dampak dan  beban  kenaikan iuran ini  pasti akan direspon peserta dengan  penurunan kelas  termasuk akan berpotensi pemogokan bayar iuran yang lebih signifikan.

Karenanya  pemerintah harus ambil langkah cepat, cerdas, karena perspektif ekonomi dan kesehatan tidaklah mudah ditemukan solusinya maka harus terlebih dahulu  bersihkan lembaganya, persoalan tata kelola BPJS,  keterbukaan BPJS,  melakukan evaluasi menyeluruh dan audit terhadap kedudukan kebijakan lembaga BPJS sebagai penyelenggara, sisir total mulai regulasi pelayanan pada fasilitas tingkat pertama hingga rujukan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas iuran yang dihimpun dari masyarakat, maupun dari APBN dan APBD bagi PBI.

Selain itu pula dapat dijadikan catatan bersama pada 27 Agustus 2019 dalam rapat bersama di DPR  bahwa pemerintah  dan DPR dalam hal ini Komisi IX dan XI menolak kenaikan iuran BPJS, namun kini malah dinaikkan, ada yang aneh dan tidak nyambung disini, seolah ada kesepakatan fakta  yang dihilangkan,  sehingga Perpres 75 tahun 2019 ini unik, terlalu memaksakan dan kurang berjiwa Pancasila, semestinya setiap perubahan regulasi membuat rakyat lebih nyaman, tenaga kesehatan, stakeholder nyaman bukan semakin resah.

Saatnya Presiden perintahkan agar bersih bersih dulu BPJS, kok BPJS rugi terus sejak lama, ajak duduk bareng semua stakeholder terkait, dengarkan semua hambatan  agar diketahui secara objektif dan cabut berbagai regulasi yang kurang tepat, tidak efektif dan tidak efisien termasuk  kebijakan yang kurang pas termasuk  penyelewengan dari tujuan didirikannya BPJS, jika ada kebijakan yang melenceng maka sudah sepantasnya BPJS dipertanyakan? BPJS layak dipertahankan atau dibubarkan saja? Atau  mengganti layanan kesehatan  lainnya dengan yang dirasa  jauh lebih efektif dalam penyelenggaraan dan lebih efisien dalam penggunaan anggaran termasuk dalam hal komando kelembagaan BPJS masih patutkah dibawah Presiden atau cukup pada jajaran di Kementerian Kesehatan?

Ini yang mesti dilakukan pemerintah bukan buru buru dengan cara menaikkan tarif iuran, namun temukan dulu apakah fungsi dan kedudukan BPJS ini masih  layak dipertahankan sebagai penyelenggara kesehatan karena BPJS laporannya defisit terus, rumah sakit ditunda pembayaran, disuruh ngutang ke bank, obat yang terbatas, fungsi verifikator yang melebihi kewenangan dalam tindakan  medis,  bahkan cendrung SOP yang tidak standard, kebijakan dan kerja kerja BPJS yang begini ini sudah menyeleweng dari tujuan dibentuknya jaminan sosial .

Karenanya mengingatkan pada Presiden agar lebih hati hati dan bijak serta menunda pemberlakuan Perpres No. 75 Tahun 2019 sepanjang terkait Kenaikan Iuran BPJS sampai diketahui efektifitas fungsi tata kelola dan kedudukan BPJS.

Oleh: Azmi Syahputra, Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia. (ALPHA).