Apakah Anak Angkat Berhak Atas Harta Warisan Orang Tua Angkatnya?
@ilustrasi

Apakah Anak Angkat Berhak Atas Harta Warisan Orang Tua Angkatnya?

Litigasi - Pembahasan kali ini tentang hak waris anak angkat bagi yang beragama Islam, dalam hal ini tunduk kepada ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan peraturan perundang-undangan yang terkait.

Pembagian waris sering menimbulkan konflik di kalangan ahli waris disebabkan adanya perbedaan pendapat ataupun pendapatan (porsi). Kebanyakan ahli waris tidak memahami porsi yang telah ditentukan oleh syariat Islam yang kemudian diatur di dalam KHI. Sebenarnya semua telah jelas mengatur jumlah porsi masing-masing ahli waris, jadi tidak perlu diperdebatkan lagi.

ads

Terlebih jika dikalangan ahli waris terdapat anak angkat, terkadang ini memunculkan koflik. Terkadang anak angkat disingkirkan dan haknya dinafikan oleh ahli waris lainnya. Bagaimana sebenarnya kedudukan anak angkat itu?

Merujuk kepada ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah dilakukan beberapa kali perubahan, terakhir dirubah dengan UU No. 17 tahun 2016 (selanjutnya disebut UU Perlindungan anak), didefiniskan bahwa “Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.”

Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menegaskan bahwa; “Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.”

Dari definisi tersebut menegaskan bahwa pengangkatan anak didasarkan kepada putusan atau penetapan pengadilan. Dalam hal ini yang berwenang adalah pengadilan agama bagi yang beragama Islam. Hal ini sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dimana salah satu kewenangan Pengadilan Agama adalah mengadili bidang Perkawinan. Dalam Penjelasan Pasal itu, hal-hal yang berkaitan dengan Perkawinan salah satunya adalah “penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.” Jadi final dalam penetapan anak berdasarkan hukum islam menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama.

ads

Dalam hal ini, penetapan atau putusan pengadilan menjadi dasar pengangkatan anak. Namun di tengah-tengah masyarakat banyak yang tidak mengajukannya kepada pengadilan. Bagaimana setatus anak itu? Ini menjadi perdebatan diantara ahli waris akan keabsahannya, terutama ketika akan dilakukannya pembagian waris. Jika perdebatan itu sampai ke pengadilan maka perlu pembuktian dengan saksi-saksi, bukti surat dan bukti lainnya. Majelis hakim juga akan menilai dan menggali fakta keseharian selama ini, jika senyatanya anak itu hidup dan dibesarkan dengan orang tua angkatnya maka Majelis hakim cenderung akan memutus keberadaan anak angkat dimaksud sah adanya. Namun demkian sangat disarankan bagi orang tua angkat untuk mengajukan penetapan pengangkatan anak dimaksud ke pengadilan agar tidak terjadi konflik di kemudian hari.

Sedangkan hak waris bagi anak angkat dari orang tua angkatnya adalah didasarkan pada wasiat. Dimana orang tua angkat dapat menuliskan wasiat sebelum meninggal untuk membagikan harta warisannya kepada anak angkatnya sebanyak-banyaknya sebesar 1/3 dari hartanya. Namun apabila orang tua angkatnya tidak menuliskan wasiat tentang hak waris anak angkatnya maka berlaku baginya “wasiat wajibah”, yakni tetap saja hak warisnya diakui dan tidak bisa diabaikan sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta. Dalam hal ini KHI melindungi dan mengakui porsi waris yang menjadi haknya. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 209 ayat (2) KHI ditegaskan, bahwa: “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.”

Jadi sudah jelas porsinya. Demikian pula orang tua angkat memiliki hak waris dari anak angkatnya. Disini berlaku hubungan timbal balik antara keduannya, dimana keduanya telah ditetapkan porsi warisnya oleh peraturan perundang-undangan dalam hal ini KHI, yakni sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta. Porsi itu dapat dilakukan dengan didasarkan wasiat dari anak angkatnya ataupun tanpa wasiat. Jika tidak ada wasiat maka berlaku “wasiat wajibah” yakni baginya tetap berhak mendapat harta warisan dari anak angkatnya sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta, KHI telah melindunginya sehingga tidak dapat dinafikan begitu saja. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 209 ayat (1) KHI yang menegaskan; “Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.”

ads

Timbul pertanyaan lagi, bagaimana jika wasiat melebihi dari 1/3 harta si pewaris? Hal ini ada dua kemungkinan, jika disetujui oleh semua ahli waris maka wasiat itu dapat dijalankan, namun apabila tidak diseutujui oleh semua ahli waris maka yang dilaksanakan hanya sampai 1/3 harta warisan. Hal itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 195 ayat (2) KHI yang menyatakan; “Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui. Dan ketentuan Pasal 201 KHI yang menyatakan “Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.” Kedua pasal itu dapat menjadi pedoman.

Ketentuan di atas harus dipatuhi oleh seluruh ahli waris sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apa yang dimaksud dengan wasiat itu? Dalam Pasal 171 huruf f menegaskan bawah “Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.” Jadi wasiat berlaku atau dijalankan setelah pewaris meninggal dunia, terutama berkaitan tentang harta peninggalan si pewaris. (Red)