Politik Hukum Pemerintah dalam Penanganan Covid-19
Mhd. Ansor Lubis, SH.,MH

Politik Hukum Pemerintah dalam Penanganan Covid-19

Oleh; Mhd. Ansor Lubis, SH., MH.*

Lex Rejciit Superflua, Pugnantia Incogrua”. “Hukum menolak yang bertentangan dan tidak perlu”. Dalam hukum politik, kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menangani dan mencegah penyebaran Covid-19 telah banyak dilakukan yaitu dengan membuat regulasi-regulasi berupa intrumen hukum sebagai solusi praktis terhadap permasalahan nasional, perkembangan isu hukum ditengah pandemi, hingga pasal-pasal yang kontroversial yang dikeluarkan pemerintah.

Instrumen yang digunakan oleh pemerintah berupa regulasi yang berbentuk Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, hingga pembuatan undang-undang, sehingga pemerintah dalam membuat kebijakan tersebut dinilai tepat dan tegas dalam menyelesaikan permasalahan covid-19, kebijakan tersebut perlu diapresiasi oleh rakyat sebagai bentuk rasa terimakasih kepada pemerintah dalam menangi Covid-19 kebijakan tersebut dilakukan oleh pemerintah dengan upaya mitigasi, minimalisasi dan pencegahan pada saat yang tepat, tetapi realitanya tidak seindah dengan kenyataan yang dihadapi saat ini.

Bagaimana tidak? upaya yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan regulasi berupa Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Bersekala Besar; Keputusan Presiden (Kepres) No. 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; dan Peraturan pengganti Perundang-Undangan (Perppu) No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coovid-19 dan dalam Rangka Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Maka dapat dilihat bahwa politik hukum yang dilakukan pemerintah terhadap penanganan Covid-19 ini terdapat 3 (masalah) yang kemudian menjadi isu pokok di masyarakat yaitu: Pertama; Pemerintah pusat telat mengeluarkan kebijakan berupa instrumen hukum pemerintahan pusat, hal ini dibuktikan setelah sekian bulan merebaknya covid-19 baru pemerintahan pusat membuat kebijakan dengan mengeluarkan Perppu, PP, dan Kepres dan hal itu pemerintahan pusat laksanakan pada tanggal 31 Maret padahal diduga kejadian sudah mulai akhir Desember 2019 yang lalu.

Tetapi justru kalau dibandingan dengan pemerintahan pusat denngan daerah maka kasiapsiagaan pemerintah daerah lebih cepat tanggap dibandingkan dengan pemerintah pusat. misalnya, Gubernur DIY Sutan Hamengkubuono IX melalui Surat Keputusan telah menetapkan status tanggap darurat wabah pada tanggal 20 Maret 2020 seminggu sebelum keluarnya Keputusan Presiden; kemudian Gubernur DKI Jakarta Anis Baswedan telah mengeluarkan seruan berisi Penghentian Sementara Kegiatan Perkantoran pada tanggal 23 Maret 2020.

Padahal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 12 ayat (1) berbunyi: ”Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: a. pendidikan; b. kesehatan; c. pekerjaan umum dan penataan ruang; d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman; e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan f. sosial.

Dengan demikian jelas norma yang mengaturnya bahwa Pemerintahan Pusatlah yang memiliki tanggung jawab dalam mengatasi urusan kesehatan sebagai urusan yang wajib.   

Tetapi tidak kalah pentingnya yang menjadi pertanyaan dikalangan masyarakat adalah lambatnya pemerintahan pusat mengeluarkan produk hukum tentang Pedoman PSBB  atau PP No. 21/2020 padahal, kalau dilihat faktanya di lapangan undang-undang ini sudah dibuat tahun lalu, “mengapa baru dibuat sekarang”  hal ini dapat dilihat dalam pasal 96 ayat (1) UU Karantina Kesehatan berbunyi: Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini di undangkan”. Sesuai dengan Ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jo Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019.

Kedua , regulasi yang di keluarkan pemerintah terdapat ketidakpastian hukum, padahal kalau dilihat dari perkembangan yang ada  bahwa pada awal maret sempat muncul kedaruratan wilayah dan darurat sipil, maka dalam hal ini pemerintah gagap dalam mengeluarkan kebijakan yang strategis dalam menangani dan mencegah pandemi covid-19, hal ini terbukti bahwa pemerintah tidak melaksanakan regulasi berupa Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan malahan pemerintah membuat masyarakat ramai dengan isi wacana penggunakan Perppu Nomor 5 tahun 1989.

Ketiga, pemerintah sibuk membahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan RKHUP dimana dalam pasal-pasal tersebut banyak menuai kontroversial dikalangan masyarakat dalam instrument hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Padahal kalau dilihat pemerintah lebih condong membahas RUU Cipta Kerja dan RKUHP ketimbang dengan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 yang semakin meluas di Indonesia terutama di daerah Jawa dan sekitarnya, dan pemerintah juga kurang memperhatikan hidup orang banyak sebab, kesehatan adalah salah satu hak konstitusi yang diakui dan dilindung oleh negara untuk menjamin keberlangsungan hidup dan kehidupan di dalam bermasyarakat sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945.

 

*Penulis adalah alumni Pascasarjana USU dibidang Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dan aktif sebagai Pemerhati Kebijakan Pemerintah, Serta Dosen Program Studi Ilmu Hukum UIN SU Medan dan aktif pada Law Firm Bambang Santoso & Partner.