Polemik Omnibus Law RUU Cilaka
Arfan Adha, SH., MH.

Polemik Omnibus Law RUU Cilaka

Oleh; Arfan Adha Lubis, SH., MH.*

Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka), digadang-gadang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperluas lapangan kerja serta menunjang iklim investasi, disisi lain dapat menimbulkan petaka bagi Umat Islam, jika orientasi Omnibus Law RUU Cilaka  hanya kepada kepentingan pengusaha agar semudah mungkin menanamkan investasinya, tetapi disisi lain menabrak hak-hak esensi Umat Islam seperti produk makanaan dan minuman yang harus wajib mencantumkan sertifikat produk halal sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang berbunyi ”Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”.

Draft  Omnibus Law RUU Cilaka disebut-sebut akan menghapus kewajiban Sertifikat Halal dan Perda Syariah (Tajuk Rencana Waspada, 23/1/2020). Inilah memicu penolakan sejumlah elemen Umat Islam. Hal ini terlihat dari protes Sekjen MUI Pusat Anwar Abbas. Beliau mengatakan RUU Omnibus Law yang bertujuan memudahkan investasi jangan bertentangan dengan Pancasila, terutama Sila I Ketuhanan Yang Maha Esa. Didalam Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Maka Omnibus Law yang berupaya memudahkan investasi bagi pengusaha juga harus sejalan dengan konstitusi dan realitas masyarakat yang agamais. Jadi, apa saja yang dilakukan dan kebijakan apa saja yang dibuat, apakah itu dalam bidang politik dan atau ekonomi tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama, demikian penegasan Buya Anwar Abbas, di Gedung MUI Pusat, Jakarta (Tajuk Rencana Waspada, 23/1/2020).

Penolakan terhadap Omnibus Law Penghapusan Sertifikat Halal juga datang dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dikutip dari okezone.com, PPP menolak draft Omnibus Law RUU Cilaka, dalam hal tentang penghapusan sertifikat produk halal dan Perda Syariah (okezone.com). Hal ini sebagaimana diungkapkan Wasekjen PPP Achmad Baidowi yang mengatakan Indonesia bukan negara agama tapi negara berdasarkan Pancasila. Sila Pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurutnya, hal itu diartikan rakyat Indonesia beragama “Yang perlu ditekankan, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Sudah sepatutnya jika dalam amaliyahnya mengikuti ajaran agama, diantaranya, terkait dengan penggunaan produk halal katanya”, (0kezone.com).

 Sejatinya Umat Islam di republik ini, mengharapkan Indonesia menjadi negara “Baldatun Toyyibatun Wa Rabbun Ghafur”, negara yang makmur, berkemajuan, berdaulat dibidang ekonomi. Agar Indonesia tercinta tidak didikte negara lain, plus tidak terjebak penyakit pluralisme ekonomi, baik sistem ekonomi liberal, komunis, dan sosialis. Sebab sejatinya, suatu negara apabila ekonominya sudah dikuasai negara lain, maka pada hakikatnya negara itu sudah dijajah.

Untuk itu Islam menganjurkan umatnya menguasai berbagai aspek kehidupan. Sebab sejatinya Islam agama progress atau berkemajuan. Untuk itu, perlu kecerdasan, kekritisan Umat Islam menghilangkan tendensi selama ini, yakni da kulla umariddunya lil qaisar wa fawwiddh kulla umuril akhirah lil baba (biarlah kami mengatur urusan akhirat dan mereka untuk urusan dunia). Padahal Islam adalah risalah untuk dunia dan akhirat (Suhrawardi K. Lubis, 2000;viii).

Untuk itu iklim investasi memang perlu didorong, salah satunya memberikan sejumlah kemudahan kepada  investor dengan memangkas birokrasi. Silakan membuat regulasi mempermudah investor untuk semudah mungkin menanamkan investasinya ke Indonesia. Tapi dengan catatan regulasi diambil tetap berlandaskan nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai Pancasila. Sehingga regulasi tersebut, tetap mengandung unsur aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis. Sehingga manfaat UU yang akan diberlakukan tersebut dirasakan masyarakat banyak kehadirannya, dan bukan malah sebaliknya menimbulkan polemik dan mengundang kontraversi, yang akhirnya akan menimbulkan pergesekan antara Umat Islam dengan pemerintah, yang notabene tentu itu tidak kita harapkan, dan dapat memecah NKRI sebagai harga mati yang kita sepakati bersama.

Tolong tetap perhatikan hak-hak esensi Umat Islam, seperti sertifikasi halal yang harus wajib ada pada setiap produk makanan dan minuman. Dan tolong jangan menghapus Perda Syariah sebagaimana disebut-sebut, draft Omnibus Law RUU Cilaka bakal menghapus kewajiban Sertifikat Produk Halal dan Perda Syariah yang selama ini  menjadi pegangan buat Umat Islam (Tajuk Rencana Waspada,23/1/2020). Notabene Perda Syariah sudah berlaku di Aceh berdasarkan UU No.18 Tahun 2011 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang kemudian diganti dengan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Hal ini pula kita khawatirkan akan menimbulkan pergesekan-pergesekan, yang tentu akan sangat tidak baik, di tengah negara ini berbenah mengejar segala ketertinggalannya dan menuju bangsa yang berkemajuan sekaligus yang berkeadaban.

Untuk itu kita harapkan dan kita percaya, Pemerintah dalam hal ini Kemenko Perekonomian sebagai pemimpin pembahasan RUU Cilaka plus semua pihak terlibat pembahasan draft Omnibus Law RUU Cilaka akan tetap mengedepankan nilai-nilai agama dan memperhatikan hak-hak esensial Umat Islam.

Poin pentingnya Kata Tajuk Rencana Waspada, pencatuman sertifikasi halal wajib harus ada, dan tidak boleh bersifat pelengkap. Dalam artian tidak imperatif bagi pengusaha untuk mencantumkan sertifikasi halal tersebut.

 

Omnibus Law RUU Cilaka

Dikutip dari hukum online.com, pengertian omnibus law atau omnibus bill adalah sebuah undang-undang mengatur dan mencakup berbagai jenis materi muatan yang berbeda-beda. Keberadaannya mengamendemen beberapa undang-undang sekaligus. Manfaat Omnibus Law salah satunya, digunakan sebagai penyeragaman kebijakan pusat dan daerah dalam menunjang iklim investasi. Berkenaan dengan hal ini Omnibus Law dapat dijadikan cara singkat sebagai solusi peraturan perundang-undangan yang saling berbenturan, baik secara vertikal maupun horizontal (Hukumonline.com).

Jamaknya peraturan perundang-undangan di Indonesia, mungkin mencapai bilangan ratusan, berimplikasi tumpang-tindih, saling kontradiksi antara satu UU dengan UU lainnya. Disisi lain Pemerintah bermaksud memangkas birokrasi, untuk memudahkan pengusaha menanamkan investasi sekaligus membuka peluang lapangan kerja baru. Ada tiga RUU Omnibus Law diajukan pemerintah kepada DPR. RUU Omnibus Law mencakup revisi 79 UU terdiri dari 1.244 pasal. Pasal direvisi bakal memangkas hal selama ini menghambat masuknya investasi ke Indonesia.

Untuk itu kita harapkan sekali lagi regulasi dalam mengundang invesor dinegara in sejalan dan tetap berlandaskan nilai-nilai keagamaan dan Pancasila, sehingga tidak menimbulkan polemik plus kontraversi ditengah-tengah masyarakat. Dan kepada Umat Islam tentunya kita harap bersikap kritis, dengan tetap megedepankan akal sehat, dalam mengawal Omnibus Law RUU Cilaka. Agar tidak menimbulkan implikasi, bak kata Tajuk Rencana Waspada, akan menjadi kiamat bagi Umat Islam disebabkan Omnibus Law lebih berorientasi kepentingan pengusaha. Dengan tujuan pengusaha semudah mungkin menanamkan investasinya, tetapi disisi lain menabrak hak-hak Umat Islam, notabene 90 % direpublik ini. Semoga saja tidak.!!!

 

*Penulis adalah Dosen FH-UMSU 2002-2007, Alumni FH-UMSU & PMIH UMS