Polemik Divestasi Saham Freeport

Polemik Divestasi Saham Freeport

Istilah divestasi berasal dari terjemahan Bahasa Inggris, yaitu divestment. Pengertian divestasi ditemukan dalam Pasal 1 angka 13 Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan No. 183/PM.05/2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Divestasi terhadap Investasi Pemerintah. Divestasi adalah Penjualan surat berharga dan/atau kepemilikan pemerintah baik sebagian atau keseluruhan kepada pihak lain. Divestasi saham pada dasarnya merupakan pelepasan, pembebasan dan pengurangan modal terhadap perusahaan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh investor asing secara bertahap dengan mengalihkan saham tersebut kepada mitra lokal. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa divestasi saham adalah pengalihan dari pihak asing ke pihak nasional.

Divestasi merupakan salah satu syarat yang diajukan Pemerintah kepada PT. Freeport Indonesia (PTFI) jika perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu ingin tetap mengelola Tambang Grasberg di Papua. Pada tahun 2017, saham PTFI sebesar 90,64% dimiliki oleh freeport McMoran Inc dan 9,36% dimilki oleh pemerintah Indonesia. Sedangkan permintaan  Pemerintah sendiri yaitu ingin menguasai 51% saham dengan upaya membelinya melalui PT. Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Persero.

 

Penting:

Holding Company Apa Itu?

Tipe Swakelola Pengadaan Barang Jasa

Larang Pekerja Memilih Di Pemilu, Majikan Diancam 6 Tahun Penjara

Bagaimana Penyelesaian Saham Minoritas Yang Tidak Setuju Merger

Cara Peralihan Saham Perseroan Terbatas

 

Dasar hukum Kontrak Karya (KK) yang dijalankan oleh PTFI  dengan Pemerintah  waktu itu yaitu tercantum dalam Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1976 tentang Penanaman Modal Asing, Disebutkan bahwa penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan Pemerintah atas dasar Kontrak Karya atau bentuk lain sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. KK yang ditandatangani PTFI pada tahun 1991 sudah mewajibkan divestasi 51% saham kepada Indonesia. Dimana dalam Pasal 24 KK tahun 1991 menyebutkan bahwa:

Kewajiban divestasi Freeport terdiri dari 2 (dua) tahap. Tahap pertama adalah melepas saham ke pihak nasional sebesar  9,36% dalam 10 tahun pertama sejak 1991. Kemudian divestasi tahap Kedua mulai tahun 2001. Freeport harus melego sahamnya sebesar 2% per tahun hingga kepemilikan nasional menjadi 51%

Artinya, 51% saham PTFI harusnya sudah berada di tangan Pemerintah, BUMN, BUMD atau swasta nasional sejak 2011. Tetapi PTFI tak merasa berkewajiban melakukan hal itu disebabkan oleh PP No. 20 Tahun 1994, PP ini mengijinkan kepemilikan 100% oleh Penanaman Modal Asing (PMA) sehingga PTFI tidak merasa lagi berkewajiban melepas 51% sahamnya.

Namun setelah keluarnya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba), Pemerintah menginginkan KK disesuaikan dengan ketentuan UU Minerba, tidak boleh bertentangan. Dasarnya adalah Pasal 169 b yang menyatakan bahwa:

Ketentuan yang tercantum dalam pasal Kontrak Karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan  negara.

Namun PTFI tetap bersikukuh terhadap KK yang sudah disepakati oleh Pemerintah, dengan dasar  UU Minerba Pasal 169 a yang menyatakan:

Kontrak Karya dan Perjanjian Karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.

Hal ini yang membuat tarik ulur polemik divestasi saham antara PTFI dengan Pemerintah semakin sulit untuk menemukan kesepakatan. Namun pihak Pemerintah sampai saat ini terus melakukan upaya untuk bisa mencapai kesepakatan dengan PTFI. Pemerintah mengeluarkan PP No. 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dimana tercantum dalam Pasal 97 ayat (2) menyatakan:

Tahapan divestasi yakni, tahun keenam 20% (dua puluh persen), tahun ketujuh 30% (tiga puluh persen), tahun kedelapan 37% (tiga puluh tujuh persen), tahun kesembilan 44% (empat puluh empat persen), tahun kesepuluh 51% (lima puluh satu persen) dari jumlah seluruh saham.

Langkah Pemerintah Indonesia untuk bisa menguasai tambang emas Freeport secara perlahan membuahkan hasil, meskipun membutuhkan waktu yang tidak singkat.  Pada Tanggal 12 Juli 2018 dilakukan penandatangan pokok-pokok kesepakatan divestasi atau Head of Agreement (HoA) antara PT. Freeport Indonesia dengan PT. Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Persero yang merupakan holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor Tambang dan Freeport McMoran Inc.

Klaim Pemerintah menguasai 51% saham Freeport sebagai perwujudan UUD 1945 yang mengamanahkan pengelolaan sektor pertambangan, termaktub di dalam Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menyatakan:

(2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
(3) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan demikian sudah sepantasnya Pemerintah menguasai Saham Freeport yang merupakan cita-cita UUD 1945. Kedepannya Pemerintah harus lebih serius mengelola Sumber Daya Alam bumi pertiwi secara optimal, totalitas dan berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatnya.