Pilihan Hukum Dan Forum Dalam Praktik Litigasi Internasional

Pilihan Hukum Dan Forum Dalam Praktik Litigasi Internasional

Penulis - Tengku Rizq Frisky Syahbana*

Kondisi sistem perekonomian telah mengarah pada liberalisasi perdagangan, batas-batas negara sudah menjadi semakin tidak jelas. Liberalisasi di bidang perdagangan pada sebagian besar negara di dunia dianggap sebagai kesempatan untuk meningkatkan pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dari negara tersebut, sedangkan usaha yang dilakukan tentunya dengan berbagai cara yang berbeda.Perdagangan yangbersifat internasional (lintas negara) dianggap mampu meningkatkanpembangunan perekonomian suatu negara, dan hal ini merupakan konsekuensi dari semakin berkembangnyaperdagangan internasional yang dilakukan negara-negara yangberbeda. Oleh sebab itu diperlukan instrumen hukum dalam melakukan kerjasama (perdagangan internasional). Instrumen yang dimaksud adalah melalui penyusunan kontrak perdagangan internasional atau disebut juga dengan kontrak bisnis internasional. Kontrak perdagangan internasional disusun berdasarkan kesepakatan antara para pihak dan tentunya harus dapat menjadi acuan bagi para pihak dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya.

Liberalisasi menunjukkan bahwa interaksi masyarakat pada masa sekarang tidak hanya berlangsung dalam lingkup nasional suatu negara, tetapi melibatkan manusia dalam interaksi yang telah melampaui batas territorial nasional negara. Sebagai konsekuensi logis dari keadaan ini, muncul beragam sengketa komersial yang semakin sulit dihindari, dan oleh sebab itu peran pengadilan nasional sebagai salah satu lembaga tempat penyelesaian sengketa semakin mendapat pembanding.

ads

Kompetensi pengadilan nasional dapat saja bergeser atau digeserkan oleh kompetensi forum yang ditunjuk sebagai lembaga penyelesaian sengketa oleh para pihak. Forum dimaksud dapat berupa institusi (terlembaga) atau berupa forum ad hoc. Biasanya forum ini hadir karena dipilih oleh para pihak agar sengketa diselesaikan lewat forum yang telah disepakati atau dapat juga forum ini hadir karena ditetapkan oleh undang-undang yang berlaku dalam suatu negara, tetapi dapat terjadi bahwa walaupun kontrak telah dibuat dengan sebaik mungkin, sewaktu diimplementasikan ternyata ada berbagai hambatan atau kendala yang menyebabkan isi kontrak tidak dapat dilaksanakan. Hambatan atau kendala tersebut pada kondisi tertentu terjadi karena adanya beberapa faktor, yang antara lain disebabkan oleh:

1.    para pihak tidak memiliki pemahaman yang sama, sehingga mengakibatkan salah satu pihak memaksakan kehendaknya kepada pihak lain;

2.    para pihak berasal dari dua atau beberapa negara yang berbeda, sehingga mengakibatkan pola pikir para pihak berbeda dan menyebabkan perbedaan penafsiran mengenai isi kontrak yang pada akhirnya mengakibatkan pelaksanaan yang berbeda pula; atau

3.    perbedaan sistem hukum negara dari masing-masing pihak yang mengadakan kontrak, sehingga isi kontrak tidak dapat dijalankan akibat adanya pembatasan menurut hukum negara salah satu pihak.

Pada beberapa kasus setelah pembuatan kontrak, muncul permasalahan yuridis, yang biasanya sudah ada sejak para pihak mulai melakukan negosiasi sampai tercapainya kesepakatan kontrak, kemudian berlanjut pada pelaksanaan penyerahan benda (objek) kontrak, peralihan risiko atas benda dan/atau hak milik atas benda yang menjadi objek kontrak, metode dan tata cara pembayaran yang paling aman bagi penjual, serta masalah cidera janji dan ganti rugi sebagai akibat tidak dilaksanakannya kesepakatan yang sudah dicapai.

Hambatan atau kendala tersebut dapat menyebabkan terjadinya sengketa, terutama karena adanya pelanggaran atas substansi kontrak perdagangan internasional (breach of contract). Sengketa yang terjadi karena adanya pelanggaran terhadap substansi kontrak, tentunya harus diselesaikan oleh para pihak, baik melalui pengadilan atau pilihan penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan.

Dalam praktik penyelesaian sengketa perdagangan internasional sering muncul permasalahan tentang hukum negara yang akan dipakai apabila terjadi suatu perselisihan. Jawaban atas persoalan ini adalah terletak pada persetujuan para pihak yang bersangkutan yang termuat dalam kontrak saat mereka sepakat memuat klausula tentang hukum negara yang akan dipakai (Anwar, 1999: 93). Apabila para pihak menunjuk arbitrase pada negara tertentu, ini berarti bahwa pengadilan negara tersebut yang memiliki yurisdiksi dalam menangani perkara. Implikasi lainnya adalah bahwa para pihak juga menginginkan hukum dari negara tersebut yang akan dipakai sebagai hukum yang menguasai kontrak. Sebaliknya dapat pula terjadi bahwa para pihak tidak secara jelas menyatakan kehendaknya tentang hukum negara yang akan dipakai dalam kontrak tersebut apabila terjadi sengketa.

ads

Adanya bukti keinginan para pihak ditunjukkan oleh pengadilan yang merujuk kepada kontrak itu sendiri dan situasi yang menguasai atau mempengaruhi proses pembuatan kontrak itu sendiri (Anwar, 1999: 93), dengan kata lain bahwa hukum yang umum berlaku bagi suatu kontrak adalah sistem hukum yang menunjukkan atas dasar hukum yang disebut dalam kontrak atau transaksinya sangat terkait dengan sistem hukum tersebut.

Kontrak dagang internasional mengandung unsur/elemen asing, oleh sebab itu harus mengacu pada berbagai peraturan, baik yang berlaku dalam tataran nasional maupun internasional. Dalam hal penyelesaian sengketa kontrak dagang yang bersifat internasional di Indonesia, maka haruslah diperhatikan pilihan hukum yang disepakati para pihak dalam kontrak atau pilihan yurisdiksi melalui pengadilan/arbitrase, yang tentunya tidak bertentangan dengan hukum nasional dari negara yang bersangkutan, dan menurut Gautama(1992: 3), dikatakan bahwa hak dan kewajiban para pihak yang menjadi dasar penyelesaian sengketa mereka dalam conflict of law diistilahkan sebagai choice of law dan ada pula yang mempergunakan party autonomy. Istilah choice of law lebih pasti pengertiannya dari pada party autonomy.

Istilah party autonomy sering dipahami secara keliru (misleidend) dalam hukum bisnis internasional,sehingga menimbulkan pemikiran ke arah yang sebenarnya tidak dicakup oleh istilah tersebut. Istilah autonomy (otonom) mengandung pengertian menentukan sendiri hukum yang harus berlaku bagi mereka (Abdullah, 2005: 3). Choice of law (pilihan hukum) dalam hukum perjanjian adalah kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan dalam perjanjian (Subekti, 1987: 11).

Secara hukum para pihak tidak mempunyai kemampuan untuk membuat sendiri undang-undang bagi mereka. Tidak ada kewenangan untuk menciptakan hukum bagi para pihak yang berkontrak, tetapihanya diberikan kebebasan untuk memilih hukum mana yang dikehendaki untuk diterapkan bagi kontrak yang dibuat dan tidak diberikan kewenangan untuk secara otonom menentukan sendiri hukum yang harus berlaku bagi mereka (Abdullah, 2005: 3).

Pelaksanaan choice of law dalam conflict of law memberikan hak kepada para pihak untuk menentukan hukum yang berlaku bagi bisnisnya. Hakim negara-negara di dunia menghormati pilihan hukum para pihak, tetapiada pembatasan melalui penerapan asas ketertiban umum, misalnya berdasarkan undang-undang nasional dari negara yang bersangkutan. Apabila hukum yang dipilih tidak mempunyai hubungan yang substantif dengan transaksi dan tidak memiliki alasan yang cukup bagi pilihan hukum para pihak, maka hakim akan menentukan hukum mana yang berlaku. Hukum negara hakim yang mengadili dapat menjadi dasar penyelesaiannya apabila hukum yang dipilih para pihak tidak dapat diterapkan dalam sengketa yang terjadi (Abdullah, 2005: 12).

Lazimnya dalam kontrak dagang internasional ada disebutkan tentang cara penyelesaian sengketa yang terjadi, termasuk tentang pilihan pengadilan atau lembaga lain yang akan menyelesaikan sengketa dan hukum negara yang digunakan dalam penyelesaian sengketa. Apabila dalam isi kontrak tidak ada diatur tentang pilihan pengadilan ataupun pilihan hukum yang digunakan untuk menyelesaikan kontrak, maka perlu adanya telaah/kajian dari aspek hukum perdata internasional.

Dalam litigasi transnasional, asas actor sequitur forum rei (tempat tergugat berada menentukan tempat pengadilan) umumnya digunakan untuk menetapkan yurisdiksi pengadilan dalam perkara lokal, ternyata tidak selalu dapat digunakan secara efektif, karena connection dalam perkara hukum perdata internasional sering dibentuk melalui titik taut lain, seperti pelaksanaan kontrak atau tempat terjadinya peristiwa hukum.

Kontrak dagang internasional selalu dipertautkan oleh lebih dari satu sistem hukum. Apabila para pihak dalam kontrak dagang internasional tidak mengatur secara spesifik hukum mana atau yurisdiksi (forum/pengadilan) mana yang dipergunakan dalam mengadili/memeriksa perselisihan, maka akan terjadi persoalan-persoalan yang bersumber dari conflict of law. Untuk mengindari persoalan conflict of law tersebut, kepada para pihak dalam kontrak yang bersangkutan diperkenankan untuk melakukan pilihan hukum dan pilihan forum.

Pilihan hukum dan pilihan forum adalah dua hal yang berbeda. Kedua terminologi tersebut selalu dicampuradukkan atau bahkan disamakan. Pilihan hukum berkenaan dengan hukum mana yang berlaku untuk suatu perjanjian yang melibatkan lebih dari satu hukum dari negara yang berbeda, sedangkan pilihan yurisdiksi (forum) adalah mengenai badan mana yang berwenang memeriksa atau mengadili perselisihan yang terjadi. Pilihan yurisdiksi (forum) di suatu negara tidak berarti bahwa hukum dari yurisdiksi (forum) yang dipilih tersebut yang akan dipergunakan menyelesaikan sengketa, dansebaliknya pilihan hukum yang jatuh pada hukum suatu negara tidak selamanya pengadilan negara tersebut yang berwenang memeriksa/mengadili perkara yang bersangkutan.

Beberapa perjanjian internasional mengatur mengenai masalah hukum yang akan diterapkan apabila para pihak tidak secara spesifik menunjuk hukum negara tertentu dalam kontrak-kontrak mereka. Pasal 8 The New Haque Convention on the Law Applicable to Contracts for the International Sale of Goods (1986) menentukan bahwa untuk memperluas hukum yang berlaku dalam suatu kontrak penjualan, yang tidak dipilih oleh para pihak sesuai dengan Pasal 7, kontrak diatur oleh hukum negara di mana tempat kedudukan bisnis penjual pada saat kontrak dibuat, tetapi kontrak diatur oleh hukum negara di mana pembeli memilih tempat bisnisnya pada saat kontrak dibuat, jika:

1.    Negosiasi-negosiasi diadakan dan kontrak ditandatangani oleh dan dalam kehadiran para pihak, dalam suatu negara; atau

2.    Kontrak menentukan secara tegas bahwa penjual harus memenuhi kewajibannya untuk mengirim barang dalam suatu negara; atau

3.    Kontrak ditandatangani dengan syarat yang ditentukan sebagian besar oleh pembeli dan dalam tanggapan atas suatu undangan oleh pembeli ditujukan kepada orang yang diundang untuk mengajukan penawaran terhadap barang.

Berdasarkan Pasal 13 ditentukan pula bahwa dalam hal tidak adanya pilihan hukum yang tegas, maka berlakulah hukum negara di mana pemeriksaan barang dilakukan.

Masalah penentuan hukum seperti ini merupakan ruang lingkup hukum perdata internasional. Oleh sebab itu, teori-teori dalam hukum perdata internasional sangat berperan dalam menentukan hukum yang berlaku jika para pihak tidak menentukan pilihan hukum. Dalam hukum perdata internasional dikenal beberapa teori untuk menentukan hukum yang berlaku, antara lain teori penentuan hukum berdasarkan tempat dimana kontrak di buat (lex loci contractus),hukum nasional dari hakim (lex fory) dan hukum dari pihak yang paling bermakna terhadap kontrak (the most significant contract relationship).

Penentuan dasar yurisdiksi suatu forum dalam praktik litigasi internasional umumnya dibedakan dalam tiga jenis, yaitu:

1.    Yurisdiksi in personam (yurisdiksi atas orang). Jenis ini umumnya dianggap sebagai yurisdiksi tidak terbatas, artinya forum yang memiliki yurisdiksi in personam atas seorang tergugat akan dianggap memiliki kewenangan untuk memutus perkara atas tergugat itu untuk jumlah yang tidak terbatas dan menyangkut seluruh aset miliknya. Yurisidiksi in personam dapat terbit karena: (a) kehadiran (presence). Kehadiran seseorang di wilayah negara forum dapat dianggap sebagai dasar yang cukup bagi pengadilan untuk mengklaim yurisdiksi, tetapi umumnya kehadiran hanya sekedar transit belum dianggap cukup bagi pengadilan untuk mengklaim yurisdiksi; (b) tempat kediaman (domicile); (c) penundukan sukarela (consent). Penundukan sukarela seseorang karena dia mengajukan gugatan atau menjawab gugatan terhadap dirinya di forum suatu negara dapat menjadi dasar bagi pengadilan untuk mengklaim yurisdiksi in personam; dan (d) pertautan minimum (minimum contact). Hal ini terkait dengan keberadaan yurisdiksi in rem dan yurisdiksi quasi in rem.

2.    Yurisdiksi in rem, adalah yurisdiksi atas benda yang berada di dalam wilayah negara yang secara langsung atau tidak, berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi. Pengadilan yang memiliki kewenang ini adalah berkenaan dengan benda-benda yang berada di wilayah suatu negara.

Yurisdiksi quasi in rem, digunakan untuk perkara yang tidak secara langsung menyelesaikan gugatan atas kepemilikan tergugat terhadap benda yang terkait perkara, tetapi hanya karena penggugat menuntut agar kekayaan tertentu milik tergugat yang ada di wilayah pengadilan negara dilekatkan pada perkara, walaupun tidak ada kaitan langsung antara kekayaan itu dengan pokok perkara.

* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara